Opini
Dualisme Kepemimpinan PPP dan Tradisi Konflik Partai
Senin, 29 Sep 2025 23:21
Ilustrasi suasana Muktamar PPP yang sedang bersitegang. Ilustrasi: ChatGPT
Oleh: Syarifuddin Jurdi
Dosen Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan partai politik lama yang eksis sejak awal Orde Baru. Pada 27-29 Septeber 2025 menyelenggarakan Muktamar X yang digelar di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara.
Muktamar merupakan momentum partai untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program, kepemimpinan dan pencapaian partai. Mulai dari pusat hingga yang paling bawah, Muktamar menjadi ajang konsolidasi nasional partai.
Namun demikian, Muktamar X PPP bukan untuk konsolidasi, tetapi menjadi arena adu kekuatan, adu jotos, dan bahkan lempar kursi antar pendukung kandidat ketua umum, hingga saling klaim kemenangan antara kubu Agus Suparmanto (Penantang) dan kubu Muhammad Mardiono (Plt Ketua Umum).
Posisi PPP yang gagal masuk parlemen pada Pemilu 2024 semestinya menjadi agenda utama yang diperbincangkan oleh elite-elite partai yang berkumpul dalam forum muktamar itu.
Semua elite dan pemuka partai secara bersama merenungkan mengapa PPP dari pemilu ke pemilu pasca Orde Baru mengalami penurunan dukungan?
Apa yang yang menjadi persoalan sehingga partai besar ini harus tersingkir dari parlemen? Bukankah dua partai lama (Golkar dan PDI-P) yang eksis era Orde Baru terus membesar dan menempati posisi teratas dalam perolehan dukungan suara pemilih sejak pemilu era reformasi diselenggarakan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut harusnya dapat diperbincangkan dalam forum Muktamar. Suatu forum strategis dan tertinggi dalam pengambilan keputusan partai agar pada pemilu 2029, PPP kembali hadir di parlemen.
Tetapi faktanya, Muktamar hanya dipergunakan sekelompok elite partai dalam proses perebutan posisi kekuasaan partai, tanpa secara serius mendiskusikan serta menemukan masalah-masalah mendasar partai.
Posisi partai yang tidak ada di parlemen pusat harusnya menjadi kegelisahan kolektif, sementara konflik itu akan menggerus potensi dan dukungan partai.
Publik menilai bahwa elite-elite PPP hanya peduli pada posisi kekuasaan partai, tidak maksimal memikirkan bagaimana masa depan masyarakat, umat Islam, bangsa dan negara.
Bahkan mereka untuk memikirkan bagaimana memecahkan masalah internal partai sudah tidak peduli lagi, bagaimana mereka peduli pada masalah yang lebih luas.
Sejak awal PPP berdiri yang merupakan fusi dari partai-partai Islam (Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia dan Partai Tarbiyah Islamiyah) pada tahun 1973 telah menjadi partai yang diperhitungkan dengan basis massa yang cukup jelas yakni kalangan muslim.
Dalam catatan pemilu Indonesia sejak awal berdirinya, partai ini cukup baik dukungan pemilih. Misalnya pemilu 1977 yang merupakan pemilu pertama bagi PPP, secara nasional berhasil meraih 18.743.491 suara, setara dengan 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971.
Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Pada pemilu 1982, dukungan terhadap PPP mengalami penurunan, perolehan kursinya menyusut menjadi 94 kursi.
Pada Pemilu 1987, PPP kehilangan kursi yang sangat signifikan dari 94 kursi menjadi 61 kursi. Kehilangan 33 kursi, perolehan kursi pada pemilu 1992 hanya menambah satu kursi menjadi 62 dibandingkan pemilu 1987.
Grafik dukungan kembali diperoleh PPP pada pemilu 1997 dengan bertambahnya perolehan kursi menjadi 89 kursi, meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992.
Dukungan pemilih kepada PPP pada era Reformasi mengalami siklus yang menunjukkan grafik yang tidak meyakinkan bagi eksistensi partai. Meskipun ketua umum PPP pada tahun 2001-2004 terpilih sebagai Wakil Presden, namun dukungan kepada PPP pada pemil-pemilu era reformasi tidak signifikan.
Kita dapat mengecek tren perolehan suara partai ini. Misalnya pada Pemilu 1999, PPP memperoleh dukungan yang cukup besar suara pemilih yakni 11.329.905 (10,71 %) dengan total 58 kursi DPR RI.
