Opini

In Memoriam Azwar Hasan, Akademisi Yang Tidak Biasa

Jum'at, 15 Agu 2025 17:23
In Memoriam Azwar Hasan, Akademisi Yang Tidak Biasa
Akademisi Unhas/Eks Komisioner KPID, KIP dan KPI Pusat, Aswar Hasan. Foto: Istimewa
Comment
Share
Oleh: Syarifuddin Jurdi
(Dosen Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar)

Dunia pergurun tinggi dengan segala keistimewaannya telah menjadi satu institusi yang cukup penting bagi tumbuh dan berkembangnya gagasan besar untuk membangun negara bangsa. Dari dunia pendidikan akan lahir ide-ide besar untuk kemajuan bangsa.

Perguruan Tinggi harus tetap menjaga instrumen utama untuk merawat jati diri dan identitas sebagai sebuah bangsa. Apakah kondisi pergurun tinggi kita akhir-akhir ini masih bisa diandalkan sebagai instrumen kemajuan suatu bangsa?

Tentu silang pendapat soal ini akan panjang urusannya. Tapi yang pasti kemerdekaan dosen sedikit demi sedikit telah “dirampas” dengan membuatnya sibuk dengan urusan administrasi.

Dalam situasi kampus yang semakin birokratis dan penuh dengan tugas-tugas administratif, menyebabkan sebagian dosen larut dalam urusan rutin administratif dan perlahan-lahan dunia keilmuan mengalami defisit. Karena yang dikejar para dosen bukan lagi bagaimana melakukan kapitalisasi pengetahuan, tetapi bergeser pada upaya untuk mengejar “point demi koin”.

Kira-kira begitu slentingan yang muncul. Akibatnya, banyak dosen yang menulis bukan untuk ilmu.

Diantara sedikit dosen yang masih konsisten dengan ilmu pengetahuan itu adalah Dr H Aswar Hasan. Ia aktif menuangkan gagasan dan refleksinya tentang nasib dan masa depan bangsa dalam bentuk tulisan pada media populer.

Yang jelas tulisannya itu bukan untuk kepentingan administratif, tetapi memang itulah Aswar yang lama dikenal publik. Aktif menuangkan pemikirannya untuk merespons kondisi sosial ekonomi dan politik bangsanya.

Akademisi yang memiliki kepedulian pada lingkungan, tempat dimana dia hidup dan berkarya. Aswar Hasan aktif merespons kondisi sosial politik bangsa melalui refleksi kritisnya, juga berimbang dan solutif.

Kesibukannya menyebabkan Aswar tidak memikirkan posisi birokrasi kampus yang hanya berkutat dengan urusan administrasi yang kian membebani para dosen. Aswar terus mengambil peran sebagai intelektual publik yang selalu peduli dengan kehidupan negara bangsanya.

Saya mulai mengenal dekat Aswar Hasan ketika menjadi Ketua Umum Forum Kajian Insani (FKI) FISIP Unhas. Beliau merupakan pembina yang banyak membantu dan berkontribusi bagi program FKI kala itu.

Ketika dalam suatu seminar yang diselenggarakan di Gedung Pertemuan Ilimiah (GPI) Unhas, acara itu dibuka oleh Pembantu Rektor 3 (kini namanya Wakil Rektor) Prof Dr Syarifuddin Wahid.

Saya menyampaikan pengantar kegiatan yang menurut Aswar Hasan cukup menarik dan beliau meminta sambutan itu untuk publikasikan. Saya sangat senang mendengarnya, untuk publikasi tulisan kala itu bagi mahasiswa masih sulit, kecuali media internal kampus dan buletin yang diterbitkan sendiri.

Saya memiliki kesan bahwa Aswar merupakan senior yang cukup peduli dan memberi perhatian kepada yuniornya dengan caranya yang cukup sederhana dan menyentuh. Itulah model pengkaderan para pendahulunya kepada yuniornya. Saya sempat bergaul dengan beberapa guru beliau di PII dan GPII.

Hubungan kami semakin dekat. Banyak aktivitas lain yang secara kebetulan diikuti secara bersama dengan pembina FKI yang lain Dr Mansyur Semma allahuyarham. Kami (saya tentu posisinya ‘pesuruh’, karena masih mahasiswa, menjelang lulus) dari Fisip Unhas yang dalam satu rombongan, menghadiri Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) yang spektakuler pada November 1998 di Jakarta.

Suatu pertemuan kalangan muslim Indonesia yang melintasi sekat organisasi, aliran dan lain sebagainya. Para cendekiawan muslim dan intelektual dari berbagai kampus juga hadir pada kongres itu. Politisi parlemen, menteri kabinet dan birokrat memenuhi arena kongres yang dibuka secara resmi presiden BJ Habibie, peserta kongres diterima presiden di Istana Negara.

