Diskusi Novel Sapaan Sang Giri di MIWF: Kisah Perbudakan Masyarakat Indonesia di Afsel
Tri Yari Kurniawan
Kamis, 23 Mei 2024 - 20:56 WIB
Penerbit Kabar Media menggelar peluncuran sekaligus diskusi buku 'Sapaan Sang Giri' di Fort Rotterdam Makassar, Kamis (23/5/2024). Menariknya, diskusi buku novel ini diselenggarakan pada ajang Makassar International Writers Festival (MIWF).
Sapaan Sang Giri atau Mountain More Ancient (versi Bahasa Inggris) merupakan novel perdana karangan Isna Marifa. Berkisah sekaligus menyoroti tentang perbudakan masyarakat Indonesia, tepatnya masyarakat Jawa di Afrika Selatan (Afsel) selama masa penjajahan Belanda di Nusantara.
Meski tokoh dalam novel merupakan rekaan, tapi kisah yang diangkat merupakan bagian dari sejarah perbudakan masyarakat Indonesia di Afsel. Sejumlah karakter yang dihadirkan pun terinspirasi dari perjalanan dan pengalaman penulis saat mengumpulkan data.
Kisah Sapaan Sang Giri dimulai tahun 1751, ketika Wulan yang berumur 9 tahun dibawa oleh Belanda yang jauhnya setengah dunia dari rumahnya di Jawa. Bocah itu direnggut dari kakek-neneknya yang dipuja, kerabat yang menjadi teman bicara, suara dan aroma dari bentang alam yang dia cintai.
Wulan dan ayahnya, Parto, diperbudak di sebuah lahan pertanian Cape Colony, dengan sedikit harapan untuk kembali ke rumah. Di dunia baru ini mereka berpegang teguh terhadap identitas dan kepercayaan Jawa. Melalui penderitaan bersama, mereka menjalin ikatan dengan komunitas multikultural yang keturunannya kemudian dikenal sebagai Cape Malays.
Isna bercerita memulai menulis novel ini berangkat dari rasa malu dan tentunya keingintahuan. Banyak orang, termasuk dirinya kurang mengetahui sejarah perbudakan masyarakat Indonesia di Afrika. Nah, setelah kunjungan ke Cape Town pada 2015, ia semakin tertarik dengan hubungan sejarah dan budaya antar-dua negara tersebut.
Nah, begitu banyak tantangan yang harus dihadapi dalam menuntaskan novel dengan latar belakang kejadian sekitar hampir 300 tahun lalu. Isna harus pulang balik Indonesia-Afsel untuk mengumpulkan data dan melakukan riset. Beruntung, dirinya banyak mendapatkan tambahan literatur buku dan informasi dari internet.
Sapaan Sang Giri atau Mountain More Ancient (versi Bahasa Inggris) merupakan novel perdana karangan Isna Marifa. Berkisah sekaligus menyoroti tentang perbudakan masyarakat Indonesia, tepatnya masyarakat Jawa di Afrika Selatan (Afsel) selama masa penjajahan Belanda di Nusantara.
Meski tokoh dalam novel merupakan rekaan, tapi kisah yang diangkat merupakan bagian dari sejarah perbudakan masyarakat Indonesia di Afsel. Sejumlah karakter yang dihadirkan pun terinspirasi dari perjalanan dan pengalaman penulis saat mengumpulkan data.
Kisah Sapaan Sang Giri dimulai tahun 1751, ketika Wulan yang berumur 9 tahun dibawa oleh Belanda yang jauhnya setengah dunia dari rumahnya di Jawa. Bocah itu direnggut dari kakek-neneknya yang dipuja, kerabat yang menjadi teman bicara, suara dan aroma dari bentang alam yang dia cintai.
Wulan dan ayahnya, Parto, diperbudak di sebuah lahan pertanian Cape Colony, dengan sedikit harapan untuk kembali ke rumah. Di dunia baru ini mereka berpegang teguh terhadap identitas dan kepercayaan Jawa. Melalui penderitaan bersama, mereka menjalin ikatan dengan komunitas multikultural yang keturunannya kemudian dikenal sebagai Cape Malays.
Isna bercerita memulai menulis novel ini berangkat dari rasa malu dan tentunya keingintahuan. Banyak orang, termasuk dirinya kurang mengetahui sejarah perbudakan masyarakat Indonesia di Afrika. Nah, setelah kunjungan ke Cape Town pada 2015, ia semakin tertarik dengan hubungan sejarah dan budaya antar-dua negara tersebut.
Nah, begitu banyak tantangan yang harus dihadapi dalam menuntaskan novel dengan latar belakang kejadian sekitar hampir 300 tahun lalu. Isna harus pulang balik Indonesia-Afsel untuk mengumpulkan data dan melakukan riset. Beruntung, dirinya banyak mendapatkan tambahan literatur buku dan informasi dari internet.