Partai ini menempati posisi sebagai partai menengah yang cukup diperhitungkan pasca jatuhnya Orde Baru. Pada pemilu 2004, PPP berhasil mempertahankan perolehan kursi DPR RI yakni 58 kursi, namun perolehan suara nasionalnya mengalami penurunan suara menjadi 9.248.764 (10,55 %) bila dibandingkan dengan Pemilu 1999.
Perolehan suara PPP dikalahkan oleh partai berbasis Islam yang berdiri pasca jatuhnya Orde Baru.
Posisi 'marginal' PPP justru terus berlanjut pasca konflik dan lahirnya partai baru seperti Partai Bintang Reformasi (PBR) yang dimotori oleh Kyai kondang Zainuddin MZ dan beberapa partai lainny.
Pada pemilu 2009, PPP yang mengalami defisit dukungan yang signifikan. Selain PPP terdapat beberapa partai lainnya hilang dari parlemen nasional. Kita pernah mengenal ada PBB, PKPI, dan setelahnya Hanura juga hilang dari DPR RI.
Perolehan suara PPP pada Pemilu 2009 turun menjadi 5.533.214 (5,32 %) dengan jumlah kursi sebanyak 39 kursi. Pemilu ini PPP dikalahkan oleh beberapa partai baru. Sementara pemilu 2014, perolehan suara PPP mengalami kenaikan menjadi 8.157.488 (7,0 %), sementara perolehan kursinya tetap 39 kursi (6,5 persen).
Posisi PPP berada pas di atas Partai Hanura yang pada pemilu 2014 masih lolos parliamentary treshold (PT 4 %).
Pada Pemilu 2019, PPP menempati posisi kunci partai parlemen setelah Hanura gagal masuk karena tidak mampu memperoleh batas minimal PT 4 %. Jumlah suara sah PPP 6.323.147 (4,52 %) dengan mengoleksi kursi 19.
Sementara Hanura yang menempati posisi kunci pada pemilu 2014 gagal masuk parlemen, karena perolehan suara nasionalnya 2.651.361 (1,89) masih di bawah PSI dan Perindo.
Pemilu 2024, PPP benar-benar hilang dari DPR RI akibat tidak mampu menembus batas minimal PT 4 %. Perolehan suara sah PPP pada Pemilu 2024 adalah 5.878.777 atau 3,87%, sedikit di bawah syarat PT atau ambang batas lolos DPR sebesar 4%, sementara Pemilu 2019 sedikit di atas PT 4,52%.
Secara historis, posisi PPP sudah diprediksi akan mengalami penurunan dukungan suara, apabila tidak segera melakukan pembenahan dan perbaikan secara serius pada seluruh infrastruktur parta.
Apabila konsolidasi tidak maksimal, konflik terus berlanjut dan ribut dengan kekuasaan partai tanpa mempertimbangkan masa depan.
Tampak dalam muktamar di Ancol Jakarta 2025 justru melanggengkan konflik, tarik-menarik kepentingan, perebutan kekuasaan partai, demokrasi internal partai yang tidak jalan, regenerasi dan sirkulasi kekuasaan tidak berlangsung dengan baik.
Muktamar tidak lagi menjadi arena untuk melakukan evaluasi mengenai posisi partai yang kehilangan kursinya di DPR RI, juga tidak mempercakapkan masalah internal partai.
Muktamar justru menjadi arena perebutan kekuasaan. Tidak hanya itu, jauh lebih menyedihkan lagi menjadi arena adu jotos seperti arena tinju dan arena perkelahian massal dengan melempar kursi, benar-benar menyedihkan sebagai partai Islam.
Dinamika Muktamar X PPP sejak awal pembukaan sudah mengalami eskalasi yang mencerminkan rivalitas antar kandidat dalam perebutan kursi ketua umum. Kondisi yang memanas sejak dimulainya Muktamar, pidato pembukaan berulang kali ditunda akibat ketegangan antara pendukung ketua umum Mardiono dengan pendukung kadindat penantang Agus Suparmanto.
Ketegangan tidak berhenti, justru makin memanas hingga terjadi adu fisik antar pendukung kandidat, elite partai terjebak dalam konflik internal yang tak terselesaikan.
Tradisi partai memang identik dengan konflik internal yang cukup menguras energi. Alih-alih memikirkan bagaimana konsolidasi yang efektif untuk mengangkat keterpurukan partai, malah yang langgeng adalah konflik yang tak pernah usai.
