Opini

Dari Aksi Massa ke Reshuffle Kabinet Presiden Prabowo

Rabu, 10 Sep 2025 14:53
Dari Aksi Massa ke Reshuffle Kabinet Presiden Prabowo
Syarifuddin Jurdi, Dosen UIN Alauddin Makassar dan Komisioner KPU Prov. Sulsel 2018-2023. Foto: Istimewa
Comment
Share
Oleh: Syarifuddin Jurdi
Dosen Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar

Bangsa Indonesia menjadikan Agustus sebagai bulan yang istimewa. Bulan dinanti-natikan seluruh rakyat Indonesia. Bulan ini memiliki makna yang mendalam, setidaknya ada dua hal penting yang menjadi rutinitas bangsa pada bulan ini.

Pertama, merayakan hari kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus. Suatu peristiwa politik penting menandai kehidupan bangsa Indonesia yang bebas dari kolonialisme/penjajahan. Sejak awal bulan, sudah berkibar bendera merah putih pada seluruh halaman rumah warga.

Kedua, pada tanggal 16 Agustus merupakan momen dimana Presiden RI menyampaikan nota keuangan kepada DPR mengenai postur Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun berikutnya.

Dua peristiwa ini selalu dinantikan bangsa Indonesia, yang pertama berurusan dengan kemerdekaan, yang kedua berurusan dengan agenda kesejahteraan rakyat.

Namun pada Agustus 2025,ada yang berbeda yakni bangkitnya gerakan protes/aksi massa menentang kelompok elite berkuasa yang dilakukan masyarakat.

Gerakan protes warga dimulai dari daerah sebagai reaksi terhadap kebijakan kepala daerah yang menaikkan pungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Kenaikannya bervariasi antar daerah, ada yang menaikkan 250 persen hingga ada daerah yang PBB-P2nya naik sampai 1000 persen. Suatu kebijakan yang membebani dan menyulitkan masyarakat, sementara situasi ekonomi bangsa dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.

Gerakan protes yang paling kencang disuarakan adalah gerakan masyarakat Pati yang melakukan demonstrasi besar-besaran untuk merespons kebijakan Bupati yang menaikkan PBB-P2 sampai 250 persen. Semula gerakan massa menuntut agar PBB-P2 diturunkan atau dibatalkan, namun sang bupati tidak memberi respons yang simpati terhadap tuntutan massa.

Gerakan kemudian berkembang menjadi gerakan massa yang luas dan tuntutan bergeser ke desakan untuk mencopot bupati dari jabatannya atau meminta bupati secara sukarela agar mengundurkan diri.

Eskalasi gerakan juga terjadi di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan yang menuntut pembatalan kenaikan PBB-P2 yang mencapai 300 persen. Gelombang massa yang protes juga banyak, akhirnya pemerintah membatalkannya.

Pati menjadi “sumbu” yang membakar emosi dan memunculkan perlawanan rakyat pada sejumlah daerah yang protes kenaikan PBB.

Gerakan berlanjut pada sejumlah daerah lainnya, hingga terjadi semacam lelucon yang ditunjukkan oleh elite politik di gedung pemerintahan dan parlemen yang seakan-akan tidak peduli terhadap problema yang dirasakan rakyat.

Elite berkuasa berada dalam posisi yang menguntungkan, mereka tidak mau “berpikir” serius bagaimana mengelola dan mengurus negara. Bagaimana menghasilkan kapital untuk dipergunakan bagi kesejahteraan rakyat, tanggungjawab yang melekat pada dirinya tidak dimanfaatkan untuk kemaslahatan.

Mereka justru memilih jalan “pintas” dengan membidik objek yang dapat dikenakan pajak serta memperbesar pajak-pajak lainnya yang sudah ada.

Itulah yang dilakukan pemerintah daerah dan pemerintah pusat dengan menetapkan sejumlah objek pajak baru agar penerimaan negara lebih besar. Pada sisi lain, kita mendengar dan menyaksikan bahwa pengelolaan pajak kita bocor. Dimanipulasi dan dikorupsi oleh pengelolanya.

Misalnya dulu pernah muncul seorang staf Pajak berpangkat Golongan III/A namanya Gayus Tambunan, memiliki kekayaan hingga ratusan milyar. Dalam kasus Gayus, banyak pejabat pajak yang terlibat. Ada Angin Prayitno Aji, seorang Direktur pada DJP, Rafael Alun Trisambodo, mantan pejabat pajak yang terlibat dalam kasus TPPU, dan banyak lagi dengan modus suap, penyalahgunaan wewenang, dan gratifikasi.

Kebocoran anggaran pajak merupakan lemahnya pengawasan pemerintah dalam mengelola penerimaan negara. Apabila hal ini terus berlanjut akan menghasilkan ketidakpuasan terhadap pemerintah.

Kondisi sosial ekonomi masyarakat sedang mengalami problem yang tidak sederhana, daya beli yang rendah, PHK yang meluas, lapangan kerja yang minim serta problem lainnya.

