Data Kemiskinan di Indonesia Harus Jadi Evaluasii Serius

Rabu, 07 Mei 2025 10:45
Data Kemiskinan di Indonesia Harus Jadi Evaluasii Serius
Sekelompok pemulung anak melintas di jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar. Mereka mencari rongsokan botol plastik yang akan dijualnya kembali seharga Rp 1.500 per kilogram. Foto: Maman Sukirman
Comment
Share
JAKARTA - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyoroti ketimpangan tajam, antara data resmi yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) dengan laporan World Bank terkait tingkat kemiskinan di Indonesia.

Anggota DPR RI Komisi IV DPR RI, Saadiah Uluputty, menegaskan bahwa perbedaan metodologis yang ekstrem harus menjadi bahan evaluasi serius, terutama dalam konteks kerja Komisi IV yang membidangi sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan. Sebab, menurutnya, ketiga sektor tersebut merupakan tumpuan ekonomi mayoritas penduduk miskin di daerah pedesaan, pesisir, dan kepulauan.

Ia menguraikan bahwa BPS mencatat angka kemiskinan nasional per September 2024 sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa. Namun, World Bank dalam laporan ‘Macro Poverty Outlook’ April 2025 mengungkapkan bahwa berdasarkan ambang batas negara berpendapatan menengah atas (US$6,85 PPP), 60,3 persen penduduk Indonesia tergolong miskin.

“Ini bukan hanya soal statistik, tapi menyangkut keberpihakan negara terhadap rakyat kecil. Saat rakyat kita belum mampu memenuhi standar hidup layak global, itu berarti ada masalah struktural yang harus diselesaikan secara serius,” ujar Saadiah dalam rilisnya, di Jakarta, Selasa (6/5/2025).

Legislator Dapil Maluku ini menyoroti bahwa sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan merupakan wajah dari kemiskinan Indonesia yang tersembunyi di balik angka makroekonomi yang tampak membaik. Meskipun sektor pertanian tumbuh signifikan sebesar 10,52% (y-on-y) pada triwulan I-2025 menurut BPS, pertumbuhan ini belum sepenuhnya dirasakan oleh petani kecil.

“Harga jual komoditas yang fluktuatif, akses pupuk yang masih terbatas, dan distribusi program bantuan yang belum merata membuat petani tetap berada di lingkar kemiskinan,” tegas politisi yang juga Anggota Badan Anggaran DPR RI ini.

Pada sektor perikanan, Saadiah menyoroti masih rendahnya keberpihakan terhadap nelayan kecil, terutama dalam konteks penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur dan pembangunan kampung nelayan yang belum merata di kawasan timur Indonesia.

Sementara di sektor kehutanan, program rehabilitasi lahan kritis dan pemberdayaan masyarakat adat masih belum mendapat porsi anggaran yang memadai. Ia juga menyinggung rasio penerimaan negara terhadap PDB yang hanya 12,8 persen, terendah di antara negara-negara ASEAN. Hal ini mempersempit ruang fiskal untuk memperkuat layanan dasar di sektor-sektor esensial seperti pertanian, perikanan, dan kehutanan.

“Pemerintah harus mulai menyusun ulang arah pembangunan nasional berbasis data kemiskinan yang lebih realistis dan mengangkat martabat sektor-sektor rakyat seperti tani, nelayan, dan masyarakat hutan. Tanpa keberpihakan yang nyata, angka pertumbuhan hanyalah ilusi,” tutup politisi Fraksi PKS ini.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan kondisi bisnis dan ekonomi global yang berdampak pada kinerja perekonomian Indonesia di Kuartal I-2025.

BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 4,87 persen pada kuartal I-2025. Angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan pertumbuhan kuartal I-2024 yang tercatat sebesar 5,11 persen.
(GUS)
Berita Terkait
Berita Terbaru