Produk konflik internal partai telah menghasilkan faksi-faksi yang memperlemah partai. Misalnya pemberhentian Suharso Monoarfa dari jabatan ketua umum lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) pada September 2022 yang kemudian digantikan oleh Plt Muh. Mardiono, membawa dampak besar bagi konsolidasi partai hingga gagal masuk parlemen pada pemilu 2024.
Potensi partai terkuras dalam menangani konflik dan pertikaian internal. Konsekuensi dari friksi yang terus berulang itu melemahkan kekuatan untuk merancang dan merumuskan strategi dan taktik politik untuk merespons perubahan-perubahan politik mendasar dalam masyarakat.
Pada sisi lain, kekuatan politik luar PPP aktif menggalang dukungan, memperkuat barisan dan melakukan gerakan yang massif pada basis-basis pemilih potensial, termasuk pada jantung pemilih PPP. Akibatnya, dukungan kepada PPP menyusut, partai-partai lain makin menguat dan membesar.
Misalnya, masih adakah enegeri dan sumber daya yang dimiliki PPP untuk menggalang pemilih milenial dan genZ yang menjadi pemilih terbanyak dalam pemilu 2024 dan pemilu 2029 mendatang
Bagaimana strateginya ke depan untuk memperkuat simpul-simpul pemilih baru dan memperkokoh pemilih tradisionalnya?
Untuk memahaminya, perlu melihat dalam beberapa waktu mendatang, apakah elite-elite PPP akan menghabiskan energinya untuk mencari dan menemukan jalan keluar dari konflik dan perebutan kekuasaan internal.
Publik sampai pada kesimpulan sementara bahwa muktamar X PPP tidak menghasilkan solusi untuk membenahi kinerja partai dalam menghadapi pemilu 2029. Tetapi justru menghasilkan konflik yang akan menjadi beban dan pekerjaan internal yang sangat menyedot energi partai.
Perbincangan dalam beberapa waktu mendatang adalah kepemimpinan siapa yang sah, Mardiono ataukah Agus Suparmanto? Keduanya pasti mendaftarkan keabsahannya ke Kementerian Hukum untuk memperoleh legalitas.
Konflik berkontribusi dan berpengaruh pada buruknya citra partai dan potensi kehilangan daya tarik elektoral yang berdampak bagi eksistensi partai dan secara perlahan-lahan menjadi partai kecil dan digantikan oleh kekuatan politik baru.
Oleh sebab itu, pilihan yang paling strategis adalah menghentikan konflik ini, temukan jalan keluar bersama yang menguntungkan partai, rancang strategi untuk merebut kembali basis-basis tradisional partai serta rebut dukungan gen. z dan milenial untuk Indonesia masa depan.
Perkubuan, perkelahian dan perkelompokkan tidak memberi dampak positif bagi konsolidasi, maka segeralah berkolaborasi untuk menyatukan seluruh potensi dan kekuatan partai untuk menjawab tantangan zaman.
Wallahu a’lam bi shawab
Dosen Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan partai politik lama yang eksis sejak awal Orde Baru. Pada 27-29 Septeber 2025 menyelenggarakan Muktamar X yang digelar di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara.
Muktamar merupakan momentum partai untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program, kepemimpinan dan pencapaian partai. Mulai dari pusat hingga yang paling bawah, Muktamar menjadi ajang konsolidasi nasional partai.
Namun demikian, Muktamar X PPP bukan untuk konsolidasi, tetapi menjadi arena adu kekuatan, adu jotos, dan bahkan lempar kursi antar pendukung kandidat ketua umum, hingga saling klaim kemenangan antara kubu Agus Suparmanto (Penantang) dan kubu Muhammad Mardiono (Plt Ketua Umum).
Posisi PPP yang gagal masuk parlemen pada Pemilu 2024 semestinya menjadi agenda utama yang diperbincangkan oleh elite-elite partai yang berkumpul dalam forum muktamar itu.
Semua elite dan pemuka partai secara bersama merenungkan mengapa PPP dari pemilu ke pemilu pasca Orde Baru mengalami penurunan dukungan?
Apa yang yang menjadi persoalan sehingga partai besar ini harus tersingkir dari parlemen? Bukankah dua partai lama (Golkar dan PDI-P) yang eksis era Orde Baru terus membesar dan menempati posisi teratas dalam perolehan dukungan suara pemilih sejak pemilu era reformasi diselenggarakan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut harusnya dapat diperbincangkan dalam forum Muktamar. Suatu forum strategis dan tertinggi dalam pengambilan keputusan partai agar pada pemilu 2029, PPP kembali hadir di parlemen.