Posisinya sebagai aktivis tidak pernah hilang dalam rumus kehidupannya. Aswar Hasan selalu aktif dalam kegiatan sosial keagamaan. Itulah sebabnya ia dapat dimasukkan dalam kategori intelektual yang tidak biasa.

Selain urusan dan tanggungjawabnya sebagai akademisi ditunaikan dengan baik, tetapi juga melakukan tugas lainnya yang justru lebih berat dari tugasnya sebagai akademisi.

Pertama, terlibat aktif dalam kegiatan sosial keagamaan. Pasca-kembali dari kongres di Jakarta tahun 1998, sejumlah aktivis Islam, akademisi, pengurus ormas Islam dan ulama menginisiasi serangkaian pertemuan.

Dan berujung dengan diselenggarakan kongres Umat Islam Makassar yang kemudian melahirkan Komite Persiapan Penegakkan Syariat Islam (KPPSI), yang dinahkodai oleh putranya Kahar Muzakkar yakni Abdul Azis Kahar sebagai ketua. Melibatkan hampir seluruh ulama di Sulawesi Selatan, ulama kharismatik Muhammadiyah dan NU masuk dalam struktur KPPSI, sementara Aswar duduk sebagai Sekretaris Jenderal dari komite baru tersebut.

Munculnya sejumlah intelektual kampus dalam struktur KPPSI sukar disebut bahwa organisasi baru itu radikal atau wahabi atau istilahnya lainnya, karena semua ormas Islam menyekapati lahirnya KPPSI. Ketika muncul tudingan soal radikal atau istilah mau mendirikan negara Islam, Aswar tampil sebagai juru bicaranya.

Aktivitas pada dunia pergerakan Islam merupakan bagian integral dari kehidupan Aswar. Ia aktif dalam kegiatan pengkaderan PII. Ia telah menjadi instruktur PII pada tahun 1980-an menjelang organisasi pelajar Islam tertua itu membubarkan diri pada tahun 1986, karena kompak menolak azas tunggal Pancasila.

Kalau ada yang menerima azas tunggal, mungkin PII sudah pecah menjadi misalnya ada PII Pejuang dan PII Istiqamah. Tapi satu komando, satu suara menolak azas tunggal.

Azas tunggal Pancasila berhasil menciptakan polarisasi di kalangan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang melahirkan kelompok yang menerima azas tunggal (Dipo) dan yang menolak azas tunggal (MPO). Aswar merupakan kader HMI ketika memasuki dunia kampus.

Kalangan Muhammadiyah juga muncul silang pendapat soal ini. Meski tidak menghasilkan perkubuan, mereka yang tidak sepakat dengan keputusan PP Muhammadiyah menarik diri dari pengurus. Demikian pula dengan kelompok Islam lainnya, sikap pro kontra itu sangat kuat pada masa itu, apalagi di Kota Makassar.

Pada bagian lain dari hidupnya, Aswar Hasan juga sudah terlibat dalam kegiatan Al-Markaz Al-Islami. Masjid terbesar ini melibatkan sejumlah akademisi sebagai pengurusnya. Akademisi dari Unhas, UIN, UNM, Unismuh, UMI dan kampus lainnya masuk dalam kepengurusan Al-Markaz, Aswar Hasan termasuk didalamnya.

Ia menjadi bagian dari kehidupan spiritual masyarakat. Awal-awal Al-Markaz beroperasi pada dekade 1990-an, masjid itu menjadi semacam tempat “wisata” spiritual bagi anak-anak muda/mahasiswa.

Ketika hari Jum’at, pasti ramai sekali dengan mahasiswa, tempat berjumpanya apara aktivis dari berbagai kampus di Makassar.

Saya sendiri yang paling menarik kalau hari Jumat di Al-Markaz adalah mencari majalah Forum dan Gatra bekas yang harganya terjangkau di kantong mahasiswa. Itu saya suka baca, banyak beritanya yang menarik, sebagian majalah itu masih saya koleksi hingga kini.

Tradisi yang selalu terjadi yakni ngumpul dengan teman-teman atau dengan dosen. Biasanya saya serung jumpa dengan Dr Mansyur Semma dan Dr Aswar Hasan, diskusi ringan di teras masjid, suatu kondisi yang mungkin kini sukar ditemukan. Al-Markaz menjadi tempat yang memperjumpakan saya dengan dua dosen itu secara rutin.

Kedua, menjadi penulis yang produktif. Sangat sedikit dosen yang memiliki tingkat produktifitas tinggi seperti Aswar Hasan. Ada kolom khusus pada Harian Pagi Fajar dan ruitn menulis di Tribun Timur serta media lainnya tingkat nasional.

