Idrus Marham Desak PBNU Jernihkan Konflik: NU Bukan Arena Perebutan Kekuasaan
Selasa, 25 Nov 2025 15:23
Anggota MPO PB IKA PMII, Idrus Marham, menyerukan agar konflik internal dalam tubuh PBNU segera fokus untuk dijernihkan. Foto: Istimewa
JAKARTA - Anggota MPO PB IKA PMII, Idrus Marham, menyerukan agar konflik internal dalam tubuh PBNU segera fokus untuk dijernihkan, bukan dijadikan ajang konsolidasi kelompok. Menurutnya, gejolak yang terjadi saat ini bukan sekadar persoalan figur, melainkan sinyal bahwa NU semakin menjauh dari nilai kepemilikan Bersama yang menjadi jiwa utama jam’iyah.
Perpecahan mencuat setelah beredarnya Risalah Rapat Harian Syuriah PBNU yang menuntut pengunduran diri Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya. Risalah itu, yang ditandatangani Rais ‘Aam PBNU K.H. Miftachul Akhyar, menyatakan bahwa Gus Yahya harus mundur dalam waktu tiga hari dan apabila tidak, Syuriah PBNU akan memberhentikannya secara paksa.
Di tengah kegaduhan itu, Idrus Marham tampil sebagai pengkritik vokal. Ia menegaskan bahwa NU tidak boleh dijadikan zona perebutan kekuasaan di antara segelintir elit.
Menurut dia, PBNU harus kembali menjalankan nilai-nilai musyawarah, transparansi dan pengabdian kepada warga NU bukan menjadi tempat untuk manuver politik internal.
“NU ini milik rakyat, milik warga NU, bukan milik satu kelompok kecil,” kata Idrus dalam pernyataannya.
Ia mengingatkan bahwa sejarah NU dibangun dari pesantren, akar rumput dan kolektivitas umat, bukan dari politik elite yang mengkapling organisasi untuk kepentingan sesaat.
Sejarah mencatat bahwa NU didirikan oleh sejumlah nama yang sampai akhir hayatnya dihormati sebagai nama besar yang sepenuhnya berdedikasi untuk umat dan bangsa. Di antara nama-nama harum itu, ada KH Hasyim Asyari Tebuireng, KH Bisri Denanyar Jombang, KH Ridwan Semarang, KH Nawawi Pasuruan, KH Asnawi Kudus, KH Hambali Kudus, KH Nachrawi Malang, KH Doro Muntaha.
Pun jika kita menengok struktur dan susunan kepengurusan PBNU generasi pertama (1926), tampak jelas nama-nama besar bangsa duduk di sana membangun spirit keumatan dan kebangsaan.
Pada masa kepengurusan pertama, Rais Akbar dijabat oleh KH Hasyim Asy’ari (Jombang), sedangkan Wakil Rais Akbar diamanahkan kepada KH Dahlan Ahyad dari Kebondalem, Surabaya.
Posisi Katib Awal dipegang oleh KH Abdul Wahab Chasbullah (Jombang) dan Katib Tsani oleh K.H. Abdul Chalim (Cirebon).
“Semua ini diceritakan sekadar untuk mengentalkan ingatan historic kita bersama,” kata idrus marham yang umum mafhumi sebagai warga NU yang ikut berperan penting dalam mendisain finalisasi yang mengantarkan naiknya Gus menjadi presiden Bersama-sama dengan Alwi Shihab, Slamet effendy Yusuf, Muhaimin Iskandar, Yenny Wahid dan Fuad Bawazir.
Nama-nama besar yang menjadi pendiri dan duduk dalam kepengurusan PBNU, generasi pertama ini, sangat berjasa sebagai arsitek organisasi yang meletakkan NU menjadi rumah besar bagi kesejukan umat dan bangsa.
Dari tangan merekalah NU diwariskan sebagai jam’iyyah yang teduh, teratur, kaya dengan keluasan pandangan dan berorientasi hanya pada satu hal yakni kemaslahatan umat dan bangsa.
Warisan ini bukan sekadar catatan sejarah, tetapi standar etis yang seharusnya menjadi cermin bagi setiap dinamika yang muncul hari ini. Dan mendegradasi nilai-nilai keumatan dan kebangsaan yang menjadi ruh perjuangan as-sābiqūnal awwalūn dapat dikategorikan sebagai dosa besar.
