Bantah Klaim Hadji Kalla, Presdir GMTD Beberkan Fakta Kepemilikan Lahan 16 Ha di Tanjung Bunga

Senin, 17 Nov 2025 19:26
Bantah Klaim Hadji Kalla, Presdir GMTD Beberkan Fakta Kepemilikan Lahan 16 Ha di Tanjung Bunga
GMTD menegaskan klaim PT Hadji Kalla atas lahan seluas 16 hektare di kawasan Tanjung Bunga tidak memiliki dasar hukum dan bertentangan dengan dokumen negara. Foto/Istimewa
Comment
Share
MAKASSAR - PT Gowa Makassar Tourism Development Tbk (PT GMTD), sebelumnya bernama PT Gowa Makassar Tourism Development Corporation, menegaskan bahwa klaim PT Hadji Kalla atas lahan seluas 16 hektare di kawasan Tanjung Bunga tidak memiliki dasar hukum. Klaim itu juga bertentangan dengan dokumen resmi negara, dan tidak sesuai dengan fakta historis maupun administrasi pertanahan nasional sejak 1991.

Presiden Direktur PT GMTD Tbk, Ali Said, menjelaskan status hukum kawasan Tanjung Bunga sepenuhnya ditetapkan melalui dokumen pemerintah, bukan melalui klaim sepihak. Sejak 1991, pemerintah menetapkan kawasan ini sebagai kawasan wisata terpadu yang seluruh proses pembebasan, pembelian, dan pengelolaannya berada dalam mandat tunggal PT GMTD.

Ali menyebut penetapan tersebut tercantum dalam SK Menteri PARPOSTEL, SK Gubernur Sulsel tanggal 5 November 1991, serta dua SK penegasan gubernur pada Januari 1995.

"Keempat dokumen ini secara tegas menyebutkan bahwa hanya PT GMTD yang berwenang mengelola tanah di kawasan tersebut dan tidak ada pihak lain yang boleh memproses atau memiliki tanah pada periode itu," kata dia.

Pemberian mandat tersebut merupakan bagian dari kebijakan pembangunan nasional untuk membuka kawasan wisata Makassar–Gowa, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan pusat pertumbuhan baru ketika pemerintah belum memiliki anggaran untuk membangun sendiri.

"Infrastruktur awal kawasan—mulai dari akses, jalan, hingga pematangan lahan—dibangun menggunakan investasi PT GMTD sebagai pelaksana penugasan pemerintah," tuturnya.

PT Hadji Kalla menyebut bahwa mereka telah menguasai fisik lahan sejak 1993, namun PT GMTD menilai klaim tersebut tidak memiliki relevansi hukum karena pada masa itu kawasan masih berupa rawa dan berstatus tanah negara, tidak ada pasar tanah, serta tidak ada izin selain izin yang diberikan kepada PT GMTD.

Dalam hukum agraria, ia menegaskan penguasaan fisik tanpa izin pemerintah tidak pernah melahirkan hak kepemilikan.

Terkait sertifikat HGB yang dikutip PT Hadji Kalla, PT GMTD menegaskan bahwa legalitas sertifikat harus diuji berdasarkan objek tanahnya. Sertifikat dapat dinyatakan tidak sah bila diterbitkan di atas tanah yang sudah dicadangkan secara resmi kepada pihak lain, terutama apabila diterbitkan tanpa izin lokasi, tanpa IPPT, tanpa pelepasan hak negara, tanpa persetujuan gubernur, dan tanpa persetujuan PT GMTD sebagai pemegang mandat tunggal.

Ali Said mengatakan PT GMTD mempersilakan PT Hadji Kalla menunjukkan dasar penerbitan sertifikat tersebut pada periode 1991–1995, namun meyakini dokumen itu tidak pernah ada karena memang tidak pernah diterbitkan.

PT GMTD juga membantah klaim bahwa PT Hadji Kalla telah melakukan pembebasan lahan 80 hektare pada 1980-an. Menurut dia, aktivitas yang dikaitkan adalah pekerjaan normalisasi Sungai Jeneberang yang merupakan kontrak pekerjaan, bukan pemberian hak atas tanah.

Ia menyebut tidak ada satu pun arsip pemerintah—baik di BPN, Pemprov Sulsel, maupun Pemkot Makassar—yang mencatat adanya pencadangan tanah atau pemberian hak kepada PT Hadji Kalla pada periode tersebut.

Hingga kini tidak ada putusan pengadilan, surat BPN, ataupun catatan administrasi yang membatalkan SK-SK pemerintah yang memberikan mandat kepada PT GMTD. Karena itu, publik berhak mengetahui bahwa setiap klaim hak atas tanah harus dibuktikan dengan dokumen resmi.

PT GMTD menantang PT Hadji Kalla menunjukkan dokumen hukum yang diperlukan, mulai dari izin lokasi, IPPT, SK Gubernur, akta pelepasan hak, hingga surat persetujuan PT GMTD. Tidak satu pun dokumen tersebut pernah muncul.

PT GMTD juga diakui Ali Said sudah melaporkan adanya penyerobotan lahan seluas sekitar 5.000 meter persegi yang berada di dalam pagar resmi perusahaan. Tindakan tersebut telah didokumentasikan secara visual dan dilaporkan kepada pihak berwenang dengan beberapa nomor laporan resmi pada akhir September hingga Oktober 2025.

Lebih lanjut, Ali Said bilang PT GMTD menyatakan tetap membuka ruang dialog dan komunikasi konstruktif selama berada dalam koridor hukum. Namun perusahaan menegaskan tidak akan berkompromi terkait kepatuhan terhadap SK pemerintah, sertifikat BPN, dan putusan pengadilan. Integritas hukum kawasan Tanjung Bunga dipandang sebagai mandat publik yang wajib dijaga.

PT GMTD merupakan perusahaan terbuka yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, dipelopori oleh Pemerintah Pusat dan dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah Kabupaten Gowa, Pemerintah Kota Makassar, serta Yayasan Partisipasi Pembangunan Sulawesi Selatan dengan total kepemilikan 32,5 persen, sementara masyarakat luas termasuk PT Makassar Permata Sulawesi memiliki 32,5 persen lainnya.
(TRI)
Berita Terkait
Berita Terbaru