Memanas! Sengketa Lahan di Desa Mata Allo-Sokkolia Gowa, Warga Saling Klaim Punya Sertifikat
Tim Sindomakassar
Minggu, 26 Nov 2023 21:54
Warga Mata Allo saat memasang papan bicara di lahan yang diklaim miliknya. Foto: Sindo Makassar
GOWA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Insan Panrita Indonesia (YLBH IPI) bersama warga Desa Mata Allo memasang papan bicara tanah di perbatasan Desa Mata Allo dengan Dusun Borong Rappo, Desa Sokkolia, Kecamatan Bontomarannu, Gowa pada Ahad (26/11).
Pemasangan dimulai sekira pukul 10.00 WITA dan didampingi Babinsa Mata Allo. Ada sebanyak 34 papan bicara yang hendak dipasang Warga Desa Mata Allo yang memiliki sertifikat hak milik (SHM) yang terlegitimasi oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) beracara pemekaran dari Desa Nirannuang menjadi Desa Mata Allo.
Awalnya, pemasangan papan bicara tanah oleh masing-masing pemilik yang memiliki SHM berjalan lancar. Sekira belasan papan bicara tanah sudah terpasang hingga pukul 11.00 WITA.
Namun warga dari Dusun Borong Rappo yang juga mengaku pemilik tanah tersebut datang dan memprotes pada pukul 11.10 WITA. Mereka menilai tanah yang dipasang papan bicara masuk dalam wilayah Desa Sokkolia, bukan Desa Mata Allo.
Perdebatan pun tak terhindarkan, apalagi mereka sama-sama merasa memiliki atas hak tanah tersebut. Total sekira 15 hektar tanah yang bersengketa. Belum lagi kedua pihak sama-sama membawa parang yang diikat di pinggangnya.
Belasan papan bicara yang sudah dipasang, pun dilepas warga Borong Rappo yang memprotes. Mereka juga mengaku memiliki sertifikat atas tanah tersebut.
Pukul 11.50, Camat Bontomarannu, Muhammad Safaat Surya Atmaja bersama personel Polsek Bontomarannu datang ke lokasi. Sementara warga masih berdebat dan saling klaim atas kepemilikan tanah yang terletak di dekat Divisi Infanteri 3 Kostrad itu.
Safaat didampingi personel Polsek Bontomarannu melakukan mediasi kepada warga Borong Rappo dan Tana Allo. Ia meminta semua pihak bersabar dan menurunkan emosinya. Apalagi akan dilakukan mediasi oleh pemerintah kabupaten.
Direktur Utama YLBH IPI, Muhammad Bakri mengatakan sebagian warga Desa Sokkolia menganggap, bahwa tanah yang bersengketa adalah wilayah Desa Sokkolia. Padahal sebenarnya masuk dalam wilayah Desa Mata Allo.
"Sementara sebelum Desa Mata Allo, ada Perda yang diterbitkan tahun 2003. Perda yang dilahirkan itu ialah desa persiapan, lalu selanjutnya lahir desa definitif (Desa Mata Allo)," katanya.
Kuasa Hukum warga Desa Mata Allo ini menyampaikan ke pemerintah, mulai dari desa, kecamatan hingga kabupaten agar berperan aktif dalam menentukan batas wilayah desa. Karena jangan sampai terjadi hal yang tidak diinginkan.
"Makanya kita mendorong pemerintah untuk menyelesaikan persoalan batas wilayah desa. Tapi ingat saya tekankan bahwa Desa Mata Allo lahir dari persetujuan DPR dan Bupati yang lebih awal diukur berdasarkan luasan wilayah dan jumlah penduduk, itu menjadi dasar utama," bebernya.
Asri sapaan Muhammad Bakri mengaku, pihaknya hanya membantu warga Desa Mata Allo atas kepemilikan haknya. Apalagi tanah yang diklaim, telah mengantongi SHM yang sah dari BPN.
"Ada 34 sertifikat SHM berdasarkan pengakuan legitimasi dari BPN. Atas dasar ini, kami secara bersama-sama memasang papan bicara tanah," tegasnya.
Ia juga menambahkan, dalam perjalanan kasus ini, belasan orang telah tersandung hukum karena melakukan tindak pidana. Terbaru ialah tiga orang yang ditetapkan tersangka.