Tetapi faktanya, Muktamar hanya dipergunakan sekelompok elite partai dalam proses perebutan posisi kekuasaan partai, tanpa secara serius mendiskusikan serta menemukan masalah-masalah mendasar partai.
Posisi partai yang tidak ada di parlemen pusat harusnya menjadi kegelisahan kolektif, sementara konflik itu akan menggerus potensi dan dukungan partai.
Publik menilai bahwa elite-elite PPP hanya peduli pada posisi kekuasaan partai, tidak maksimal memikirkan bagaimana masa depan masyarakat, umat Islam, bangsa dan negara.
Bahkan mereka untuk memikirkan bagaimana memecahkan masalah internal partai sudah tidak peduli lagi, bagaimana mereka peduli pada masalah yang lebih luas.
Sejak awal PPP berdiri yang merupakan fusi dari partai-partai Islam (Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia dan Partai Tarbiyah Islamiyah) pada tahun 1973 telah menjadi partai yang diperhitungkan dengan basis massa yang cukup jelas yakni kalangan muslim.
Dalam catatan pemilu Indonesia sejak awal berdirinya, partai ini cukup baik dukungan pemilih. Misalnya pemilu 1977 yang merupakan pemilu pertama bagi PPP, secara nasional berhasil meraih 18.743.491 suara, setara dengan 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971.
Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Pada pemilu 1982, dukungan terhadap PPP mengalami penurunan, perolehan kursinya menyusut menjadi 94 kursi.
Pada Pemilu 1987, PPP kehilangan kursi yang sangat signifikan dari 94 kursi menjadi 61 kursi. Kehilangan 33 kursi, perolehan kursi pada pemilu 1992 hanya menambah satu kursi menjadi 62 dibandingkan pemilu 1987.
Grafik dukungan kembali diperoleh PPP pada pemilu 1997 dengan bertambahnya perolehan kursi menjadi 89 kursi, meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992.
Dukungan pemilih kepada PPP pada era Reformasi mengalami siklus yang menunjukkan grafik yang tidak meyakinkan bagi eksistensi partai. Meskipun ketua umum PPP pada tahun 2001-2004 terpilih sebagai Wakil Presden, namun dukungan kepada PPP pada pemil-pemilu era reformasi tidak signifikan.
Kita dapat mengecek tren perolehan suara partai ini. Misalnya pada Pemilu 1999, PPP memperoleh dukungan yang cukup besar suara pemilih yakni 11.329.905 (10,71 %) dengan total 58 kursi DPR RI.
Partai ini menempati posisi sebagai partai menengah yang cukup diperhitungkan pasca jatuhnya Orde Baru. Pada pemilu 2004, PPP berhasil mempertahankan perolehan kursi DPR RI yakni 58 kursi, namun perolehan suara nasionalnya mengalami penurunan suara menjadi 9.248.764 (10,55 %) bila dibandingkan dengan Pemilu 1999.
Perolehan suara PPP dikalahkan oleh partai berbasis Islam yang berdiri pasca jatuhnya Orde Baru.
Posisi 'marginal' PPP justru terus berlanjut pasca konflik dan lahirnya partai baru seperti Partai Bintang Reformasi (PBR) yang dimotori oleh Kyai kondang Zainuddin MZ dan beberapa partai lainny.
Pada pemilu 2009, PPP yang mengalami defisit dukungan yang signifikan. Selain PPP terdapat beberapa partai lainnya hilang dari parlemen nasional. Kita pernah mengenal ada PBB, PKPI, dan setelahnya Hanura juga hilang dari DPR RI.
Perolehan suara PPP pada Pemilu 2009 turun menjadi 5.533.214 (5,32 %) dengan jumlah kursi sebanyak 39 kursi. Pemilu ini PPP dikalahkan oleh beberapa partai baru. Sementara pemilu 2014, perolehan suara PPP mengalami kenaikan menjadi 8.157.488 (7,0 %), sementara perolehan kursinya tetap 39 kursi (6,5 persen).
Posisi PPP berada pas di atas Partai Hanura yang pada pemilu 2014 masih lolos parliamentary treshold (PT 4 %).
Pada Pemilu 2019, PPP menempati posisi kunci partai parlemen setelah Hanura gagal masuk karena tidak mampu memperoleh batas minimal PT 4 %. Jumlah suara sah PPP 6.323.147 (4,52 %) dengan mengoleksi kursi 19.