Perbedaan pandangan dan pemikiran tentu kita pahami sebagai sebuah dinamika. Dan itu biasa saja. Namun andaikata yang terjadi adalah perbedaan kepentingan, maka ini lain lagi ceritanya. NU bukanlah tempat yang boleh dikelola demi tarik-menarik kepentingan.
Sekali lagi, sejak berdiri hingga hari ini, kepentingan NU hanya berpijak pada dua fondasi utama: umat dan bangsa. Di luar itu, semuanya hanyalah “percikan” yang tidak boleh menggeser orientasi perjuangan NU.
Sebab begitu kepentingan lain masuk dan menguasai ruang gerak organisasi, maka yang terancam bukan hanya marwah jam’iyyah, tetapi juga kepercayaan umat yang selama ini menempatkan NU sebagai rumah besar. Menyedihkan jika NU digeser oleh kadernya sendiri, dijadikan hanya sekedar ruang berlindung dan perebutan pengaruh. Khittah NU bukan di situ!
NU harus kembali pada khittahnya: menjaga tradisi, meneguhkan akhlak dan menjadi penuntun moral bagi kehidupan keumatan dan kebangsaan. Jika fondasi itu retak oleh kepentingan pribadi atau kelompok, maka kita sedang menyalahi amanah para muassis yang membangun organisasi ini dengan ketulusan dan keikhlasan.
Berpijak pada alur pikiran di atas, maka Idrus menyarankan agar persoalan internal PBNU diselesaikan secara kekeluargaan dan bilamana perlu dengan dialog para kiyai sepuh dan tokoh moral agar muncul solusi yang adil dan berkelanjutan.
Beberapa poin dalam risalah yang memicu kontroversi antara lain tuduhan pengelolaan keuangan PBNU yang tidak transparan, serta kehadiran narasumber acara Akademi Kepemimpinan Nasional (AKN) NU yang dinilai kontroversial karena terkait dengan jaringan internasional.
Dari sudut lain, sejumlah pengamat menyoroti absennya banyak Ketua PWNU dalam pertemuan, yang bisa jadi mencerminkan solidaritas yang tidak seragam terhadap kepemimpinan Gus Yahya.
Menurut Idrus Marham, krisis PBNU saat ini menjadi momen penting bagi NU untuk introspeksi dan memperkuat jati dirinya sebagai organisasi sosial-keagamaan yang berdiri di atas nilai moral, bukan sebagai ajang politik elit. Ia menegaskan bahwa konflik internal harus segera dikelola agar tidak merusak kepercayaan warga NU dan publik pada institusi PBNU.
“Tidak cukup hanya klarifikasi internal, tetapi perlu ada langkah nyata menuju rekonsiliasi dan transparansi agar NU tetap berfungsi sebagai rumah besar umat, bukan panggung manuver kekuasaan,” tegas Idrus.
Perpecahan mencuat setelah beredarnya Risalah Rapat Harian Syuriah PBNU yang menuntut pengunduran diri Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya. Risalah itu, yang ditandatangani Rais ‘Aam PBNU K.H. Miftachul Akhyar, menyatakan bahwa Gus Yahya harus mundur dalam waktu tiga hari dan apabila tidak, Syuriah PBNU akan memberhentikannya secara paksa.
Di tengah kegaduhan itu, Idrus Marham tampil sebagai pengkritik vokal. Ia menegaskan bahwa NU tidak boleh dijadikan zona perebutan kekuasaan di antara segelintir elit.
Menurut dia, PBNU harus kembali menjalankan nilai-nilai musyawarah, transparansi dan pengabdian kepada warga NU bukan menjadi tempat untuk manuver politik internal.
“NU ini milik rakyat, milik warga NU, bukan milik satu kelompok kecil,” kata Idrus dalam pernyataannya.
Ia mengingatkan bahwa sejarah NU dibangun dari pesantren, akar rumput dan kolektivitas umat, bukan dari politik elite yang mengkapling organisasi untuk kepentingan sesaat.