"Dalam proses ini, ada beberapa yang kami laporkan dan sudah tersangka. Jumlahnya tiga orang, ada oknum pemerintah desa dan masyarakat, sekarang mereka wajib lapor," tandasnya.
Dalam proses mediasi dengan Camat Bontomarannu, Asri menyinggung adanya peran oknum yang berani melepas papan bicara yang sudah dipasang. Padahal tindakan tersebut termasuk kategori pengrusakan dan masuk tindak pidana.
Salah satu warga, Hasanuddin keberatan atas pernyataan Asri yang menyebut adanya oknum yang melepas papan bicara yang terpasang.
"Kenapa bilang ada oknum, siapa itu oknum? Siapa orangnya?," tanya Hasanuddin kepada Asri dengan suara tinggi di depan Camat Bontomarannu dan warga lainnya.
Hasanuddin mengaku, ia mencabut papan bicara itu karena disuruh oleh pemilik tanah yang juga memiliki bukti sertifikat.
"Dia punya tanah, dia juga punya sertifikat. Saya disuruh (cabut papan bicara) sama orang yang punya tanah ini," sebut Hasanuddin sembari menunjuk seorang perempuan selaku pemilik tanah yang dimaksud.
Sementara itu, Camat Safaat mengatakan, sengketa tanah di wilayah ini memang sudah berlangsung lama. Ia mengaku Pemerintah Kecamatan juga telah melakukan mediasi beberapa waktu lalu, namun belum menemui titik terang.
"Di kecamatan sudah kita mediasi, cuma kita akan tingkatkan ke pemerintah kabupaten untuk menindaklanjuti masalah ini. Karena pemerintah kabupaten juga berjanji untuk memproses ini," kata Safaat saat ditemui di lokasi.
Menurut Safaat, batas wilayah Desa Tana Allo dengan Sokkolia sejatinya sudah ada. Namun karena warga sama-sama mengaku memiliki SHM, sehingga persoalan ini berlarut-larut.
"Batas wilayah desa sudah jelas, (ada) di buku, sudah memasang patto dan sebagainya, karena ada anggarannya. Tapi memang ada sertifikat yang tumpang tindih, tapi ini persoalan (pemerintah) sebelum saya," ujarnya.
Safaat pun mendorong agar BPN bisa ambil bagian dengan cara mendudukkan pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan persoalan ini. Apalagi dalam waktu dekat, pemerintah kabupaten akan melakukan mediasi.
Soal sertifikat tumpang tindih, Safaat mengaku tak tahu kenapa bisa terjadi. Namun ia berharap, akhir tahun ini sengketa tanah ini bisa selesai.
"Saya belum tahu (soal sertifikat), karena sebelum saya sudah terjadi. Tapi ini mudah-mudahan akhir tahun ini, tinggal sedikit lagi. Memang PR (pekerjaan rumah) dari pemerintah (kecamatan) yang dulu," bebernya.
Pemasangan dimulai sekira pukul 10.00 WITA dan didampingi Babinsa Mata Allo. Ada sebanyak 34 papan bicara yang hendak dipasang Warga Desa Mata Allo yang memiliki sertifikat hak milik (SHM) yang terlegitimasi oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) beracara pemekaran dari Desa Nirannuang menjadi Desa Mata Allo.
Awalnya, pemasangan papan bicara tanah oleh masing-masing pemilik yang memiliki SHM berjalan lancar. Sekira belasan papan bicara tanah sudah terpasang hingga pukul 11.00 WITA.
Namun warga dari Dusun Borong Rappo yang juga mengaku pemilik tanah tersebut datang dan memprotes pada pukul 11.10 WITA. Mereka menilai tanah yang dipasang papan bicara masuk dalam wilayah Desa Sokkolia, bukan Desa Mata Allo.
Perdebatan pun tak terhindarkan, apalagi mereka sama-sama merasa memiliki atas hak tanah tersebut. Total sekira 15 hektar tanah yang bersengketa. Belum lagi kedua pihak sama-sama membawa parang yang diikat di pinggangnya.
Belasan papan bicara yang sudah dipasang, pun dilepas warga Borong Rappo yang memprotes. Mereka juga mengaku memiliki sertifikat atas tanah tersebut.
Pukul 11.50, Camat Bontomarannu, Muhammad Safaat Surya Atmaja bersama personel Polsek Bontomarannu datang ke lokasi. Sementara warga masih berdebat dan saling klaim atas kepemilikan tanah yang terletak di dekat Divisi Infanteri 3 Kostrad itu.