Sementara Hanura yang menempati posisi kunci pada pemilu 2014 gagal masuk parlemen, karena perolehan suara nasionalnya 2.651.361 (1,89) masih di bawah PSI dan Perindo.
Pemilu 2024, PPP benar-benar hilang dari DPR RI akibat tidak mampu menembus batas minimal PT 4 %. Perolehan suara sah PPP pada Pemilu 2024 adalah 5.878.777 atau 3,87%, sedikit di bawah syarat PT atau ambang batas lolos DPR sebesar 4%, sementara Pemilu 2019 sedikit di atas PT 4,52%.
Secara historis, posisi PPP sudah diprediksi akan mengalami penurunan dukungan suara, apabila tidak segera melakukan pembenahan dan perbaikan secara serius pada seluruh infrastruktur parta.
Apabila konsolidasi tidak maksimal, konflik terus berlanjut dan ribut dengan kekuasaan partai tanpa mempertimbangkan masa depan.
Tampak dalam muktamar di Ancol Jakarta 2025 justru melanggengkan konflik, tarik-menarik kepentingan, perebutan kekuasaan partai, demokrasi internal partai yang tidak jalan, regenerasi dan sirkulasi kekuasaan tidak berlangsung dengan baik.
Muktamar tidak lagi menjadi arena untuk melakukan evaluasi mengenai posisi partai yang kehilangan kursinya di DPR RI, juga tidak mempercakapkan masalah internal partai.
Muktamar justru menjadi arena perebutan kekuasaan. Tidak hanya itu, jauh lebih menyedihkan lagi menjadi arena adu jotos seperti arena tinju dan arena perkelahian massal dengan melempar kursi, benar-benar menyedihkan sebagai partai Islam.
Dinamika Muktamar X PPP sejak awal pembukaan sudah mengalami eskalasi yang mencerminkan rivalitas antar kandidat dalam perebutan kursi ketua umum. Kondisi yang memanas sejak dimulainya Muktamar, pidato pembukaan berulang kali ditunda akibat ketegangan antara pendukung ketua umum Mardiono dengan pendukung kadindat penantang Agus Suparmanto.
Ketegangan tidak berhenti, justru makin memanas hingga terjadi adu fisik antar pendukung kandidat, elite partai terjebak dalam konflik internal yang tak terselesaikan.
Tradisi partai memang identik dengan konflik internal yang cukup menguras energi. Alih-alih memikirkan bagaimana konsolidasi yang efektif untuk mengangkat keterpurukan partai, malah yang langgeng adalah konflik yang tak pernah usai.
Produk konflik internal partai telah menghasilkan faksi-faksi yang memperlemah partai. Misalnya pemberhentian Suharso Monoarfa dari jabatan ketua umum lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) pada September 2022 yang kemudian digantikan oleh Plt Muh. Mardiono, membawa dampak besar bagi konsolidasi partai hingga gagal masuk parlemen pada pemilu 2024.
Potensi partai terkuras dalam menangani konflik dan pertikaian internal. Konsekuensi dari friksi yang terus berulang itu melemahkan kekuatan untuk merancang dan merumuskan strategi dan taktik politik untuk merespons perubahan-perubahan politik mendasar dalam masyarakat.
Pada sisi lain, kekuatan politik luar PPP aktif menggalang dukungan, memperkuat barisan dan melakukan gerakan yang massif pada basis-basis pemilih potensial, termasuk pada jantung pemilih PPP. Akibatnya, dukungan kepada PPP menyusut, partai-partai lain makin menguat dan membesar.
Misalnya, masih adakah enegeri dan sumber daya yang dimiliki PPP untuk menggalang pemilih milenial dan genZ yang menjadi pemilih terbanyak dalam pemilu 2024 dan pemilu 2029 mendatang
Bagaimana strateginya ke depan untuk memperkuat simpul-simpul pemilih baru dan memperkokoh pemilih tradisionalnya?
Untuk memahaminya, perlu melihat dalam beberapa waktu mendatang, apakah elite-elite PPP akan menghabiskan energinya untuk mencari dan menemukan jalan keluar dari konflik dan perebutan kekuasaan internal.
Publik sampai pada kesimpulan sementara bahwa muktamar X PPP tidak menghasilkan solusi untuk membenahi kinerja partai dalam menghadapi pemilu 2029. Tetapi justru menghasilkan konflik yang akan menjadi beban dan pekerjaan internal yang sangat menyedot energi partai.