Saya banyak berguru pada beliau soal ini. Tentu yang harus dirawat adalah kesadaran untuk tetap menulis. Slah satu tugas dosen adalah menulis, bukan hanya sekadar untuk urusan poin. Tetapi untuk mencerahkan umat, bangsa dan negara.

Aswar telah melakukan dengan tekun dalam urusan tersebut sejak dahulu. Terus-menerus merawat dan menjaga kesadaran itu, hingga menjelang ajal menjemputnya masih menulis pada media massa dalam bentuk kritik terhadap penegakkan hukum di Indonesia. Khususnya terkait dengan kasus Silfester Matutina yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi belum juga dieksekusi oleh aparat hukum.

Ketiga, menjadi muballigh. Sebagai aktivis Islam, Aswar Hasan aktif juga dalam kegiatan pencerahan spiritual. Kegiatan sebagai muballig merupakan bagian integral dari ruitinitasnya.

Sebagai pengurus Masjid besar di Makassar yakni Masjid Al-Markaz Al-Islami, ia terlibat aktif dalam merencanakan kegiatan dakwah. Sekaligus menjadi muballigh pada sejumlah masjid, komunitas dan kelompok masyarakat.

Selain aktif dalam kegiatan menulis, Aswar mengambil peran aktif dalam urusan pencerahan umat dengan kegiatan dakwah Islam. Doktrin ini merupakan doktrin dasar yang diajarkan dalam proses pelatihan dan pengkaderan pada organisasi.

Dimana Aswar terlibat sebagai pengurus, termasuk ketika beliau aktif sebagai sekjen KPPSI. Suatu posisi yang memerlukan keahlian tambahan sebagai muballigh, karena massa akar rumput memerlukan sosok yang fasih berbicara agama.

Keempat, menjadi pejabat publik. Aswar tidak hanya populer di kalangan terbatas. Tetapi ketika seleksi untuk menduduki jabatan publik yang memerlukan keterlibat kekuasaan, misalnya ketika Aswar ikut seleksi sebagai Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) pada tahun 2007, harus melewati tahapan seleksi yang ketat oleh DPRD Provinsi.

Dan setelah lolos, baru ditetapkan oleh gubernur, Azwar terpilih sebagai ketua KPID untuk periode pertama dan periode kedua. Setelah purna tugas sebagai KPID, Azwar mengikuti seleksi lagi untuk menjadi Komisioner Komisi Informasi Publik (KIP), prosedurnya sama, kompetisinya juga ketat.

Beliau terpilih untuk dua kali masa jabatan dan diamanahi sebagai Ketua KIP Provinsi Sulawesi Selatan, sebelum akhirnya terpilih sebagai Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Pusat yang syarat dengan instrik dan kepentingan. Untuk jabatan terakhir ini, Aswar sempat difitnah sebagai bagian dari organisasi terlarang, padahal tidak ada hubungan dan tidak terkait sama sekali.

Kiprah publik Aswar Hasan tersebut merupakan keunikan seorang dosen. Tidak banyak dosen yang memiliki perhatian luas begitu dengan melibatkan diri pada berbagai komunitas. Termasuk komunitas intelektual melalui group WA dan media sosial lainnya.

Tentu kita patut menyebut Aswar Hasan sebagai sosok akademisi yang tidak biasa. Ia memiliki apa yang dimiliki muballigh, ia memiliki apa yang dimiliki aktivis, juga ia memiliki apa yang dimiliki wartawan yakni keterampilannya mengemas isu dan opini publik dengan cepat.

Tentu sebagai dosen memiliki keterampilan teoritik dan metodologis. Pemikirannya menggambarkan kekuatan paradigmatik dan metodologis yang kuat.

Dalam salah satu artikelnya sekitar tahun 2009/2010, Aswar menyajikan data tayangan media TV yang menurutnya sebagian tayangan TV itu tidak mendidik. Isinya kebanyakan intrik, perselingkuhan, pamer kekayaan, gosip dan lainnya. Artikel beliau itu saya gunakan sebagai bahan diskusi di kelas dengan mahasiswa.

Dalam posisi sebagai komisioner KPID, Aswar benar-benar memantau tayangan media elektronik dan memberi pencerahan melalui tulisan agar publik secara luas mengetahuinya.

Dalam posisi demikian, sulit menemukan sosok ideal seperti Aswar Hasan. Ia memiliki banyak hal yang tidak semua orang miliki, itulah sebabnya saya menyebutnya sebagai akademisi yang tidak biasa.

Selamat jalan Kanda Dr H Aswar Hasan. Senior panutan yang banyak memberi inspirasi. InsyaAllah engkau memperoleh tempat terbaik di sisi Allah SWT, Allahummaghfirlahu warhamhu wa afihi wa fu'anhu.
(UMI)
Berita Terkait
Berita Terbaru