Hari Paru Sedunia dan Ironi Indonesia, TBC Masih Jadi Luka Lama yang Belum Sembuh
Senin, 06 Okt 2025 08:00
Ilustrasi Hari Paru Sedunia. Gambar: Chat GPT
Oleh: Fathana Putri
Mahasiswa Magister Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Universitas Hasanuddin
Setiap 25 September, dunia memperingati Hari Paru Sedunia. Namun, peringatan ini sering hanya menjadi seremonial tahunan tanpa banyak perubahan nyata.
Padahal, di balik tema dan poster yang menghiasi media sosial, masih banyak masyarakat Indonesia yang berjuang melawan penyakit paru, terutama Tuberkulosis (TBC), penyakit yang seharusnya sudah bisa kita kendalikan sejak lama.
Kenyataannya, hingga kini TBC masih dianggap penyakit “biasa” oleh banyak orang. Batuk berbulan-bulan dianggap hal sepele, padahal di baliknya mungkin tersimpan bakteri yang bisa menular ke seluruh anggota keluarga.
Bahkan lebih ironis lagi, banyak pasien yang berhenti minum obat karena merasa sudah sembuh, tanpa menyadari bahwa sikap abai itu bisa memperburuk keadaan dan memperpanjang rantai penularan.
Menurut data Kementerian Kesehatan RI, Indonesia menempati posisi kedua tertinggi di dunia setelah India dalam jumlah kasus TBC. Diperkirakan ada lebih dari 800 ribu kasus baru setiap tahun, dan ribuan di antaranya berakhir dengan kematian yang sebenarnya bisa dicegah.
Di Sulawesi Selatan, angka kejadian TBC juga terus meningkat setiap tahun. Ini bukan sekedar persoalan medis, tapi cerminan rendahnya kesadaran kesehatan masyarakat dan lemahnya sistem deteksi dini. Kita sudah terlalu lama menganggap TBC sebagai masalah orang lain, bukan masalah bersama.
Masalah lain yang tak kalah penting adalah stigma sosial terhadap penderita TBC. Banyak yang dijauhi karena dianggap “menular” atau “menakutkan,” padahal penyakit ini bisa sembuh total jika diobati dengan benar.
Saya sering berpikir, mengapa kita mudah berempati pada penyakit yang viral di media, tapi begitu cepat menghakimi mereka yang mengidap TBC? Padahal, mereka hanya butuh dukungan dan lingkungan yang memahami, bukan pandangan sinis. Stigma inilah yang membuat banyak orang enggan memeriksakan diri sejak dini.
Peringatan Hari Paru Sedunia tahun ini seharusnya menjadi pengingat keras. Paru-paru kita sedang tidak baik-baik saja. Polusi udara, rokok, dan gaya hidup pasif perlahan merusak organ yang setiap detiknya bekerja untuk kita.
Dan ketika fungsi paru mulai terganggu dan gejala seperti batuk berkepanjangan muncul, barulah banyak orang mulai khawatir. Padahal, menjaga kesehatan paru seharusnya dilakukan sebelum munculnya tanda-tanda penyakit – bukan setelah sakit.
Beberapa waktu lalu, RSUD Batara Siang Pangkep mengadakan penyuluhan kesehatan dalam rangka Hari Paru Sedunia. Kegiatan itu mungkin terlihat sederhana, tapi menurut saya justru di situlah makna sebenarnya dari peringatan ini. Memberikan pengetahuan agar masyarakat sadar bahwa menjaga paru bukan tugas dokter semata, tapi tanggung jawab kita semua.
Jika kita ingin Indonesia bebas TBC pada tahun 2030, seperti target pemerintah, maka yang perlu berubah bukan hanya sistem kesehatan, tapi cara pandang masyarakat terhadap kesehatan paru. Kita harus berhenti bersikap pasif dan mulai peduli: berhenti merokok, rajin periksa bila batuk tak kunjung sembuh, dan tidak menyepelekan gejala kecil.
