Eks Wakil Ketua MK Jadi Saksi Ahli di Sidang Sengketa Pilkada Jeneponto
Sulaiman Nai
Kamis, 13 Februari 2025 - 15:41 WIB
Prof Aswanto memberikan kesaksian di sidang PHPU Pilkada Jeneponto. Foto: Istimewa
Sidang sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jeneponto 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) semakin menarik perhatian publik.
Pasangan calon Muhammad Sarif dan Moch Noer Alim Qalby (Sarif-Qalby) menghadirkan eks Wakil Ketua MK, Prof Aswanto, sebagai saksi ahli pemohon.
Dalam sidang sengketa Pilkada Jeneponto tersebut dipimpin oleh Hakim MK, Saldi Isra di Gedung MK, Kamis (13/2/2025).
Prof Aswanto memberikan analisis hukum terkait dugaan penggelembungan suara dan keputusan KPU Jeneponto yang tidak menggelar Pemungutan Suara Ulang (PSU).
Di hadapan hakim, Prof Aswanto menegasakan betapa penting penyelenggara pemilu menjaga kemurnian suara dalam pesta demokrasi.
Ia mengatakan bahwa kasus sengketa ini muncul karena KPU Jeneponto tidak menjalankan rekomendasi Bawaslu yang meminta PSU di beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS).
"Saya berkesimpulan bahwa perkara ini sampai ke Mahkamah Konstitusi karena ada rekomendasi Bawaslu yang tidak dijalankan oleh KPU. Jika ada kesalahan dalam pemilu, maka harus dikoreksi, karena tanpa koreksi, hal ini dapat berdampak pada legitimasi pemimpin yang terpilih," ungkapnya.
Pasangan calon Muhammad Sarif dan Moch Noer Alim Qalby (Sarif-Qalby) menghadirkan eks Wakil Ketua MK, Prof Aswanto, sebagai saksi ahli pemohon.
Dalam sidang sengketa Pilkada Jeneponto tersebut dipimpin oleh Hakim MK, Saldi Isra di Gedung MK, Kamis (13/2/2025).
Prof Aswanto memberikan analisis hukum terkait dugaan penggelembungan suara dan keputusan KPU Jeneponto yang tidak menggelar Pemungutan Suara Ulang (PSU).
Di hadapan hakim, Prof Aswanto menegasakan betapa penting penyelenggara pemilu menjaga kemurnian suara dalam pesta demokrasi.
Ia mengatakan bahwa kasus sengketa ini muncul karena KPU Jeneponto tidak menjalankan rekomendasi Bawaslu yang meminta PSU di beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS).
"Saya berkesimpulan bahwa perkara ini sampai ke Mahkamah Konstitusi karena ada rekomendasi Bawaslu yang tidak dijalankan oleh KPU. Jika ada kesalahan dalam pemilu, maka harus dikoreksi, karena tanpa koreksi, hal ini dapat berdampak pada legitimasi pemimpin yang terpilih," ungkapnya.