Sejarah mencatat bahwa NU didirikan oleh sejumlah nama yang sampai akhir hayatnya dihormati sebagai nama besar yang sepenuhnya berdedikasi untuk umat dan bangsa. Di antara nama-nama harum itu, ada KH Hasyim Asyari Tebuireng, KH Bisri Denanyar Jombang, KH Ridwan Semarang, KH Nawawi Pasuruan, KH Asnawi Kudus, KH Hambali Kudus, KH Nachrawi Malang, KH Doro Muntaha.
Pun jika kita menengok struktur dan susunan kepengurusan PBNU generasi pertama (1926), tampak jelas nama-nama besar bangsa duduk di sana membangun spirit keumatan dan kebangsaan.
Pada masa kepengurusan pertama, Rais Akbar dijabat oleh KH Hasyim Asy’ari (Jombang), sedangkan Wakil Rais Akbar diamanahkan kepada KH Dahlan Ahyad dari Kebondalem, Surabaya.
Posisi Katib Awal dipegang oleh KH Abdul Wahab Chasbullah (Jombang) dan Katib Tsani oleh K.H. Abdul Chalim (Cirebon).
“Semua ini diceritakan sekadar untuk mengentalkan ingatan historic kita bersama,” kata idrus marham yang umum mafhumi sebagai warga NU yang ikut berperan penting dalam mendisain finalisasi yang mengantarkan naiknya Gus menjadi presiden Bersama-sama dengan Alwi Shihab, Slamet effendy Yusuf, Muhaimin Iskandar, Yenny Wahid dan Fuad Bawazir.
Nama-nama besar yang menjadi pendiri dan duduk dalam kepengurusan PBNU, generasi pertama ini, sangat berjasa sebagai arsitek organisasi yang meletakkan NU menjadi rumah besar bagi kesejukan umat dan bangsa.
Dari tangan merekalah NU diwariskan sebagai jam’iyyah yang teduh, teratur, kaya dengan keluasan pandangan dan berorientasi hanya pada satu hal yakni kemaslahatan umat dan bangsa.
Warisan ini bukan sekadar catatan sejarah, tetapi standar etis yang seharusnya menjadi cermin bagi setiap dinamika yang muncul hari ini. Dan mendegradasi nilai-nilai keumatan dan kebangsaan yang menjadi ruh perjuangan as-sābiqūnal awwalūn dapat dikategorikan sebagai dosa besar.
Perbedaan pandangan dan pemikiran tentu kita pahami sebagai sebuah dinamika. Dan itu biasa saja. Namun andaikata yang terjadi adalah perbedaan kepentingan, maka ini lain lagi ceritanya. NU bukanlah tempat yang boleh dikelola demi tarik-menarik kepentingan.
Sekali lagi, sejak berdiri hingga hari ini, kepentingan NU hanya berpijak pada dua fondasi utama: umat dan bangsa. Di luar itu, semuanya hanyalah “percikan” yang tidak boleh menggeser orientasi perjuangan NU.
Sebab begitu kepentingan lain masuk dan menguasai ruang gerak organisasi, maka yang terancam bukan hanya marwah jam’iyyah, tetapi juga kepercayaan umat yang selama ini menempatkan NU sebagai rumah besar. Menyedihkan jika NU digeser oleh kadernya sendiri, dijadikan hanya sekedar ruang berlindung dan perebutan pengaruh. Khittah NU bukan di situ!
NU harus kembali pada khittahnya: menjaga tradisi, meneguhkan akhlak dan menjadi penuntun moral bagi kehidupan keumatan dan kebangsaan. Jika fondasi itu retak oleh kepentingan pribadi atau kelompok, maka kita sedang menyalahi amanah para muassis yang membangun organisasi ini dengan ketulusan dan keikhlasan.
Berpijak pada alur pikiran di atas, maka Idrus menyarankan agar persoalan internal PBNU diselesaikan secara kekeluargaan dan bilamana perlu dengan dialog para kiyai sepuh dan tokoh moral agar muncul solusi yang adil dan berkelanjutan.
Beberapa poin dalam risalah yang memicu kontroversi antara lain tuduhan pengelolaan keuangan PBNU yang tidak transparan, serta kehadiran narasumber acara Akademi Kepemimpinan Nasional (AKN) NU yang dinilai kontroversial karena terkait dengan jaringan internasional.
