Dialog FKUB Sulsel Bahas Soal Puasa yang Bangkitkan Nilai Kemanusiaan

Luqman Zainuddin
Kamis, 04 Apr 2024 22:11
Dialog FKUB Sulsel Bahas Soal Puasa yang Bangkitkan Nilai Kemanusiaan
Para narasumber yang tampil pada dialog Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sulsel, kemarin. Dialog itu mengusung tema "Puasa dan nilai kemanusiaan dalam perspektif agama-agama". Foto: Istimewa
Comment
Share
MAKASSAR - Puasa bukan eksklusif milik satu agama saja. Lebih dari itu, berpuasa merupakan aktivitas rohani bagi hampir semua umat beragama.

Hal itu diulas mendalam pada dialog Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sulsel, kemarin. Dialog itu mengusung tema "Puasa dan nilai kemanusiaan dalam perspektif agama-agama".

Hadir sebagai pembicara pemuka-pemuka agama di Sulsel. Mulai dari Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, serta Konghucu. Hadir pula Kepala Kanwil Kementerian Agama Sulsel H Muh Tonang, sampai jajaran Badan Kesbangpol Sulsel.

Ketua FKUB Sulsel Prof Wahyuddin Naro menyampaikan, masih banyak kalangan yang menganggap puasa adalah aktivitas keagamaan milik umat Islam saja. Padahal, hampir semua agama juga menjalankan puasa.

"Belum banyak dipahami oleh masyarakat kita bahwa semua kepercayaan menjalankan puasa. Bahkan puasa sudah ada sebelum Islam datang," kata Wahyuddin Naro.

Wahyuddin Naro kemudian mencontohkan puasa pada beberapa agama. Katolik misalnya, ada puasa pra paskah yang berlangsung sampai 40 hari. Selama puasa, pemeluk Katolik harus menjauhi hal-hal tertentu sesuai ajarannya.

Pada agama Buddha pun demikian. Mereka tak dibolehkan makan dan menjauhi hal-hal tertentu yang biasa dilaksanakan. Hal serupa dapat ditemukan pada agama-agama lain.

Puasa pada tiap-tiap agama kata Wahyuddin Naro memiliki satu kesamaan, yakni menahan diri dan mengendalikan nafsu. Tujuannya sama, mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan membangkitkan empati serta nilai kemanusiaan.

"Puasa memiliki nilai kemanusiaan sangat tinggi, menuntut kepekaan kita, merasakan yang dialami saudara kita yang terbatas dalam makan dan minum," kata dia.

Wahyuddin bilang, menemukan dan menggali persamaan dalam tiap keyakinan merupakan salah satu faktor penting harmonisnya kerukunan antar umat bergama. Sebaliknya, akar dari perpecahan adalah perbedaan yang terus dintonjolkan.

Ketua MUI Sulsel Prof Najmuddin H Abd Safa menyampaikan, dalam Islam, puasa merupakan salah satu pengukur keislaman. Ia merupakan salah satu rukun. Makanya jika ada umat Islam tidak puasa tanpa alasan tertentu, maka tidak sempurna keislamannya.

"Umat muslim sadar bahwa puasa dijalankan oleh agama lain. Bahkan juga disebutkan dalam Al-Qur'an. Berbunyi '...diwajibkan kepada kamu berpuasa seperti juga yang telah diwajibkan kepada umat sebelum kamu...'," kata Prof Najmuddin.

Puasa dalam Islam sangat erat dengan kemanusiaan. Puasa melatih umat muslim merasakan sekitar kita. Termasuk bagaimana memberikan hak-hak orang lain melalui zakat.

"Zakat fitrah, menyantuni orang-orang yang tidak punya. Kalau tidak menjalankan zakat, maka amalannya hanya di angan-angan, tidak sampai ke Allah SWT," pungkas Prof Najmuddin.

Sementara itu, Ketua Matakin Sulsel Dr WS Ferdy Sutono menyampaikan, dalam agama Konghucu, berpuasa dijelaskan dalam kitab. Tuntunannya juga sudah diatur dalam kitab tersebut.

Dalam kepercayaan Konghucu, berpuasa merupakan bagian dari menyucikan diri sebelum sembahyang. Makanya, tidak ada waktu seperti bulan atau tanggal tertentu untuk melaksanakan puasa.

"Puasa sebagai sarana mensucikan diri sebelum persembahyangan kepada Tuhan. Kita tidak bisa melaksanakan sembahyang sesuka hati, karena harus berpuasa untuk mensucikan diri," kata dia.

Puasa dalam kepercayaan Konghucu selain mensucikan diri, juga merupakan bagian dari pengendalilan diri, memperbaiki perilaku menuju luhur budi, tanda pertobatan, dan kepekaan sekitar.

Wakil Ketua Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Sulsel Roy menjelaskan, Buddha memiliki aktivitas puasa yang disebut Atthasila. Selama menjalankan puasa, setidaknya ada delapan hal yang tak boleh dilakukan.

Seperti dilarang menyakiti dan membunuh makhluk hidup; mencuri; berhubungan seksual; mengeluarkan ucapan kasar, fitnah, bohong dan menyakiti makhluk lain; mengkonsumsi segala minuman keras serta bahan-bahan lainnya yang menyebabkan lemahnya kesadaran; makan pada waktu yang tidak tepat; menari, menyanyi, bermain musik, melihat permainan atau pertunjukkan, dan memakai alat kosmetik untuk tujuan mempercantik diri; dan, menggunakan tempat tidur dan tempat duduk yang besar dan mewah.

"Pengendalian diri melalui Atthasila moralitas, tapi juga dari aspek mengimplementasikan cinta kasih, bukan hanya manusia, tapi kepada semua makhluk hidup," beber Roy.

Sementara itu, Perwakilan Persekutuan Gereja Indonesia Wilayah (PGIW) Sulselbara menyampaikan bahwa seluruh agama di Indonesia menjalankan ibadah sesuai tata cara masing-masing. Salah satunya puasa.

"Dalam Kekristenan, puasa bagian dari kegiatan rohani yang penting bagi pertumbuhan spiritualitas. Bentuk penyesalan dosa-dosa kita. Praktik agama yang sejak awal hadir. Tertulis dalam hukum Taurat. Bagaimana menahan diri dan meningkatkan spiritualitas. Dalam Kristen unsur penting adalah doa. Berpuasa untuk memperkuat komitmen dan derajat doanya," katanya.
(GUS)
Berita Terkait
Berita Terbaru