Hari Paru Sedunia seharusnya menjadi momen refleksi, bukan hanya untuk tenaga kesehatan, tapi untuk kita semua. Karena paru yang sehat bukan hanya soal bisa bernapas lega, tapi juga tentang menjaga kualitas hidup dan masa depan bangsa.
Kita tidak boleh terus menormalisasi angka kematian akibat TBC. Karena dibalik setiap batuk yang dibiarkan, ada potensi penularan baru. Dan di balik setiap pasien TBC yang terabaikan, ada tanda bahwa kita masih gagal menjadi masyarakat yang peduli dan berkeadilan kesehatan. Sudah saatnya kita berhenti membiarkan penyakit ini menjadi luka lama yang tidak kunjung sembuh.
Mahasiswa Magister Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Universitas Hasanuddin
Setiap 25 September, dunia memperingati Hari Paru Sedunia. Namun, peringatan ini sering hanya menjadi seremonial tahunan tanpa banyak perubahan nyata.
Padahal, di balik tema dan poster yang menghiasi media sosial, masih banyak masyarakat Indonesia yang berjuang melawan penyakit paru, terutama Tuberkulosis (TBC), penyakit yang seharusnya sudah bisa kita kendalikan sejak lama.
Kenyataannya, hingga kini TBC masih dianggap penyakit “biasa” oleh banyak orang. Batuk berbulan-bulan dianggap hal sepele, padahal di baliknya mungkin tersimpan bakteri yang bisa menular ke seluruh anggota keluarga.
Bahkan lebih ironis lagi, banyak pasien yang berhenti minum obat karena merasa sudah sembuh, tanpa menyadari bahwa sikap abai itu bisa memperburuk keadaan dan memperpanjang rantai penularan.
Menurut data Kementerian Kesehatan RI, Indonesia menempati posisi kedua tertinggi di dunia setelah India dalam jumlah kasus TBC. Diperkirakan ada lebih dari 800 ribu kasus baru setiap tahun, dan ribuan di antaranya berakhir dengan kematian yang sebenarnya bisa dicegah.
Di Sulawesi Selatan, angka kejadian TBC juga terus meningkat setiap tahun. Ini bukan sekedar persoalan medis, tapi cerminan rendahnya kesadaran kesehatan masyarakat dan lemahnya sistem deteksi dini. Kita sudah terlalu lama menganggap TBC sebagai masalah orang lain, bukan masalah bersama.
Masalah lain yang tak kalah penting adalah stigma sosial terhadap penderita TBC. Banyak yang dijauhi karena dianggap “menular” atau “menakutkan,” padahal penyakit ini bisa sembuh total jika diobati dengan benar.
Saya sering berpikir, mengapa kita mudah berempati pada penyakit yang viral di media, tapi begitu cepat menghakimi mereka yang mengidap TBC? Padahal, mereka hanya butuh dukungan dan lingkungan yang memahami, bukan pandangan sinis. Stigma inilah yang membuat banyak orang enggan memeriksakan diri sejak dini.
Peringatan Hari Paru Sedunia tahun ini seharusnya menjadi pengingat keras. Paru-paru kita sedang tidak baik-baik saja. Polusi udara, rokok, dan gaya hidup pasif perlahan merusak organ yang setiap detiknya bekerja untuk kita.
Dan ketika fungsi paru mulai terganggu dan gejala seperti batuk berkepanjangan muncul, barulah banyak orang mulai khawatir. Padahal, menjaga kesehatan paru seharusnya dilakukan sebelum munculnya tanda-tanda penyakit – bukan setelah sakit.
Beberapa waktu lalu, RSUD Batara Siang Pangkep mengadakan penyuluhan kesehatan dalam rangka Hari Paru Sedunia. Kegiatan itu mungkin terlihat sederhana, tapi menurut saya justru di situlah makna sebenarnya dari peringatan ini. Memberikan pengetahuan agar masyarakat sadar bahwa menjaga paru bukan tugas dokter semata, tapi tanggung jawab kita semua.
