Merestorasi Kelalaian Medik

Rabu, 03 Des 2025 10:29
Merestorasi Kelalaian Medik
Prof Dr Amir Ilyas SH MH. Foto: Dok/SINDO Makassar
Comment
Share
Oleh: Prof Dr Amir Ilyas SH MH
Guru Besar Ilmu Hukum Unhas

Upaya merestorasi kelalaian medik, sudah seharusnya menjadi perhatian utama dalam pembaharuan hukum kesehatan di negeri ini. Sayangnya, langkah progresif para penegak hukum, seperti Kepolisian dan Kejaksaan dalam mengenalkan keadilan restoratif (Restorative Justice – RJ) lebih banyak meng-ekspose kasus-kasus pencurian, penganiayaan. Tak pernah ditemukan kedua penegak hukum tersebut memberikan “rilis” perkara kelalaian medik berhasil diselesaikan dengan melalui RJ.

Selain itu, penerapan RJ dalam dunia medik dengan berdasarkan ketentuan perundang-undangan, terutama UU No. 17/2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) yang telah “mengomnibus” 11 (sebelas) Undang-undang Sektor Kesehatan, justru meratakan semua jenis kesalahan dalam hukum pidana, baik sengaja maupun lalai dapat menerapkan sarana penyelesaian RJ sebagaimana diatur dalam Pasal 306 ayat 3 UU Kesehatan.

Tidak patut dan tidak beralasannya kesalahan yang berkualifikasi sengaja dalam tindak pidana medik diselesaikan dengan melalui RJ, perdamaian antara korban/keluarga korban dengan dokter sebagai pelaku. Tidak memerlukan rasionalisasi dan penjelasan yang panjang, kasus seperti abortus criminalis, eutanasia, sudah dapat dipastikan semua orang akan menolaknya jika hendak diselesaikan dengan cara damai.

Berbeda halnya dengan “kelalaian medik,” kendatipun tidak harus diletakkan sebagai “hukum absolut” semua perkara demikian wajib diselesaikan dengan cara RJ. Dalam telaah filosofis, suatu kelalaian atas tindakan tenaga medis (dokter) yang berakibat pada luka berat atau bahkan kematian, “sikap batin” yang kemudian dimaknai sebagai “kecerobohan, kurang penghati-hatian” membuka “toleransi” dapat dimanfaatkannya si pembuat pidana. Dalam keseharian, popoler kita mendengar, ungkapan dan kata: “maaf, saya tidak sengaja.”

Doktrin hukum pidana, untuk mengobjektifisir “kelalaian” yang mewarnai literatur hukum pidana saat ini, yakni “tidak boleh orang yang benar-benar ahli” sulit untuk terterima dalam tindak pidana kelalaian medik. Mengapa…? Sebab pembuktian “kelalaian medik” bukan tersentralisasi saja pada akibat (luka berat atau kematian), tetapi standar profesi, SOP, standar medik, sebagai instrumen utama mengukur, menilai, ada tidaknya “bayangan” dokter terhadap akibat yang telah terjadi.

Standar profesi, SOP, dan standar medik ini yang menjadi ukuran,“responsible body of medical opinion,” yaitu kelompok dokter yang memiliki kompetensi dan reputasi dalam bidang yang sama, menilai terpenuhi tidaknya seluruh standar yang diberlakukan dalam ilmu kedokteran.

Praktik pembuktian hukum pidana kedokteran di depan persidangan, memang selalu memberikan kemerdekaan kepada majelis hakim pengadilan, bersandar pada otoritas alat bukti petunjuk. Namun tidak dapat dilepaskan, keterangan dokter dengan kapasitas yang sama dari si dokter yang berstatus terdakwa, sebagai “keterangan ahli” yang dapat didudukkan memiliki persesuaian dengan alat bukti keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Pada konteks demikian, dihadirkannya Majelis Disiplin Profesi Tenaga Medis dalam UU Kesehatan, maka putusan Majelis Disiplin Profesi, selain harus menjadi dasar dapat diterapkannya RJ untuk dokter – pasien/keluarga pasien, juga dapat diletakkan sebagai alat bukti “surat” di depan persidangan, jika upaya RJ gagal di pra-ajudikasi.

Kelalaian medik terukur dengan adanya sikap batin yang dapat dibayangkan oleh pelaku, dalam hal ini dokter sebagai pihak yang telah melakukan tindakan, terhapuskan pencelaan terhadap kesalahan. Jika sebelumnya “akibat yang akan terjadi” diperjanjikan sebagai “risiko medik.” Volenti non fit injuria - asumption of risk” - barang siapa secara sukarela bersedia untuk menanggung risiko, tidak dapat kemudian menuntutnya apabila risiko itu benar-benar terjadi. Asas ini merupakan rujukan utama, dokter tidak dibebani kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Sekaligus penerimaan doktrin sifat melawan hukum materil berfungsi negatif tidak hanya berlaku pada delik berkualifikasi dolus/sengaja, tetapi juga berlaku pada delik berkualifikasi culpa atau lalai.

Dalam kelalaian medik, tidak ada dokter yang bermaksud “membunuh” pasien., baginya, keselamatan pasien merupakan hukum tertinggi. Sehingga sebagai upaya merestorasi kelalaian medik dalam pembaharuan hukum kesehatan, perlu revisi terbatas UU Kesehatan dengan mengatur: (1) Hanya tindak pidana kelalaian medik yang dapat diselesaikan dengan melalui RJ; (2) Kelalaian medik berulang menjadi pengecualian tidak dapat menggunakan mekanisme RJ; (3)Harus dibentuk lembaga yang bernama “Sentra Penegakan Hukum Keadilan Restoratif Korban Pelaku yang terdiri atas unsur: Majelis Disiplin Profesi Tenaga Medis, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan (Hakim); (4) Hasil kesepakatan bersama dalam forum RJ, antara dokter dengan pasien yang diketahui oleh Majelis Disiplin Profesi Tenaga Medis, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan (Hakim) harus ditetapkan dengan melalui Pengadilan Negeri.

Perlunya penetapan hasil kesepakatan atau perdamaian antara dokter dan pasien melalui Pengadilan Negeri. Agar RJ tidak dipandang sebagai sarana “pembebasan pelaku,” kelak di kemudian hari jika dokter tersebut melakukan “kelalaian medik” lagi, RJ tidak berlaku baginya.
(MAN)
Berita Terkait
Berita Terbaru