Suara dari Timur: Mengenang Ajoeba Wartabone di Ubud Writers & Readers Festival 2025

Minggu, 02 Nov 2025 13:40
Suara dari Timur: Mengenang Ajoeba Wartabone di Ubud Writers & Readers Festival 2025
Diskusi buku Suara dari Timur: Mengenang Ajoeba Wartabone dan Perjuangan Menuju Indonesia Bersatu, yang digelar dalam rangkaian Ubud Writers & Readers Festival 2025. Foto: IST
Comment
Share
BALI - Ketika Republik Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya pada 1945, masa depan bangsa berada dalam situasi genting. Serangan militer Belanda, manuver diplomasi, dan strategi federalisme kolonial mengancam keutuhan negara.

Di tengah tekanan tersebut, muncul suara-suara dari daerah yang ikut menopang keberlangsungan Republik. Salah satunya berasal dari Gorontalo: Ajoeba Wartabone (1894–1957), pemimpin progresif yang menegaskan sikap anti pecah-belah di Indonesia Timur.

Kisah intelektual dan politik tersebut menjadi pusat diskusi buku “Suara dari Timur: Mengenang Ajoeba Wartabone dan Perjuangan Menuju Indonesia Bersatu,” yang digelar dalam rangkaian Ubud Writers & Readers Festival 2025.

Kegiatan ini mengajak publik menengok kembali kontribusi daerah dalam pembentukan Indonesia modern, narasi yang jarang mendapat panggung nasional.

Biografi setebal 450 halaman yang diterbitkan Diomedia berjudul Ajoeba Wartabone (1894–1957). Sekali ke Djokja Tetap ke Djokja. Biografi Gagasan dan Kepemimpinan dari Gorontalo untuk Indonesia Bersatu menyajikan riset arsip dalam dan luar negeri, menelusuri jejak nasionalisme, pembangunan pendidikan, infrastruktur, kesehatan, dan diplomasi lokal di masa awal Republik. Buku ini menempatkan Indonesia Timur dalam konteks sejarah yang kerap luput dari narasi pusat.

Ajoeba menjadi peserta Konferensi Denpasar pada Desember 1946, forum yang digelar Belanda untuk menyusun sistem federal. Kehadirannya menggambarkan sikap kritis terhadap upaya pecah-belah dan pentingnya menjaga kesatuan dari dalam struktur negara bagian.

Dalam Sidang Parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) tahun 1947 di Makassar, Ajoeba menyampaikan pernyataan yang kemudian menjadi ikonik: “Sekali ke Djokja, Tetap ke Djokja.” Ucapan ini menjadi simbol dukungan terhadap pemerintah Republik di Yogyakarta serta penolakan terhadap sistem federal bentukan kolonial.

Diskusi buku menghadirkan Prof Anak Agung Bagus Wirawan S.U. (sejarawan Bali), Basri Amin (penulis buku, dosen dan peneliti yang pernah melakukan riset di berbagai negara), serta Isabella Roberts (peneliti partisipasi publik dari Inggris), dipandu oleh Maruschka Niode, dengan moderator Amanda Katili.

Prof Meutia Farida Hatta Swasono, antropolog dan Ketua Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia, memberi pengantar buku dan menilai karya ini memperluas wawasan publik tentang kontribusi daerah dan pembangunan berkeadilan.

Biografi Ajoeba Wartabone tidak hanya menghadirkan peristiwa sejarah, tetapi juga nilai, keberanian, dan keteguhan sikap yang menyalakan api persatuan pada masa awal Republik.
(UMI)
Berita Terbaru