Perbincangan dalam beberapa waktu mendatang adalah kepemimpinan siapa yang sah, Mardiono ataukah Agus Suparmanto? Keduanya pasti mendaftarkan keabsahannya ke Kementerian Hukum untuk memperoleh legalitas.
Konflik berkontribusi dan berpengaruh pada buruknya citra partai dan potensi kehilangan daya tarik elektoral yang berdampak bagi eksistensi partai dan secara perlahan-lahan menjadi partai kecil dan digantikan oleh kekuatan politik baru.
Oleh sebab itu, pilihan yang paling strategis adalah menghentikan konflik ini, temukan jalan keluar bersama yang menguntungkan partai, rancang strategi untuk merebut kembali basis-basis tradisional partai serta rebut dukungan gen. z dan milenial untuk Indonesia masa depan.
Perkubuan, perkelahian dan perkelompokkan tidak memberi dampak positif bagi konsolidasi, maka segeralah berkolaborasi untuk menyatukan seluruh potensi dan kekuatan partai untuk menjawab tantangan zaman.
Wallahu a’lam bi shawab
(UMI)
Berita Terkait
News
Guru yang Dikorbankan, Legislator Perempuan dari Gowa yang Menyelamatkan
Dialah Andi Tenri Indah, Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan asal Kabupaten Gowa, sekaligus Ketua Komisi yang membidangi pendidikan. Ia turun tangan bukan karena sensasi, melainkan karena hati nurani.
Kamis, 13 Nov 2025 10:23
News
Dari Tembok Besar ke Indonesia Emas: Estafet Peradaban yang Tak Terputus
Lebih dari dua ribu tahun lalu, seorang kaisar muda bernama Qin Shi Huang menorehkan sejarah dengan menyatukan berbagai kerajaan yang berserak di Tiongkok kuno menjadi satu peradaban besar.
Senin, 10 Nov 2025 17:24
News
Makassar dan Makna Menjadi Pahlawan Hari Ini
SETIAP tanggal 10 November, bangsa ini berhenti sejenak: mengenang mereka yang pernah berani berkata bahwa kemerdekaan lebih berharga daripada hidup itu sendiri. Hari Pahlawan bukan hanya ruang untuk menundukkan kepala
Senin, 10 Nov 2025 15:02
News
Ketika Digitalisasi Menumbuhkan Empati Kolektif
Kasus penculikan Bilqis menjadi contohnya. Dalam hitungan jam, rekaman CCTV menyebar ke ribuan warga. Netizen tidak menunggu perintah; mereka ikut menyelidik, berbagi informasi, mengawasi, dan mendoakan.
Minggu, 09 Nov 2025 19:21
News
Luwu Timur Memanggil Jakarta, Saatnya Negara Hadir dengan Bandara Komersial yang Layak
DARI jantung peradaban Luwu Raya yang legendaris, di antara pegunungan hijau dan air jernih Danau Matano yang menakjubkan, muncul satu suara kuat dari masyarakat: “Kami tidak minta istana, kami hanya ingin pintu langit yang membuka masa depan!”
Minggu, 02 Nov 2025 19:07
Berita Terbaru
Artikel Terpopuler
Topik Terpopuler
1
Sosok Andi Tenri Indah, Srikandi Gerindra yang Perjuangkan Guru Luwu Utara Bertemu Presiden Prabowo
2
Guru yang Dikorbankan, Legislator Perempuan dari Gowa yang Menyelamatkan
3
Difasilitasi Fraksi Gerindra, Dua Guru Dizalimi Asal Luwu Utara Terima Rehabilitasi dari Presiden Prabowo
4
Hadir di PNUP, Prof Stella Ajak Penerima KIP-K dan ADik Kembangkan Riset Mindset
5
PDAM Prioritaskan Proyek Sambungan Pipa di Wilayah Timur Kota Makassar
Artikel Terpopuler
Topik Terpopuler
1
Sosok Andi Tenri Indah, Srikandi Gerindra yang Perjuangkan Guru Luwu Utara Bertemu Presiden Prabowo
2
Guru yang Dikorbankan, Legislator Perempuan dari Gowa yang Menyelamatkan
3
Difasilitasi Fraksi Gerindra, Dua Guru Dizalimi Asal Luwu Utara Terima Rehabilitasi dari Presiden Prabowo
4
Hadir di PNUP, Prof Stella Ajak Penerima KIP-K dan ADik Kembangkan Riset Mindset
5
PDAM Prioritaskan Proyek Sambungan Pipa di Wilayah Timur Kota Makassar