Jika kita ingin Indonesia bebas TBC pada tahun 2030, seperti target pemerintah, maka yang perlu berubah bukan hanya sistem kesehatan, tapi cara pandang masyarakat terhadap kesehatan paru. Kita harus berhenti bersikap pasif dan mulai peduli: berhenti merokok, rajin periksa bila batuk tak kunjung sembuh, dan tidak menyepelekan gejala kecil.
Hari Paru Sedunia seharusnya menjadi momen refleksi, bukan hanya untuk tenaga kesehatan, tapi untuk kita semua. Karena paru yang sehat bukan hanya soal bisa bernapas lega, tapi juga tentang menjaga kualitas hidup dan masa depan bangsa.
Kita tidak boleh terus menormalisasi angka kematian akibat TBC. Karena dibalik setiap batuk yang dibiarkan, ada potensi penularan baru. Dan di balik setiap pasien TBC yang terabaikan, ada tanda bahwa kita masih gagal menjadi masyarakat yang peduli dan berkeadilan kesehatan. Sudah saatnya kita berhenti membiarkan penyakit ini menjadi luka lama yang tidak kunjung sembuh.
(UMI)
Berita Terkait
Sulsel
Empat Desa, Empat Inovasi: Mahasiswa FISIP Unhas Gelar Pameran Kewirausahaan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Hasanuddin menggelar pameran produk kewirausahaan dan pemberdayaan masyarakat di pelataran FISIP Unhas, Selasa (18/11/2025).
Kamis, 20 Nov 2025 13:30
News
Jerat Pidana Penculik Anak, Bilqis
Bilqis, anak dari pasangan orang tua Fifi Syahrir dan Dwi Nur Mas alias Dimas yang tiba-tiba menghilang di taman Pakui Sayang, Makassar, saat ayahnya sedang bermain tenis.
Senin, 17 Nov 2025 11:51
Makassar City
Munafri Arifuddin Ketua IKA Fakultas Hukum Unhas Periode 2025–2029
Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin resmi mengemban amanah baru sebagai Ketua Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Fakultas Hukum (FH) Universitas Hasanuddin (Unhas) periode 2025–2029.
Jum'at, 14 Nov 2025 23:37
Makassar City
Unhas dan Polres Enrekang Teken Kerja Sama Ketahanan Pangan Lintas Sektor
Universitas Hasanuddin (Unhas) dan Kepolisian Resor (Polres) Enrekang menandatangani Memorandum of Understanding (MoU), di lantai 8 Rektorat Unhas, Jumat (14/11/2025).
Jum'at, 14 Nov 2025 23:32
News
Departemen Obgin FK Unhas Gelar Makassar Obstertic and Gynecology Keempat
Kamis, 13 Nov 2025 20:36
Berita Terbaru
Artikel Terpopuler
Topik Terpopuler
1
Wujudkan Pasar Tertib, Pemerintah Tindak Lapak yang Langgar di Ruas Jalan Terong
2
Empat Desa, Empat Inovasi: Mahasiswa FISIP Unhas Gelar Pameran Kewirausahaan
3
Dorong Gaya Hidup Sehat, Vasaka Hotel Makassar Hadirkan Program Fun Sports Activities
4
WR IV UMI Hadiri Musyawarah Nasional MUI di Jakarta
5
Livin’ Fest 2025 di Makassar Resmi Dibuka, Bank Mandiri Sinergikan UMKM - Industri Kreatif
Artikel Terpopuler
Topik Terpopuler
1
Wujudkan Pasar Tertib, Pemerintah Tindak Lapak yang Langgar di Ruas Jalan Terong
2
Empat Desa, Empat Inovasi: Mahasiswa FISIP Unhas Gelar Pameran Kewirausahaan
3
Dorong Gaya Hidup Sehat, Vasaka Hotel Makassar Hadirkan Program Fun Sports Activities
4
WR IV UMI Hadiri Musyawarah Nasional MUI di Jakarta
5
Livin’ Fest 2025 di Makassar Resmi Dibuka, Bank Mandiri Sinergikan UMKM - Industri Kreatif