Safaat didampingi personel Polsek Bontomarannu melakukan mediasi kepada warga Borong Rappo dan Tana Allo. Ia meminta semua pihak bersabar dan menurunkan emosinya. Apalagi akan dilakukan mediasi oleh pemerintah kabupaten.
Direktur Utama YLBH IPI, Muhammad Bakri mengatakan sebagian warga Desa Sokkolia menganggap, bahwa tanah yang bersengketa adalah wilayah Desa Sokkolia. Padahal sebenarnya masuk dalam wilayah Desa Mata Allo.
"Sementara sebelum Desa Mata Allo, ada Perda yang diterbitkan tahun 2003. Perda yang dilahirkan itu ialah desa persiapan, lalu selanjutnya lahir desa definitif (Desa Mata Allo)," katanya.
Kuasa Hukum warga Desa Mata Allo ini menyampaikan ke pemerintah, mulai dari desa, kecamatan hingga kabupaten agar berperan aktif dalam menentukan batas wilayah desa. Karena jangan sampai terjadi hal yang tidak diinginkan.
"Makanya kita mendorong pemerintah untuk menyelesaikan persoalan batas wilayah desa. Tapi ingat saya tekankan bahwa Desa Mata Allo lahir dari persetujuan DPR dan Bupati yang lebih awal diukur berdasarkan luasan wilayah dan jumlah penduduk, itu menjadi dasar utama," bebernya.
Asri sapaan Muhammad Bakri mengaku, pihaknya hanya membantu warga Desa Mata Allo atas kepemilikan haknya. Apalagi tanah yang diklaim, telah mengantongi SHM yang sah dari BPN.
"Ada 34 sertifikat SHM berdasarkan pengakuan legitimasi dari BPN. Atas dasar ini, kami secara bersama-sama memasang papan bicara tanah," tegasnya.
Ia juga menambahkan, dalam perjalanan kasus ini, belasan orang telah tersandung hukum karena melakukan tindak pidana. Terbaru ialah tiga orang yang ditetapkan tersangka.
"Dalam proses ini, ada beberapa yang kami laporkan dan sudah tersangka. Jumlahnya tiga orang, ada oknum pemerintah desa dan masyarakat, sekarang mereka wajib lapor," tandasnya.
Dalam proses mediasi dengan Camat Bontomarannu, Asri menyinggung adanya peran oknum yang berani melepas papan bicara yang sudah dipasang. Padahal tindakan tersebut termasuk kategori pengrusakan dan masuk tindak pidana.
Salah satu warga, Hasanuddin keberatan atas pernyataan Asri yang menyebut adanya oknum yang melepas papan bicara yang terpasang.
"Kenapa bilang ada oknum, siapa itu oknum? Siapa orangnya?," tanya Hasanuddin kepada Asri dengan suara tinggi di depan Camat Bontomarannu dan warga lainnya.
Hasanuddin mengaku, ia mencabut papan bicara itu karena disuruh oleh pemilik tanah yang juga memiliki bukti sertifikat.
"Dia punya tanah, dia juga punya sertifikat. Saya disuruh (cabut papan bicara) sama orang yang punya tanah ini," sebut Hasanuddin sembari menunjuk seorang perempuan selaku pemilik tanah yang dimaksud.
Sementara itu, Camat Safaat mengatakan, sengketa tanah di wilayah ini memang sudah berlangsung lama. Ia mengaku Pemerintah Kecamatan juga telah melakukan mediasi beberapa waktu lalu, namun belum menemui titik terang.
"Di kecamatan sudah kita mediasi, cuma kita akan tingkatkan ke pemerintah kabupaten untuk menindaklanjuti masalah ini. Karena pemerintah kabupaten juga berjanji untuk memproses ini," kata Safaat saat ditemui di lokasi.
Menurut Safaat, batas wilayah Desa Tana Allo dengan Sokkolia sejatinya sudah ada. Namun karena warga sama-sama mengaku memiliki SHM, sehingga persoalan ini berlarut-larut.
"Batas wilayah desa sudah jelas, (ada) di buku, sudah memasang patto dan sebagainya, karena ada anggarannya. Tapi memang ada sertifikat yang tumpang tindih, tapi ini persoalan (pemerintah) sebelum saya," ujarnya.
