Prof Abrar Saleng: PT Vale Sudah Taat di Tanamalia, Masalah Utama Adalah Penyerobotan Hutan

Selasa, 20 Mei 2025 20:27
Prof Abrar Saleng: PT Vale Sudah Taat di Tanamalia, Masalah Utama Adalah Penyerobotan Hutan
Guru Besar Hukum Pertambangan Universitas Hasanuddin, Prof Abrar Saleng, saat diundang sebagai Tenaga Ahli dalam rapat dengan Anggota DPRD Luwu Timur. Foto/Istimewa
Comment
Share
LUWU TIMUR - Guru Besar Hukum Pertambangan Universitas Hasanuddin, Prof Abrar Saleng, menegaskan bahwa pengelolaan kawasan hutan di Blok Tanamalia, yang saat ini dikelola oleh PT Vale, sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. PT Vale telah memenuhi persyaratan dengan mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), sehingga perusahaan berhak menambang di daerah tersebut.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Prof. Abrar saat diundang sebagai Tenaga Ahli dalam rapat dengan Anggota DPRD Luwu Timur, Selasa (20/05/2025), untuk membahas tumpang tindih izin usaha pertambangan di daerah tersebut. Rapat berlangsung di Ruang Banggar DPRD Luwu Timur.

Menurut Prof Abrar, PT Vale sangat menghargai perkebunan masyarakat di Tanamalia dan berusaha menjaga keharmonisan dengan warga setempat. Walaupun perusahaan sudah memenuhi semua syarat untuk menambang, dia menyatakan bahwa masalah utama yang perlu diperjelas adalah mana yang lebih dulu: masyarakat atau kawasan hutan.

Sebagai solusi, Prof. Abrar menyarankan agar Kementerian Kehutanan turun langsung ke masyarakat untuk memberikan sosialisasi. Pasalnya, PT Vale sudah memenuhi kewajibannya sebagai peminjam kawasan hutan.

"PT Vale berhak mengambil bijih nikel di Tanamalia, tetapi hanya jika sudah mengantongi izin. Di atas bijih nikel tersebut terdapat dua hal: kawasan hutan dan perkebunan warga, yang otoritasnya berada di tangan Kementerian Kehutanan," jelas Prof. Abrar.

Dia optimistis PT Vale akan mengedepankan kemanusiaan dan memberikan kompensasi kepada warga yang kebunnya rusak akibat penambangan. Namun, Prof. Abrar mengingatkan agar warga tidak membuat klaim berlebihan terkait nilai kompensasi.

"Tidak mungkin PT Vale akan memberikan kompensasi jika satu batang merica dihargai Rp1 miliar atau satu hektar dihargai Rp40 miliar, karena belum tentu hasil tambang di bawahnya senilai itu. Semua tambang ada kalkulasinya," tambahnya.

Dalam kesempatan tersebut, anggota DPRD Luwu Timur dari Fraksi PDIP, Mahading, mengajukan pertanyaan berat. "Jika negosiasi antara PT Vale dan masyarakat buntu, bagaimana posisi masyarakat di mata hukum?" tanya Mahading.

Prof Abrar menjawab dengan merujuk pada Perpres No. 5 tahun 2025 yang baru disahkan. Perpres ini menugaskan Jampidsus untuk menertibkan pihak-pihak yang masuk ke kawasan hutan secara ilegal.

"PT Vale terlalu baik karena tidak ingin mengorbankan masyarakat meskipun mereka telah menyerobot kawasan hutan, karena PT Vale sudah mengantongi IPPKH," ungkapnya.

Dia juga menambahkan bahwa untuk sementara waktu, posisi masyarakat dianggap sebagai penyerobot kawasan hutan, karena perlu dilakukan verifikasi kapan mereka mulai memasuki kawasan tersebut.
(TRI)
Berita Terkait
Berita Terbaru