Opini
Triwarna dan Reclaiming Ruang Politik
Endang Sari
Rabu, 10 September 2025 - 12:30 WIB
Edang Sari, Dosen Ilmu Politik FISIP Unhas dan eks Komisioner KPU Makassar. Foto: Istimewa
Oleh: Endang Sari
Dosen Ilmu Politik FISIP Unhas
Saya tidak tahu siapa yang pertama kali menyebutnya Triwarna Solidaritas Indonesia. Mungkin tidak penting. Yang penting adalah bagaimana warna-warna itu muncul. Bukan dari ruang rapat, bukan dari pidato, tapi dari tubuh-tubuh yang selama ini tak dianggap sebagai bagian dari politik. Pink, Hijau, Biru. Tiga warna yang tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi bendera, tapi kini berkibar di layar-layar gadget, di jalan-jalan, di ingatan.
Brave Pink. Warna yang terlalu lembut untuk demonstrrasi. Tapi justru di sanalah keberanian itu tinggal. Di tubuh seorang ibu yang berdiri di tengah kerumunan, sendiri menantang aparat, berjilbab pink, diam tapi tidak tunduk.
Ibu itu tidak berteriak. Ia tidak membawa spanduk. Tapi tubuhnya cukup untuk menjadi pernyataan. Bahwa keberanian tidak selalu datang dari suara lantang. Kadang hadir dalam diam yang tak bisa dibungkam.
Tubuh itu, dalam politik formal, tidak dianggap penting. Tidak duduk di komisi. Ia tidak menulis undang-undang. Tapi tubuhnya hadir. Dan dalam politik kritis, kehadiran adalah bentuk perlawanan.
Michel Foucault pernah menulis bahwa tubuh adalah medan kekuasaan. Ia diatur, diawasi, dikendalikan.Tapi tubuh juga bisa menolak. Bisa hadir di ruang yang tidak mengizinkannya. Bisa mengganggu narasi yang sudah mapan. Brave Pink adalah tubuh yang menolak dikendalikan. Ia tidak meminta ruang. Ia menciptakan ruang.
Dosen Ilmu Politik FISIP Unhas
Saya tidak tahu siapa yang pertama kali menyebutnya Triwarna Solidaritas Indonesia. Mungkin tidak penting. Yang penting adalah bagaimana warna-warna itu muncul. Bukan dari ruang rapat, bukan dari pidato, tapi dari tubuh-tubuh yang selama ini tak dianggap sebagai bagian dari politik. Pink, Hijau, Biru. Tiga warna yang tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi bendera, tapi kini berkibar di layar-layar gadget, di jalan-jalan, di ingatan.
Brave Pink. Warna yang terlalu lembut untuk demonstrrasi. Tapi justru di sanalah keberanian itu tinggal. Di tubuh seorang ibu yang berdiri di tengah kerumunan, sendiri menantang aparat, berjilbab pink, diam tapi tidak tunduk.
Ibu itu tidak berteriak. Ia tidak membawa spanduk. Tapi tubuhnya cukup untuk menjadi pernyataan. Bahwa keberanian tidak selalu datang dari suara lantang. Kadang hadir dalam diam yang tak bisa dibungkam.
Tubuh itu, dalam politik formal, tidak dianggap penting. Tidak duduk di komisi. Ia tidak menulis undang-undang. Tapi tubuhnya hadir. Dan dalam politik kritis, kehadiran adalah bentuk perlawanan.
Michel Foucault pernah menulis bahwa tubuh adalah medan kekuasaan. Ia diatur, diawasi, dikendalikan.Tapi tubuh juga bisa menolak. Bisa hadir di ruang yang tidak mengizinkannya. Bisa mengganggu narasi yang sudah mapan. Brave Pink adalah tubuh yang menolak dikendalikan. Ia tidak meminta ruang. Ia menciptakan ruang.