Kenaikan pajak dalam situasi seperti ini merupakan tindakan yang tidak bijak, tidak peduli dan abai terhadap realitas masyarakat. Belum reda perasaan rakyat yang “terampas hak-haknya” atas kenaikkan pajak yang sangat membebani, di tengah keprihatinan kolektif bangsa, masih ada elite yang hidup dengan memamerkan kemewahan.

Pemerintah telah menegaskan bahwa kita perlu hidup sederhana dan efisiensi untuk menjaga fiskal agar tetap stabil. Meskipun kita kritik, bahwa ajakan efisiensi ini terkadang kontras dengan tindakan pemerintah sendiri. Misalnya jumlah pejabat negara yang diangkat untuk pos-pos kementerian berlipat. Ada pos menteri yang memiliki dua orang wakil menteri.

Belum lagi pemekaran sejumlah kementerian. Terbaru adalah pemekaran Kementerian Agama dengan lahirnya Kementerian Haji dan Umrah. Itu pasti menyedot anggaran negara yang tidak sedikit dan membebani keuangan negara. Namun hal itu akan direspons publik secara positif apabila memberi dampak sosial ekonomi bagi kesejahteraan rakyat.

Kebijakan yang tidak memihak pada kepentingan rakyat terjadi secara masif pada hampir semua level pemerintahan. Rakyat menyaksikan dan menyimak informasi mengenai perilaku elite, ucapan, tindakan dan sikap mereka menjadi tontonan dan bacaan rakyat. Mereka (rakyat) mengelola informasi itu, baik secara utuh maupun sepotong-sepotong yang dianggap mampu meningkatkan emosi dan perasaan kolektif. Langkah itu mampu menghasilkan aksi massa yang luas.

Elite yang tidak mendengarkan dan justru menentang protes rakyat terhadap kenaikan gaji dan tunjangan serta fasilitasnya, langsung menjadi sasaran massa. Misalnya anggota DPR yang membela kebijakan tunjang rumah dan fasilitas lainnya, rumahnya dijarah.

Demikian juga kita menyaksikan anggota DPR yang menyebut rakyat yang menuntut pembubaran DPR sebagai orang tolol. Massa menjadikan rumah pribadinya sebagai sasaran penjarahan. Wakil rakyat ini sebenarnya hidup dalam kelimpahan harta. Mereka memperoleh berbagai fasilitas mewah, gaji dan tunjangan besar. Mereka juga dilengkapi dengan staf ahli yang jumlahnya tiga-lima orang per anggota DPR, bertugas memikirkan banyak hal yang akan disuarakan anggota DPR.

Semua gaji staf ini bersumber dari anggaran negara. Artinya anggota DPR itu sudah dilengkapi negara dengan “fasilitas berpikir”, sehingga mereka tidak perlu berfikir berat-berat, karena ada staf ahli yang berpikir.

Perilaku anggota DPR yang membangkitkan emosi massa adalah peristiwa joget-joget di gedung DPR pasca sidang paripurna mendengarkan nota keuangan pemerintah. Perilaku elite itu tidak patut, tidak memiliki empati terhadap kesulitan yang dirasakan rakyat.

Mereka menunjukkan sikap yang tidak mencerminkan realitas kehidupan masyarakat, di gedung yang terhormat DPR Senayan seperti sedang berpesta pora merayakan “kemenangannya”. Bukan kemenangan bangsa Indonesia lepas dari penjajahan (kira-kira begitu publik menilainya).

Tapi kemenangan mereka dengan naiknya gaji dan tunjangannya, dalam hitungan kasar sejumlah netizen menyebut, bahwa gaji dan tunjangan anggota DPR yang mewakili rakyat itu mencapai ratusan juta rupiah per bulan, bahkan bisa menembus milyaran. Untuk sewa rumahnya saja dianggarkan per orang sebesar Rp50 juta (untuk sewa rumah ini sudah dihentikan sejak 31 Agustus 2025). Dilengkapi dengan penerimaan berupa gaji, tunjangan, honor rapat, perjalanan dinas, dana reses, dana aspirasi dan lain sebagainya.

Itulah faktor pemicu sebagai pra-kondisi prahara Agustus 2025 yang menewaskan sejumlah orang. Di Jakarta yang paling fenomenal adalah kematian Affan Kurniawan (pengemudi Ojek Online) yang dilindas mobil Brimob.

Kematian Affan pemicu yang kuat membangkitkan aksi kolektif untuk menuntut keadilan kepada mereka yang memegang otoritas politik. Affan menjadi “peluru dan martir” yang memikat aktor gerakan untuk menuntut keadilan.

Aksi massa penghujung Agustus 2025 juga tidak hanya menewaskan Affan, tetapi juga menewaskan sejumlah orang lain. Di Makassar terdapat empat orang tewas. Tiga diantaranya akibat terjebak dalam kebakaran kantor DPRD Kota Makassar oleh aksi massa.

Entah siapa yang memprovokasi melakukan pembakaran, namun api tiba-tiba membesar, menyebabkan sejumlah orang terjebak dalam gedung DPRD itu. Pembakaran juga terjadi di kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan. Di Surabaya juga terjadi gerakan perusakan yang sama, di Yogyakarta dan beberapa tempat lainnya di Indonesia.

