Cahaya Ramadan: Jalan Tengah
Kamis, 30 Mar 2023 08:51
Prof Hamdan Juhannis, Rektor UIN Alauddin Makassar. Foto: Istimewa
Prof Hamdan Juhannis
Rektor UIN Alauddin Makassar
ANDA sering bertemu dengan orang yang begitu mudah menegasikan orang lain? Kosa katanya kurang lebihnya: "tidak begitu" "salah itu", "kurang pas", agak dangkal", "kurang argumentatif", "itu klise", atau sejenisnya.
Di dunia kampus, kosa kata seperti di atas sering muncul dalam seminar, dialog, ataupun diskusi. Di warung kopi, kita juga sering menemukan cara menyampaikan pikiran dan respons seperti di atas. Di ruang publik lainnya bisa saja lebih massif, misalnya di layar kaca, jangankan ujaran negatif, hujatan-pun menjadi sangat biasa. Bahkan yang lebih sering lagi di tempat ibadah dengan aktivitas ceramah atau khutbah, salah satu frase negatif di atas mudah ditemukan.
Begitu mudah mengakses konten yang menegasikan orang atau kelompok lain. Begitu mudahnya kita membaca unggahan yang mengindikasikan kesalahan atau ketidaktepatan pandangan orang.
Baca juga: Cahaya Ramadan: Jangan Lupa Bahagia!
Kemarin anak bungsu saya mengkonfirmasi pengetahuan barunya, jangan sikat sikat gigi saat berpuasa, karena membuat makruh puasa, sambil menyimak tiktok seorang ustaz. Saya menjawab bukan hanya membikin makruh puasa, tetapi membatalkan puasa, kalau sambil sikat gigi sengaja menelan air. Bahkan duduk termenung bisa membatalkan puasa, karena duduknya sambil makan jalangkote. Saya candai anak saya.
Lalu saya berusaha menjelaskan bagaimana kalau berbicara kepada orang lain dalam keadaan mulut bau karena tidak sikat gigi, bukankah itu bisa menjadi masalah baru dalam hubungan sosial?.
Yang dilakukan anak bungsu saya mungkin juga banyak dilakukan orang untuk selalu mencari hukum suatu masalah. Ruang maya dan medsos tempatnya untuk mendapatkan jawaban; singkat padat dan lantang.
Pola beragama seperti ini lebih mengedepankan kedudukan hukum dibanding nilai moral sebuah ajaran. Prioritas pada pemahaman agama yang bersifat halal-haram ini bisa saja karena model pembalajaran fiqh seperti itu yang membentuk watak keberagamaan kita dari awal. Kita lebih banyak tercurah pada status hukum sebuah perbuatan dibanding mencari makna mengapa perbuatan itu ditetapkan pada hukum tertentu. Ada istilahnya dalam fiqh, tapi silakan cari sendiri. Saya tidak mau pintar sendiri, atau lebih tepatnya sok pintar. Apalagi bukan bidang keilmuan saya.
Mungkin perlu sentuhan baru dalam menalar hukum-hukum dalam beragama. Termasuk memperbaharui hukum adat berkomunikasi yang menghasilkan tradisi. Misalnya, kita bisa mengajarkan kepada anak kita, kalau berbeda dengan orang, kita mengatakan "satu pendapat baru" dibanding "tidak benar itu". Kita bisa mengatakan "menarik pandangannya" dibanding "pandangan yang aneh." Asal tetap hati-hati mengunakan kata "kita" sebagai cara halus untuk mengatakan "anda." Misalnya "dia isteri kita?" untuk memperhalus pertanyaan "dia isteri anda?"
Rektor UIN Alauddin Makassar
ANDA sering bertemu dengan orang yang begitu mudah menegasikan orang lain? Kosa katanya kurang lebihnya: "tidak begitu" "salah itu", "kurang pas", agak dangkal", "kurang argumentatif", "itu klise", atau sejenisnya.
Di dunia kampus, kosa kata seperti di atas sering muncul dalam seminar, dialog, ataupun diskusi. Di warung kopi, kita juga sering menemukan cara menyampaikan pikiran dan respons seperti di atas. Di ruang publik lainnya bisa saja lebih massif, misalnya di layar kaca, jangankan ujaran negatif, hujatan-pun menjadi sangat biasa. Bahkan yang lebih sering lagi di tempat ibadah dengan aktivitas ceramah atau khutbah, salah satu frase negatif di atas mudah ditemukan.
Begitu mudah mengakses konten yang menegasikan orang atau kelompok lain. Begitu mudahnya kita membaca unggahan yang mengindikasikan kesalahan atau ketidaktepatan pandangan orang.
Baca juga: Cahaya Ramadan: Jangan Lupa Bahagia!
Kemarin anak bungsu saya mengkonfirmasi pengetahuan barunya, jangan sikat sikat gigi saat berpuasa, karena membuat makruh puasa, sambil menyimak tiktok seorang ustaz. Saya menjawab bukan hanya membikin makruh puasa, tetapi membatalkan puasa, kalau sambil sikat gigi sengaja menelan air. Bahkan duduk termenung bisa membatalkan puasa, karena duduknya sambil makan jalangkote. Saya candai anak saya.