Dari sudut lain, sejumlah pengamat menyoroti absennya banyak Ketua PWNU dalam pertemuan, yang bisa jadi mencerminkan solidaritas yang tidak seragam terhadap kepemimpinan Gus Yahya.
Menurut Idrus Marham, krisis PBNU saat ini menjadi momen penting bagi NU untuk introspeksi dan memperkuat jati dirinya sebagai organisasi sosial-keagamaan yang berdiri di atas nilai moral, bukan sebagai ajang politik elit. Ia menegaskan bahwa konflik internal harus segera dikelola agar tidak merusak kepercayaan warga NU dan publik pada institusi PBNU.
“Tidak cukup hanya klarifikasi internal, tetapi perlu ada langkah nyata menuju rekonsiliasi dan transparansi agar NU tetap berfungsi sebagai rumah besar umat, bukan panggung manuver kekuasaan,” tegas Idrus.
(UMI)
Berita Terkait
Sulsel
IKA UIN Alauddin Dukung Presiden Prabowo Jadi Penggerak Perdamaian Dunia Islam
Ikatan Alumni (IKA) UIN Alauddin Makassar menyatakan dukungan penuh terhadap peran Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto sebagai pemimpin dunia Islam dalam memperjuangkan perdamaian global, khususnya terkait penyelesaian konflik Palestina–Israel.
Sabtu, 15 Nov 2025 18:08
Sulsel
NH dan Idrus Marham Bahas Dinamika Musda Golkar di Warung Makan Coto Gowa
Dua politisi senior Partai Golkar, Nurdin Halid dan Idrus Marham bertemu di Coto Sunggu II, Sungguminasa, Gowa pada Jumat (14/11/2025) pagi.
Jum'at, 14 Nov 2025 11:22
Sulsel
Dapat Dukungan Mayoritas MWC, Muh Yusuf Lanjutkan Kepemimpinan NU Sidrap
Peserta Konfercab ke-V NU Kabupaten Sidenreng Rappang secara aklamasi kembali menetapkan Muh Yusuf sebagai Ketua PCNU Sidrap untuk masa khidmat 2025-2030, berlangsung di Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa, Sidrap pada Sabtu (01/11/2025).
Minggu, 02 Nov 2025 16:41
News
Mengenang Ulama Besar, Menag Ziarah ke Makam Muassis NU Sulsel Puang Ramma
Ziarah ini dilakukan setelah Menag secara resmi meluncurkan program Maros Kota Wakaf di ruang pola Kantor Bupati Maros pada Sabtu pagi, 4 Oktober 2025.
Sabtu, 04 Okt 2025 17:44
News
Waketum Golkar Sebut Musda Sulsel Bukan Ajang Kuasai Partai, Tapi Momentum Kebangkitan
Wakil Ketua Umum DPP Golkar, Idrus Marham, menegaskan bahwa Musyawarah Daerah (Musda) DPD I Sulsel tahun 2025 akan menjadi momentum penting untuk mengembalikan kejayaan Beringin sebagai lumbung suara di kawasan timur Indonesia.
Sabtu, 07 Jun 2025 18:55
Berita Terbaru
Artikel Terpopuler
Topik Terpopuler
1
Intervensi Nutrisi Tepat Turunkan Risiko Penyakit Infeksi & Hemat Biaya
2
Glow & Lovely Dukung 100 Perempuan Muda Raih Mimpi Lewat Beasiswa
3
Empat Dekade Mengabdi, Kisah Rahmi Saleh Menyambut Hari Guru
4
Perumda Pasar Makassar Dapat Dukungan Armada dan Seragam Baru dari Bank Sulselbar
5
SPJM Beri Penghargaan Kinerja untuk Dorong Profesionalisme Insan Maritim
Artikel Terpopuler
Topik Terpopuler
1
Intervensi Nutrisi Tepat Turunkan Risiko Penyakit Infeksi & Hemat Biaya
2
Glow & Lovely Dukung 100 Perempuan Muda Raih Mimpi Lewat Beasiswa
3
Empat Dekade Mengabdi, Kisah Rahmi Saleh Menyambut Hari Guru
4
Perumda Pasar Makassar Dapat Dukungan Armada dan Seragam Baru dari Bank Sulselbar
5
SPJM Beri Penghargaan Kinerja untuk Dorong Profesionalisme Insan Maritim