Pencopotan Menteri
Pemerintahan Prabowo Subianto selama 10 bulan 20 hari sudah dua kali melakukan reshuffle kabinet. Kali pertama Prabowo mengganti satu orang menteri yakni Satryo Soemantri Brodjonegoro dari jabatannya sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek) dengan menunjuk Brian Yulianto sebagai Mendikti Saintek yang baru pada 19 Februari 2025.

Satryo menjabat sebagai Mendikti Saintek selama empat bulan setelah dilantik sebagai Menteri pada 21 Oktober 2024. Satryo dan Brian memiliki latar belakang kampus yang sama yakni Institut Teknologi Bandung.

Satryo diganti karena kegaduhan yang melanda kementeriannya. Pejabat dan staf Kemendikti Saintek melakukan demo terhadap tindakan dan kebijakan Satryo yang mereka anggap arogan dan suka marah-marah kepada bawahannya. Hampir seluruh staf kementerian kompak demo secara besar-besaran menuntut pencopotan sang menteri. Akhirnya suara staf kementerian tersebut memperoleh respons presiden dengan menggantinya.

Fase kedua Prabowo melakukan reshuffle adalah mengganti sejumlah anggota kabinet pascaprahara Agustus 2025. Langkah Presiden Prabowo sebagai respons terhadap tuntutan masyarakat yang melakukan demonstrasi pada hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia.

Ada kaitannya dengan reshuffle kabinet? Apabila melihat anggota kabinet yang dicopot memiliki persoalan publik, misalnya Menteri Keuangan sebelumnya diisukan mengundurkan diri pascarumahnya dijarah oleh massa. Menteri Koperasi sudah lama didesak publik untuk diganti, karena dugaan kaitannya dengan kasus Judi Onlien (Judol) ketika menjabat Menteri Komunikasi dan Informasi. Menteri Perlindungan Pekerja Migran diduga memiliki hubungan dengan tersangka kasus pembalakan.

Menko Polkam mungkin yang secara langsung dapat dikaitkan dengan kondisi keamanan bangsa. Menko Polkam tidak pernah kelihatan publik selama musim demonstrasi berlangsung, justru yang muncul adalah Menteri Pertahanan. Sementara Menpora dicopot belum ada penggantinya, sama posisinya dengan Menko Polkam.

Soal alasan pencopotan sejumlah menteri, Menteri Sekretaris Negara ketika mengumumkan posisi menteri yang akan direshuffle hanya menyebut bahwa mereka diganti setelah presiden melakukan evaluasi terhadap kinerja mereka, ini alasan normatifnya.

Pencopotan itu sendiri bermakna banyak. Presiden merespons aksi massa dengan mencopot beberapa menteri yang menjadi sorotan publik. Langkah presiden memperoleh respons positif, publik justru memandang bahwa presiden dapat melakukan lebih dari itu untuk pembenahan kabinetnya.

Idealnya presiden harus mengevaluasi keseluruhan menterinya, tidak hanya lima menteri tersebut yang harusnya dipergilirkan kepada anak-anak terbaik bangsa yang memiliki idealisme, kapasitas, integritas dan loyalitas kepada negara Pancasila.

Presiden dapat mengganti lebih banyak dari lima orang itu, mengingat sejumlah posisi kementerian masih dikuasai oleh aktor politik yang memiliki cacat moral dan problem historis yang masih kuat dalam ingatan masyarakat Indonesia.

Kembali ke posisi Menko Polkam, presiden dapat mempertimbangkan kembali untuk menggunakan nomenklatur lama dengan nama Menko Polhukam. Posisi ini dapat dimerger dengan Menko Hukum, HAM, Imigrasi dan Lapas. Apabila ini dilakukan, maka agenda perampingan kabinet dapat perlahan berjalan, presiden mengevaluasi anggota kabinetnya secara ketat.

Kapasitas, integritas dan loyalitas kepada presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan, serta loyalitas kepada negara harus menjadi standar dalam penentuan posisi kabinet.

Meskipun demikian, harus disadari bahwa terlepas gonjang-ganjing reshuffle kabinet yang melahirkan sentimen pasar dan publik. Kecuali Menteri Keuangan dan penggantinya yang dianggap tidak ideal, pro-kontra terhadap Menkeu baru berlanjut dengan adanya pernyataannya yang menghasilkan perdebatan publik.

Pernyataannya terlalu percaya diri bahwa dia bisa begini dan begitu, mereka belum tahu saya, dan seterusnya. Publik menunggu apa yang akan dilakukannya ke depan, apakah target pertumbuhan 7-8 persen dapat terwujud sesuai optimismenya

Satu poin bahwa langkah reshuffle ini sebagai strategi Presiden Prabowo melakukan pembenahan dan pembentukan kekuatannya sendiri untuk memastikan visi-misi dan program pemerintahannya dapat terwujud. Formasi kabinet belum ideal untuk meyakinkan publik bahwa mereka dapat bekerja maksimal mewujudkan Asta Cita presiden. Wallahu a’lam bi shawab.
(UMI)
Berita Terkait
Berita Terbaru