Kisah Owner Hermin Salon Vivi Hadapi Diskriminasi Gender karena Budaya Patriarki

Kamis, 10 Jul 2025 21:47
Kisah Owner Hermin Salon Vivi Hadapi Diskriminasi Gender karena Budaya Patriarki
Owner Hermin Salon, Vivi A.M. Haryono, bercerita tentang kisah dan pengalaman hidup terkait dampak buruk budaya patriarki yang merugikan kaum perempuan karena praktik diskriminasi gender. Foto/Tri YK
Comment
Share
MAKASSAR - Budaya patriarki tersebar di berbagai belahan dunia, yang berujung pada diskriminasi gender. Kaum perempuan menjadi pihak yang paling dirugikan. Ironisnya, hal itu menjadi tradisi yang terjaga turun temurun.

Owner Hermin Salon, Vivi A.M. Haryono, merupakan satu dari sekian banyak perempuan yang menjadi korban 'tradisi leluhur'. Lahir dan besar sebagai keturunan Tionghoa yang menganut budaya patriarki, ia mengalami begitu banyak penderitaan imbas diskriminasi gender.

Pola asuh dari kebanyakan keturunan Tionghoa yang meng'anak emaskan' laki-laki membuat kehidupannya menjadi lebih sulit. Pasalnya, segala jerih payah yang dilakoninya terkesan diabaikan. Ujung-ujungnya, anak laki-laki yang bakal menang, termasuk dalam pembagian warisan.

Vivi, yang juga pemilik restoran De Tempong Hasanuddin menceritakan kisah sekaligus pengalaman pribadinya. Hak kesulungannya dicuri oleh adik laki-lakinya, bahkan sang ipar kini tidak lagi menghargainya. Padahal, selama bertahun-tahun, dia dan ibunya yang membangun usaha Hermin Salon, sekaligus menjadi penopang keluarga.

"Anak laki-laki dianggap penerus marga, pembawa abu, sehingga tampak betul adanya diskriminasi terhadap anak perempuan. Hal ini saya alami, padahal anak perempuan lebih memperhatikan orang tuanya. Makanya, saya menolak keras meng anak emaskan anak laki-laki dalam keluarga," kata Vivi, saat berbicara kepada awak media di restoran De Tempong Hasanuddin, Kamis (10/7/2025).

Ia mengaku sangat kecewa dan menderita karena pola asuh budaya patriarki tersebut. Dirinya sangat dirugikan karena selepas sang ibu tutup usia, sang adik malah mendapatkan warisan paling banyak. Ironisnya, adik dan iparnya sama sekali tidak berkontribusi dalam membangun bisnis Hermin Salon.

"Bisa ditanyakan ke orang-orang, semua lihat dan tahu bahwa saya yang bekerja keras, tetapi adik saya dan istrinya yang menguasai," ucapnya lirih.

Kembali lagi, diakuinya semua itu berakar dari budaya pengasuhan yang membesarkan anak laki-laki dengan nilai lebih tinggi dibanding anak perempuan. Ya, sejumlah penelitian memang menunjukkan bahwa dalam masyarakat Tionghoa, anak laki-laki dianggap lebih bernilai karena mengandung nilai-nilai dasar seperti kekuatan, kemakmuran, dan penghargaan.

Sebuah studi yang dimuat dalam Edulnovasi: Journal of Basic Educational Studies (Vol. 5 No. 1, 2025) menyebutkan bahwa kehadiran anak laki-laki dalam keluarga Tionghoa dipandang lebih berharga karena mengandung delapan nilai mendasar: nilai tradisi, keamanan, konformitas, kebajikan, kemakmuran, penghargaan, kekuatan, dan stimulasi (Stephanie & Yuwanto, 2025).

Pemahaman budaya ini turut membentuk pandangan orang tua dan pembagian peran dalam keluarga, yang dalam praktiknya kerap menempatkan perempuan pada posisi kurang diutamakan.

Lebih lanjut, Vivi bercerita panjang tentang serentetan konflik dengan sang adik dan iparnya. Semua itu juga tidak lepas karena kurangnya penghargaan saudaranya. Padahal, semasa masih muda, dirinya selalu mendukung adiknya, bahkan tatkala adik dirundung masalah. Namun, kini saat sukses, dirinya pun tidak dianggap.

Pada 2023, Vivi mengaku sempat berkonflik dengan ipar karena telah menyebarkan fitnah melalui pesan WhatsApp ke staf-staf Hermin Salon. Ia lantas sempat mengadukan ke kepolisian, namun progresnya tidak menggembirakan, meski tujuan pelaporan sekadar untuk shock treatment.

Lucunya, sang ipar malah melaporkan dirinya ke kepolisian. Vivi menyebut istri adiknya itu menggunakan keterangan palsu, dengan menyebut dirinya hendak memukulinya.

Hal lain yang juga membuatnya kecewa adalah langkah adiknya dan ipar yang malah menyewakan ruko kepada kompetitor usahanya. Vivi diketahui memiliki restoran dengan jualan ayam, dan adiknya terkesan sengaja menyewakan ke pelaku usaha dengan jualan menu utama ayam.

Selanjutnya, Vivi juga menyebut adanya tekanan untuk menandatangani dokumen pembatalan hak atas aset, serta kesulitan yang ia hadapi ketika membutuhkan dana untuk operasi mata. Hal itu membuatnya terpaksa menunda operasi mata hingga tiga bulan.

Budaya patriarki ini diakuinya telah membuatnya kehilangan banyak aset yang harusnya turut dinikmatinya. Selama ini, karena rasa sayang kepada adik dan amanah ibu selama hidup, dirinya telah begitu banyak mengalah.

"Rumah di puri Mutiara, the mutiara, Citraland, apartemen pasar baru, rumah jalan macan, tanah pabrik di Takalar, suka atau tidak suka ada keringat saya di situ. Umur produktif tidak akan kembali untuk membeli lagi harta sebanyak itu," ungkap dia, sembari menyebut uang tabungan sang ibu yang berasal dari omzet salon, kini juga berada dalam sang adik.

Vivi pun menekankan jika sang adik memang tidak lagi menganggap dirinya sebagai saudara, maka dirinya berharap sang adik bersedia untuk mengembalikan semua materi yang dibeli oleh Hermin Salon. Toh, selama ini hanya dirinya yang bekerja keras membangun Hermin Salon, bukan sang adik apalagi isterinya.

"Jangan bermegah diatas keringat orang. Hargai keringat orang! Itu bukan hasil usahamu," pungkasnya.
(TRI)
Berita Terkait
Berita Terbaru