home news

Atasi Beras Oplosan Harus Lewat Penegakan Hukum dan Revisi Kebijakan

Jum'at, 08 Agustus 2025 - 07:17 WIB
Persoalan beras oplosan tidak hanya sekadar menyangkut aspek moral atau pelanggaran hukum dari para pelaku usaha, tetapi juga disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang secara ekonomi tidak rasional.
Persoalan beras oplosan tidak hanya sekadar menyangkut aspekmoral hazardatau pelanggaran hukum dari para pelaku usaha, tetapi juga disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang secara ekonomi tidak rasional dan justru menciptakan potensi kerugian bagi produsen.

Hal ini disampaikan Anggota Komisi IV DPR RI Rokhmin Dahuri. Ia menyebut, akar masalah dari maraknya praktik beras oplosan terletak pada Peraturan Badan Pangan Nasional (Bapanas) Nomor 14 Tahun 2025 yang mewajibkan pembelian Gabah Kering Panen (GKP) oleh Bulog maupun perusahaan swasta minimal Rp6.500 per kilogram tanpa mempertimbangkan kualitas gabah. Sementara itu, harga eceran tertinggi (HET) beras ditetapkan pada kisaran Rp12.500 hingga Rp13.000 per kilogram.

"Kalau dari GKP menjadi beras, ongkos penggilingan itu bisa sekitar 50 persen. Maka dengan harga HET sekarang, para produsen nyaris tidak mendapatkan keuntungan. Belum lagi ditambah ongkos tenaga kerja dan transportasi. Harusnya, secara hukum ekonomi, harga eceran minimal Rp14.000 supaya ada margin wajar," jelas Rokhmin, di Jakarta, Kamis (07/08/2025).

Menurut Rokhmin, keputusan pemerintah dalam menetapkan HET beras tidak sesuai dengan realitas ekonomi di lapangan, dan justru mendorong produsen untuk melakukan praktik curang agar bisa bertahan secara bisnis. Komisi IV DPR RI pun, lanjutnya, telah sejak awal mengingatkan pemerintah soal ketidaksesuaian kebijakan ini.

"Kami sudah gedor pemerintah sejak dua bulan lalu soal (HET) ini. Dan sekarang terbukti, bahwa keputusan yang tidak masuk akal itu turut menjadi penyebab berkembangnya kejahatan pangan seperti pengoplosan," tegas Politisi dari Fraksi PDI-Perjuangan tersebut.

Meski demikian, Rokhmin menegaskan bahwa praktik pengoplosan beras tetap tidak dapat dibenarkan. Untuk itu, Komisi IV DPR RI mendorong pendekatan ganda (dual track approach) untuk menyelesaikan masalah ini secara menyeluruh.

"Pertama, harus ada penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran agar memberikan efek jera. Kedua, pemerintah juga harus segera membenahi kebijakan yang tidak logis, agar tidak menjadi akar dari tumbuh kembangnya penyimpangan di lapangan," pungkasnya.
(gus)
Bagikan artikel ini:
Berita Lainnya
berita lainnya