PT Vale Buktikan Tambang Bisa Hijau & Berdaya Saing Global
Tim SINDOmakassar
Senin, 13 Oktober 2025 - 17:44 WIB
Sejak awal operasi di Sorowako, PT Vale memilih untuk tidak bergantung pada pembangkit berbahan bakar fosil, melainkan tiga PLTA. Foto/Istimewa
Upaya Indonesia menjaga ketahanan energi kini memasuki fase yang semakin menantang. Laju konsumsi energi fosil—terutama batu bara dan minyak bumi—masih mendominasi, memicu emisi karbon besar sekaligus menempatkan perekonomian nasional pada posisi rapuh ketika harga global berfluktuasi atau pasokan terganggu.
Karena itu, transisi ke energi bersih tidak lagi dipandang sebagai pilihan idealis, melainkan kebutuhan strategis agar keamanan energi, ekonomi, dan lingkungan dapat terjaga.
Di tengah dinamika tersebut, arah pembangunan yang dirumuskan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka melalui visi Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045 memberikan pijakan yang relevan.
Dari delapan misi Asta Cita, tiga di antaranya memiliki keterkaitan langsung dengan sektor energi: pembangunan ekonomi berkelanjutan, penguatan kemandirian nasional termasuk swasembada energi, serta harmonisasi manusia dengan lingkungan.
Ketiga misi ini menggarisbawahi pentingnya diversifikasi energi, efisiensi pemanfaatan energi, dan penguatan pasokan domestik. Namun realisasinya masih tertinggal.
Bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) 2024 hanya mencapai 14,68%, jauh dari target 23%. Pemerintah pun menyesuaikan sasaran 2025 menjadi 17–20%, menandakan percepatan transisi energi masih memerlukan dorongan besar, termasuk dari sektor industri.
Pada saat yang sama, RUPTL 2025–2034 menargetkan tambahan 69,5 GW kapasitas pembangkit, dengan 76% berasal dari EBT, meliputi tenaga surya, air, panas bumi, bioenergi, hingga nuklir.Sektor industri berenergi tinggi, termasuk pertambangan nikel, menjadi bagian penting dari upaya menuju ketahanan energi berkelanjutan.
Karena itu, transisi ke energi bersih tidak lagi dipandang sebagai pilihan idealis, melainkan kebutuhan strategis agar keamanan energi, ekonomi, dan lingkungan dapat terjaga.
Di tengah dinamika tersebut, arah pembangunan yang dirumuskan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka melalui visi Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045 memberikan pijakan yang relevan.
Dari delapan misi Asta Cita, tiga di antaranya memiliki keterkaitan langsung dengan sektor energi: pembangunan ekonomi berkelanjutan, penguatan kemandirian nasional termasuk swasembada energi, serta harmonisasi manusia dengan lingkungan.
Ketiga misi ini menggarisbawahi pentingnya diversifikasi energi, efisiensi pemanfaatan energi, dan penguatan pasokan domestik. Namun realisasinya masih tertinggal.
Bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) 2024 hanya mencapai 14,68%, jauh dari target 23%. Pemerintah pun menyesuaikan sasaran 2025 menjadi 17–20%, menandakan percepatan transisi energi masih memerlukan dorongan besar, termasuk dari sektor industri.
Pada saat yang sama, RUPTL 2025–2034 menargetkan tambahan 69,5 GW kapasitas pembangkit, dengan 76% berasal dari EBT, meliputi tenaga surya, air, panas bumi, bioenergi, hingga nuklir.Sektor industri berenergi tinggi, termasuk pertambangan nikel, menjadi bagian penting dari upaya menuju ketahanan energi berkelanjutan.