Lalu saya berusaha menjelaskan bagaimana kalau berbicara kepada orang lain dalam keadaan mulut bau karena tidak sikat gigi, bukankah itu bisa menjadi masalah baru dalam hubungan sosial?.
Yang dilakukan anak bungsu saya mungkin juga banyak dilakukan orang untuk selalu mencari hukum suatu masalah. Ruang maya dan medsos tempatnya untuk mendapatkan jawaban; singkat padat dan lantang.
Baca Juga: Cahaya Ramadan: Agama dan Pembangunan
Pola beragama seperti ini lebih mengedepankan kedudukan hukum dibanding nilai moral sebuah ajaran. Prioritas pada pemahaman agama yang bersifat halal-haram ini bisa saja karena model pembalajaran fiqh seperti itu yang membentuk watak keberagamaan kita dari awal. Kita lebih banyak tercurah pada status hukum sebuah perbuatan dibanding mencari makna mengapa perbuatan itu ditetapkan pada hukum tertentu. Ada istilahnya dalam fiqh, tapi silakan cari sendiri. Saya tidak mau pintar sendiri, atau lebih tepatnya sok pintar. Apalagi bukan bidang keilmuan saya.
Mungkin perlu sentuhan baru dalam menalar hukum-hukum dalam beragama. Termasuk memperbaharui hukum adat berkomunikasi yang menghasilkan tradisi. Misalnya, kita bisa mengajarkan kepada anak kita, kalau berbeda dengan orang, kita mengatakan "satu pendapat baru" dibanding "tidak benar itu". Kita bisa mengatakan "menarik pandangannya" dibanding "pandangan yang aneh." Asal tetap hati-hati mengunakan kata "kita" sebagai cara halus untuk mengatakan "anda." Misalnya "dia isteri kita?" untuk memperhalus pertanyaan "dia isteri anda?"
(MAN)
Berita Terkait
News
Perdana, UIN Alauddin Makassar Diberi Predikat Badan Publik Informatif oleh KI
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar kembali menorehkan prestasi di tingkat nasional. Kali ini, datang dari Anugerah Keterbukaan Informasi Publik Tahun 2025.
Kamis, 18 Des 2025 11:49
Sulsel
IKA UIN Alauddin Dukung Presiden Prabowo Jadi Penggerak Perdamaian Dunia Islam
Ikatan Alumni (IKA) UIN Alauddin Makassar menyatakan dukungan penuh terhadap peran Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto sebagai pemimpin dunia Islam dalam memperjuangkan perdamaian global, khususnya terkait penyelesaian konflik Palestina–Israel.
Sabtu, 15 Nov 2025 18:08
Sulsel
Rektor UIN Alauddin Ajak PTKIN Terlibat Sukseskan Program MBG
Rektor UIN Alauddin Makassar, Prof. H. Hamdan Juhannis, M.A., Ph D menegaskan pentingnya peran PTKIN dalam mendukung suksesnya program prioritas nasional.
Sabtu, 15 Nov 2025 13:40
Sulsel
UIN Alauddin Tuan Rumah Seminar Internasional Perdamaian Gaza
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar akan menjadi tuan rumah Seminar Internasional Perdamaian Gaza pada Senin, 17 November 2025.
Selasa, 04 Nov 2025 22:49
Makassar City
Pesan dr Fadli Ananda ke RS UIN Alauddin: Perkuat Branding dan Rencana Keuangan
Anggota DPRD Sulsel, sekaligus Owner dan CEO RSIA Ananda, dr Fadli Ananda, Sp.OG, M.Kes, melakukan kunjungan ke Rumah Sakit (RS) UIN Alauddin Makassar, Jumat (8/8/2025).
Jum'at, 08 Agu 2025 18:02
Berita Terbaru
Artikel Terpopuler
Topik Terpopuler
1
Air Irigasi dari Bendungan Karalloe Tersendat, Komisi III DPRD Langsung Bergerak
2
Kejati Sulsel Ajukan Cekal Eks Pj Gubernur dan 5 Orang Terkait Dugaan Korupsi Bibit Nanas
3
Pilkada Via DPRD: Jangan Korbankan Kedaulatan Rakyat
4
Kapolda Sulsel Janji Tuntaskan Kasus Penembakan Pengacara Rudy S Gani
5
UMI Gelar Dzikir Launching Penerimaan Maba 2026, Begini Pesan Rektor Prof Hambali
Artikel Terpopuler
Topik Terpopuler
1
Air Irigasi dari Bendungan Karalloe Tersendat, Komisi III DPRD Langsung Bergerak
2
Kejati Sulsel Ajukan Cekal Eks Pj Gubernur dan 5 Orang Terkait Dugaan Korupsi Bibit Nanas
3
Pilkada Via DPRD: Jangan Korbankan Kedaulatan Rakyat
4
Kapolda Sulsel Janji Tuntaskan Kasus Penembakan Pengacara Rudy S Gani
5
UMI Gelar Dzikir Launching Penerimaan Maba 2026, Begini Pesan Rektor Prof Hambali