Empat Dekade Mengabdi, Kisah Rahmi Saleh Menyambut Hari Guru
Tim SINDOmakassar
Selasa, 25 November 2025 - 13:50 WIB
Guru kelas satu SD di Sekolah Islam Athirah, Rahmi Saleh, telah mengabdikan diri selama lebih dari empat dekade—sebuah perjalanan panjang yang tak pernah ia bayangkan sejak awal. Foto/Istimewa
Di tengah semarak peringatan Hari Guru tahun ini, nama Rahmi Saleh mencuri perhatian. Guru kelas satu SD di Sekolah Islam Athirah itu telah mengabdikan diri selama lebih dari empat dekade—sebuah perjalanan panjang yang tak pernah ia bayangkan sejak awal.
“Saya sebenarnya tidak bercita-cita jadi guru,” tuturnya sambil tersenyum.
Dulu, ia hanya mengikuti jejak keluarga yang sebagian besar berprofesi sebagai pendidik ketika memilih masuk SPG. Namun takdir menggiring langkahnya memasuki dunia yang kemudian menjadi panggilan hidup. Dari TK hingga SD, dari guru yayasan hingga PNS, Athirah telah menjadi rumah kedua yang sulit ia tinggalkan.
Saat pertama kali mengajar, jumlah guru Athirah dari TK hingga SMA tak lebih dari 30 orang. Ia masih mengingat jelas gaji pertamanya yang hanya Rp25.000. Namun baginya, nilai yang paling berharga bukan pada jumlah itu, melainkan pada kehangatan, kebersamaan, dan keikhlasan yang membentuk budaya sekolah sejak awal berdiri.
Sebagai guru kelas satu, Rahmi merasa memiliki misi penting: menguatkan pondasi anak sejak langkah pertama mereka bersekolah. Mengajar kelas rendah bukan hanya soal membaca atau berhitung, tetapi memahami dunia anak-anak yang polos, cair, dan sering tak terduga.
“Biasa ada siswa yang tiba-tiba buang air di kelas. Ya kami bersihkan sendiri,” katanya.
Tidak ada keluhan, hanya kesadaran bahwa menjadi guru berarti membersamai seluruh proses tumbuhnya anak-anak. “Kunci jadi guru itu keikhlasan,” ucapnya pelan, seolah merangkum seluruh pengalamannya dalam satu kata.
“Saya sebenarnya tidak bercita-cita jadi guru,” tuturnya sambil tersenyum.
Dulu, ia hanya mengikuti jejak keluarga yang sebagian besar berprofesi sebagai pendidik ketika memilih masuk SPG. Namun takdir menggiring langkahnya memasuki dunia yang kemudian menjadi panggilan hidup. Dari TK hingga SD, dari guru yayasan hingga PNS, Athirah telah menjadi rumah kedua yang sulit ia tinggalkan.
Saat pertama kali mengajar, jumlah guru Athirah dari TK hingga SMA tak lebih dari 30 orang. Ia masih mengingat jelas gaji pertamanya yang hanya Rp25.000. Namun baginya, nilai yang paling berharga bukan pada jumlah itu, melainkan pada kehangatan, kebersamaan, dan keikhlasan yang membentuk budaya sekolah sejak awal berdiri.
Sebagai guru kelas satu, Rahmi merasa memiliki misi penting: menguatkan pondasi anak sejak langkah pertama mereka bersekolah. Mengajar kelas rendah bukan hanya soal membaca atau berhitung, tetapi memahami dunia anak-anak yang polos, cair, dan sering tak terduga.
“Biasa ada siswa yang tiba-tiba buang air di kelas. Ya kami bersihkan sendiri,” katanya.
Tidak ada keluhan, hanya kesadaran bahwa menjadi guru berarti membersamai seluruh proses tumbuhnya anak-anak. “Kunci jadi guru itu keikhlasan,” ucapnya pelan, seolah merangkum seluruh pengalamannya dalam satu kata.