Safaat pun mendorong agar BPN bisa ambil bagian dengan cara mendudukkan pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan persoalan ini. Apalagi dalam waktu dekat, pemerintah kabupaten akan melakukan mediasi.
Soal sertifikat tumpang tindih, Safaat mengaku tak tahu kenapa bisa terjadi. Namun ia berharap, akhir tahun ini sengketa tanah ini bisa selesai.
"Saya belum tahu (soal sertifikat), karena sebelum saya sudah terjadi. Tapi ini mudah-mudahan akhir tahun ini, tinggal sedikit lagi. Memang PR (pekerjaan rumah) dari pemerintah (kecamatan) yang dulu," bebernya.
(UMI)
Berita Terkait
Sulsel
Bawaslu Gowa: Paslon Terjerat Pidana jika Libatkan Perangkat Desa & ASN dalam Kampanye
Bawaslu Kabupaten Gowa menegaskan potensi pidana pada pelibatan perangkat desa dalam kegiatan kampanye Pikada 2024.
Sabtu, 19 Okt 2024 17:41
Sulsel
Sudah 2 Bulan Tanah Milik Pemprov Sulsel Disegel, ASN Kesulitan Beraktivitas
Penyegelan Kantor UPT Peternakan Dinas Pertanian Kabupaten Bantaeng sejak dua bulan lalu menyisahkan keresahan. Pasalnya, ASN yang bertugas di kantor tersebut tidak bisa beraktivitas.
Selasa, 01 Okt 2024 13:26
News
MDA Gandeng Badan Bank Tanah Pastikan Legalitas Lahan untuk Investasi
Sebagai bagian dari upaya tersebut, MDA menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Badan Bank Tanah (BBT) di kantor BBT Jakarta, Senin (23/9/2024).
Kamis, 26 Sep 2024 13:54
Sulsel
Beredar Flayer Aura Paket dengan Irma di Pilkada Gowa 2024
Beredar flayer Amir Uskara berpaket dengan Irmawati Haeruddin di Pilkada Gowa. Flayer ini memunculkan foto AU dengan Irma dihiasi tulisan besar AURA 2024.
Senin, 05 Agu 2024 14:48
Sulsel
DPRD Sulsel Bakal Kunjungi Tanah Adat Kajang Soal Sengketa dengan PT Lonsum
Komisi B DPRD Sulsel menggelar rapat dengar pendapat (RDP) bersama tokoh masyarakat adat Kajang, PT London Sumatera Indonesia TBK (PT Lonsum) dan BPN di Gedung Tower DPRD Sulsel pada Rabu (05/06) kemarin. RDP ini membahas perihal penguasaan lahan tanah adat Kajang di Bulukumba.
Rabu, 05 Jun 2024 22:51
Berita Terbaru
Artikel Terpopuler
Topik Terpopuler
1
Survei Pamungkas Pilwalkot Makassar Jelang Pencoblosan: MULIA 41,9%, INIMI 25,1%, SEHATI 21,1%
2
Warga Jeneponto Ditabrak Mobil, Tim Sarif-Qalby Siap Tanggung Biaya Pengobatan
3
Sarif-Qalby Gelar Kampanye Akbar, 93 Ribu Massa Tumpah Ruah di Lapangan Pastur
4
Bawaslu Soppeng Ingatkan KPU dan Paslon untuk Patuhi Aturan Masa Tenang Pilkada
5
Merajai 4 Survei Terpercaya, Aurama' Diprediksi Keluar Sebagai Pemenang Pilkada Gowa 2024
Artikel Terpopuler
Topik Terpopuler
1
Survei Pamungkas Pilwalkot Makassar Jelang Pencoblosan: MULIA 41,9%, INIMI 25,1%, SEHATI 21,1%
2
Warga Jeneponto Ditabrak Mobil, Tim Sarif-Qalby Siap Tanggung Biaya Pengobatan
3
Sarif-Qalby Gelar Kampanye Akbar, 93 Ribu Massa Tumpah Ruah di Lapangan Pastur
4
Bawaslu Soppeng Ingatkan KPU dan Paslon untuk Patuhi Aturan Masa Tenang Pilkada
5
Merajai 4 Survei Terpercaya, Aurama' Diprediksi Keluar Sebagai Pemenang Pilkada Gowa 2024