Cahaya Ramadan: Dampak Positif Ramadan pada Kesehatan Mental

Tim Sindomakassar
Jum'at, 31 Mar 2023 10:11
Cahaya Ramadan: Dampak Positif Ramadan pada Kesehatan Mental
Muhammad Alim Jaya, Dosen Ilmu Kedokteran Jiwa UMI. Foto: Dokumen pribadi
Comment
Share
Muhammad Alim Jaya
Dosen Ilmu Kedokteran Jiwa UMI

RAMADAN adalah bulan suci bagi umat Islam dan setiap umat Islam yang menjalankannya akan berfokus pada hubungan spiritual mereka dengan Allah SWT melalui doa, puasa, memperbanyak amal saleh, membaca Al-Qur'an, dan berkumpul bersama dengan keluarga serta kerabat.

Ramadan juga menjadi tantangan tersendiri bagi umat Islam, sehingga membutuhkan iman dan ketaqwaan untuk bisa menjalankannya. Salah satu yang menjadi tantangannya adalah berpuasa.

Puasa adalah salah satu dari lima rukun Islam, di mana umat Islam dianjurkan untuk tidak makan dan minum antara fajar hingga petang. Tubuh, pikiran, dan roh kita didorong hingga batasnya dengan berpuasa dari matahari terbit hingga terbenam.



Selain itu, jadwal tidur kita biasanya menjadi tidak teratur karena sholat malam dan sahur. Meskipun kurang tidur dari biasanya, kita tetap bekerja dan beraktivitas seperti biasa, menjadi lebih aktif di komunitas, beramal, mengunjungi masjid, dan berkumpul untuk buka puasa bersama.

Bagi saudara-saudara kita yang menetap di negara mayoritas non-Muslim, kemungkinan besar beban kerjanya sama dengan yang non-Muslim, tanpa ada pertimbangan atau keringanan untuk perjalanan spiritual yang sementara kita jalani.

Puasa bukan hanya membahas tentang menahan diri dari makanan dan minuman. Seorang umat Islam juga dianjurkan menghindari ucapan berbahaya seperti berbicara tidak senonoh, dan juga menghindari tindakan negatif seperti berdebat atau berkelahi. Dengan demikian, kita dapat berfokus untuk mengembangkan perilaku baik dan meningkatkan jumlah perbuatan baik yang kita lakukan.

Lalu, bagaimana dampak positif bulan suci Ramadan pada kesehatan mental?

Sepanjang Ramadan, ada penekanan pada amal dan memikirkan mereka yang membutuhkan untuk menemukan cara untuk menyatukan komunitas. Selama bulan ini, kita mulai memikirkan bagaimana kita dapat memberi dan bagaimana berhubungan baik dengan keluarga dan orang-orang di sekitar kita. Setiap perilaku kebaikan yang dikerjakan dengan tujuan beramal soleh, dapat melepaskan “hormon-hormon kebahagiaan” di otak yang berkontribusi pada suasana hati.



Hormon adalah senyawa kimia yang diproduksi di otak dan setelah diproduksi, hormon-hormon tersebut didistribusikan ke seluruh tubuh lewat sirkulasi aliran darah. Sebagian besar penelitian tentang neurosains, melaporkan bahwa hormon yang sangat terkait dengan perilaku kebaikan adalah hormon oksitosin.

Hormon oksitosin, biasa disebut juga sebagai “hormon cinta”, karena berperan dalam membentuk ikatan sosial dan kepercayaan terhadap orang lain. Beberapa penelitian lain melaporkan bahwa Oksitosin juga dapat menurunkan kadar tekanan darah pada orang yang memiliki tekanan darah tinggi (hipertensi). Hormon yang juga diproduksi saat seorang ibu menyusui, dapat memperkuat ikatan antara ibu dengan bayinya. Hormon oksitosin juga dapat menstimulus pelepasan dopamin dan serotonin, yang merupakan neurotransmiter otak serta berperan dalam pengaturan suasana hati seseorang.

Penelitian lain juga menunjukkan bahwa perilaku kebaikan dapat meningkatkan hormon endorfin. Hormon endorfin merupakan hormon yang membuat seseorang 'merasa nyaman'.



Gaya hidup sosial dan aktif yang sering berjalan seiring dengan menjadi amal soleh dapat membantu meningkatkan harga diri kita saat kita tenggelam dalam aktivitas yang bermakna, sekaligus membantu kita melawan perasaan kesepian dan keterasingan.

Hormon endorfin juga merupakan hormon penahan rasa sakit alami saat tubuh mengalami stress atau ketidaknyamanan. Hormon endorfin bekerja dengan memblok reseptor rasa sakit di otak, sehingga, sensasi sakit yang dialami seseorang bisa berkurang.

Selain pengaruh dari hormon-hormon tersebut, emosi positif yang kita rasakan dari beramal soleh juga dapat membantu menghilangkan stres, dan membantu kita melepaskan diri dari perasaan negatif seperti kemarahan.



Sebagai kesimpulan, Ramadan menawarkan kita kesempatan untuk mengatur ulang diri kita. Bulan Suci Ramadan adalah kesempatan bagi kita untuk mengatasi perilaku yang tidak baik. Ramadan merupakan waktu yang tepat untuk merenungkan dan mengevaluasi kebiasaan tidak sehat seperti merokok, konsumsi alkohol, obat-obatan atau penggunaan internet yang berlebihan, yang dapat diubah selama bulan Ramadhan ini.

Ramadan dapat memberi kita kekuatan spiritual untuk merenungkan kebiasaan dan perilaku kita. Selain itu, kemampuan untuk menghindari perilaku tidak baik sepanjang hari dapat menjadi batu loncatan untuk mengatur ulang dan membangun resistensi terhadap pemicu, sekaligus mengatasi keinginan untuk melakukan perilaku yang tidak baik. Kegiatan amal soleh dengan selalu menjaga untuk berbuat hal-hal baik akan menurunkan emosi, stres dan memperbaiki suasana hati karena adanya pelepasan “hormon-hormon kebahagiaan”.
(MAN)
Berita Terkait
Berita Terbaru