Cahaya Ramadan: Ramadan dan Pentingnya Mazhab Negara?

Tim Sindomakassar
Jum'at, 24 Mar 2023 08:10
Cahaya Ramadan: Ramadan dan Pentingnya Mazhab Negara?
Kaswad Sartono. Foto: Dokumen pribadi
Comment
Share
Kaswad Sartono
- Kepala Biro Administrasi Akademik, Kemahasiswaan dan Kerjasama UIN Alauddin Makassar
- Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Makassar

Marhaban ya Ramadan! Tahun ini Bulan suci Ramadan 1444 Hijriyah datang bersamaan dengan kondisi alam yang bersahabat, ketinggian hilal di atas 6 derajat di atas ufuk berdasarkan pengamatan hilal di beberapa titik lokasi. Sehingga baik yang bermadzhab hisab maupun yang bermazhab rukyah sama-sama sepakat “1 Ramadhan, 23 Maret 2023”.

Tentu posisi hilal itu ditambah keberhasilan “melihat hilal” di beberapa titik pemantauan hilal di Indonesia, memudahkan bagi pemerintah melalui Menteri Agama RI H. Yaqut Cholil Qoumas bersama stakeholders terkait menetapkan secara mufakat awal Ramadhan dalam sidang Isbat “1 Ramadhan, 23 Maret” tanpa banyak dalil dan argumentasi.

Tentu kesepakatan secara mufakat “1 Ramadhan 1444 H. bertepatan Kamis 23 Maret 2023 M” itu memberikan kebahagiaan tersendiri bagi seluruh umat Islam di Indonesia. Kenapa? karena di negara yang berdasarkan Pancasila inilah yang sering dan terbiasa beda awal Ramadan, begitu juga beda ber-Idul Fitri dan Idul Adha.

Ketika saya sebagai salah seorang utusan Indonesia mengikuti Kursus Sijil Tinggi Falak yang dilaksanakan oleh kerja sama Kementerian Agama yang tergabung dalam organisasi MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Brunei) dengan Jawatan Kemajuan Islam Malaysia di Kuala Lumpur tanggal 15 sampai 22 November 2015, saya ditanya salah seorang peserta dari Malaysia dengan bahasa kelakar:



“Kenapa di Indonesia itu sering beda awal Ramadan dan beda juga Hari Raya Idul Fitri? Dan kenapa tidak bisa bersatu dalam keberagamaan. Tidak sama di Malaysia yang diatur Kerajaan?”.

Sebagai Kepala Bidang Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kanwil Kemenag Sulsel (waktu itu), sekaligus sebagai warga Indonesia yang bangga NKRI dan cinta tanah air, saya jawab secara diplomatis bahwa Indonesia adalah negara Pancasila, yang memiliki warga negara pluralistik, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan perbedaan, termasuk di dalamnya perbedaan awal puasa dan beda Idul Fitri, apalagi sifatnya furuiyyah. Dan perlu Anda ketahui, kata saya, pemerintah Indonesia atas nama negara juga memberikan penghormatan yang luar biasa atas setiap hari raya di setiap agama dan kepercayaan melalui kebijakan hari libur bersama. Itulah kehebatan Indonesia.

Nah, jika Ramadan tahun ini diawali dengan kesepakatan mufakat memulai puasa hari Kamis, 1 Ramadan bertepatan 23 Maret 2023 dengan suasana dan atmosfir yang sejuk, damai, dan bahagia seluruh komponen umat Islam, serta tidak ada pertanyaan dari kaum awam sekaligus adu dalil argumentatif di kalangan kaum alim terpelajar. Tentu kondisi yang seperti ini sangat baik bagi terwujudnya kerukunan dan persaudaraan umat beragama baik dalam perspektif keberagamaan maupun kebangsaan.

Namun demikian, bagaimana dengan Idul Fitri tahun 1444 Hijriyah ini? Bisakah bersatu dan bersama dalam berlebaran?



Saya, baik secara pribadi, sebagai pejabat Kementerian Agama, maupun sebagai Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama (NU) Kota Makassar tentu berharap dan berharap, demi kesejukan dan kedamaian umat beragama pada setiap momentum Ramadan di Indonesia ini, sangatlah indah jika “kaum langitan” para ulama-umara di tingkat pusat baik pimpinan ormas Islam (terutama NU dan Muhammadiyah), MUI, bersama Kementerian Agama dan Komisi VIII DPR RI duduk bersama, musyawarah, tudang sipulung, untuk menghadirkan “mazhab negara” bisa berbentuk undang-undang.

Bisa juga keputusan presiden yang dijiwai ajaran dan kandungan ulil amri minkum dalam rangka kemaslahatan dan menyatukan awal puasa dan berhari raya Idul Fitri dan Idul Adha, yang diharapkan sebagai pedoman dan referensi yang diikuti seluruh umat Islam di IIndonesia.

Urgensitas mazhab negara dalam konteks ini, apalagi memasuki tahun politik 2024, bukanlah bentuk intervensi negara dalam aktivitas ibadah, apalagi politisasi. Namun semata-mata kebijakan yang mengatur demi kemaslahatan. Betapa banyak kebijakan negara/pemerintah yang terkait dengan aktivitas keberagamaan yang diatur dalam undang-undang yaitu pernikahan, haji dan umrah, zakat, dan wakaf.

Menurut pandangan saya, salah satu karakter umat Islam Indonesia yang menonjol itu adalah ketaatan sama pimpinan keagamaannya “sami’na wa atho’na” dan berat sekali memiliki karakter “sami’na wa ‘ashoyna” kepada pimpinan mereka masing-masing, baik pemimpin formal maupun nonformal. Karakter ini sebagai potensi sekaligus peluang untuk menghadirkan “madzhab negara” dimaksud.



Misalnya, posisi hilal pada tanggal 29 Ramadhan 1444 Hijriyah secara teori hisab diperkirakan posisi hilal di bawah 2 derajat. Artinya, belum memenuhi kriteria ketentuan MABIMS.

Bukan main atmosfir keberagamaan umat Islam, jika terjadi perbedaan berhari raya, terutama Idul Fitri: (1) Ada masjid yang menyelenggarakan dua kali shalat ‘Id; (kemudian dibanding-bandingkan kuantitatif jumlah jamaah hari pertama dan hari kedua): (2) Ada khotib yang pamit, minta izin kepada takmir masjid, karena berniat shalat ‘Id di hari kedua; (3) Ada suami isteri atau orang tua-anak yang berbeda lebaran, sehingga suasana keluarga tidak bisa bergembira karena saling menghormati; (4) banyak jemaah yang shalat hari raya bukan karena keyakinan semata, namun karena takut sama pimpinan instansinya; dan (5) Ini yang terpenting, ada pandangan “umat lain” dan “umat awam” bahwa para ulama belum bisa bersatu dan menyatukan gara-gara perkara furuiyyah, bukan ushuliyah. Padahal para ulama selalu khotbah “wa’tashimuu bihablillaahi jami’an wa laa tafarraquu.”

Saya haqqul yaqin, dan bukti pengalaman menunjukkan bahwa tingkat kedewasaan dan toleransi keberagamaan dan kebangsaan di Indonesia cukup dan sangat baik, apalagi kampanye dan implementasi penguatan moderasi beragama terus dikembangkan. Namun demikian, jika ada political will dari para elit ulama-umara untuk menghadirkan “madzhab negara” (walaupun ada yang tidak sependapat), kebersamaan itu pasti lebih bermaslahah dan berkah, mabarakka.
(MAN)
Berita Terkait
Berita Terbaru