Cahaya Ramadan: Puasa dan The Security Blanket Paradox

Tim Sindomakassar
Sabtu, 08 Apr 2023 09:54
Cahaya Ramadan: Puasa dan The Security Blanket Paradox
Dr Hamdan eSA, dosen Universitas Al Asyariah Mandar. Foto: Dokumen pribadi
Comment
Share
Dr Hamdan eSA
Dosen Universitas Al Asyariah Mandar

MENGAPA gerakan refleks menyelamatkan diri muncul begitu cepat? Sebab dalam diri kita terdapat mekanisme keamanan yang bekerja secara naluriah. Setiap orang secara naluriah memiliki kecenderungan untuk memastikan dirinya selalu berada dalam rasa aman dan nyaman. Tidak ada seorang pun yang dapat merasa aman dan nyaman dalam lingkungan yang penuh ancaman. Tapi nyatanya, rasa aman, nyaman, dan ancaman tak mungkin dipisahkan.

Kita sadar bahwa dunia ini penuh dengan ancaman, dan seperti penumpang saat kapal kandas membentur karang, kita cenderung refleks berpegangan pada sesuatu untuk memperoleh rasa aman dan nyaman. Meskipun kita tahu bahwa itu sekedar menghibur dalam jangka singkat.

Naluri ini juga dapat kita rasakan misalnya pada gerakan lefleks ketika pijakan tiba-tiba condong kebelakang karena sebagian bidang pijakan berada di atas lubang sedangkal mangkuk. Gerakan refleks itu muncul mengarahkan kita untuk mencari pegangan yang paling dekat dalam jangkauan tangan.

Pertanyaan selanjutnya; kepada siapa “pegangan” itu kita rekatkan secara erat?



Dalam waktu panjang, sadar atau tidak, kita senantiasa menyerahkan, menggantungkan, atau memasrahkan rasa aman dan nyaman tersebut pada hal-hal yang berada di luar diri kita. Mungkin pada orang, benda-benda, atau kepercayaan pada suatu sistem. Penyerahan ini berlangsung bahkan ketika pegangan itu mungkin tidak benar atau rapuh, tidak layak untuk menjadi pegangan.

Pada level inilah paradox mulai muncul, yang dikenal dengan “security blanket paradox”. Bahwa semakin seorang menambahkan elemen pengaman bagi dirinya, saat itu pula ancaman baru bagi dirinya bertambah.

Diandaikan pada suatu malam yang hujan, anda mungkin menghadapi hanya satu masalah, yakni dingin. Anda lalu menggunakan selimut (blanket) untuk memperoleh rasa aman dari dingin dan rasa nyaman dalam kehangatan. Begitu anda menggunakannya, seketika itu pula anda telah memperoleh sebuah ancaman baru, yakni hilang atau rusaknya selimut. Jadi, saat itu anda justru telah memiliki dua masalah yang kontradiktif. Anda mencari keamanan, tetapi yang diperoleh hanyalah ancaman baru. Anda mengatasi masalah, tetapi yang diperolah justru menambah masalah baru.

Lebih menarik lagi, paradoks turunannya muncul, bahwa: meskipun seorang atau sekelompok orang telah yakin merasa aman dalam kehidupannya sehari-hari, tetapi di waktu yang sama mereka juga mesti yakin bahwa keamanan dapat dan harus ditingkatkan.



Demikianlah, ancaman tak pernah habis-habisnya, tak akan pernah berakhir. Ia semacam hukum alam yang pasti terjadi, atau sunnatullah dalam pandangan Islam. Bahkan pada tingkat pandangan yang ekstrim, dunia ini beserta seluruh isinya mengandung ancaman.

Fenomena “security blanket paradox” ini diam-diam sebenarnya dapat dimanfaatkan secara keliru untuk maksud tertentu. Para penjahat kelas kakap dapat menciptakan suatu ancaman sosial sekaligus menciptakan sendiri sistem keamanan untuk mengatasinya. Dia membuat virusnya dan dia pula yang telah menyiapkan anti virusnya. “Kau yang memulai, kau yang mengakhiri. Kau yang berjanji, kau yang mengingkari.” Kata bang Rhoma dalam lirik kegagalan cinta.

Tidak jarang pula, rasa takut atau rasa terancam sebenarnya diciptakan oleh diri sendiri. Dari rasa takut yang wajar sampai yang tak dapat dicerna oleh akal. Menciptakan sendiri “hantu” bahkan “terror” bagi diri sendiri. Dari rasa takut yang dibuat dan dibesar-besarkan sendiri ini, ia kemudian mencoba mengkonstruksi perlindungan yang dapat membuatnya lebih nyaman.

Fenomena “security blanket paradox” juga dapat dimanfaatkan sebagai komoditi. Yang paling nyata dalam bentuk “industri rasa aman” atau “industri rasa takut”. Dalam kehidupan keseharian, sangat banyak yang menggunakan produk industri rasa takut. Mulai dari alat perang, gedung-gedung, rumah, pakaian, lemari, makanan, pintu dan kunci, hand & body lotion, deodoran, alat kontrasepsi, dan ribuan produk lainnya.

Baca juga: Cahaya Ramadan: Keunikan Puasa saat Berbuka

Iklan-iklan yang berseliweran setiap hari dalam pandangan kita, hanya mengajukan dua pilihan. Kadang menjanjikan kenyamanan, kadang menyajikan ancaman. Keduanya terinjeksi ke dalam kesadaran kita melalui alam bawah sadar. Itulah sebabnya, tanpa sadar, semakin hari kian banyak yang kita butuhkan.

Apa yang kita gunakan dan tidak kita gunakan dalam hidup kita sehari-hari, selalu didorong oleh pertimbangan rasa nyaman dan aman. Dan kepada semua pilihan itu kita “menguatkan pegangan” untuk menjamin keselamatan. Laksana pegangan penumpang pada kapal yang sedang terguncang gelombang.

Problem selanjutnya dalam hal intelektual; kita sering membiarkan akal kita pasrah terkungkung pada hegemoni atau tirani “kebiasaan”. Kita lebih nyaman mengikuti, takluk dan tunduk pada cengkraman kebiasaan-kebiasaan yang telah berlangsung lama dalam lingkungan sosial, dibanding membebaskan akal dari cengkraman tersebut guna mengeksplorasi dan membangun ide-ide baru dan lebih terbuka. Ibarat orang yang memilih nyaman dalam cengkraman kehangatan berselimut, daripada membebaskan badan dengan bangkit, berjalan, bergerak guna memperoleh kebugaran dan kesegaran.

Bertrand Russell menjelaskan bahwa konsekwensi intelektual dari “security blanket paradox” ini adalah orang atau masyarakat yang hidup terpenjara dalam prasangka-prasangka akal, kebiasaan-kebiasaan atau kepercayaan yang hidup dalam zaman dan bangsanya, serta segala kepercayaan yang diterima begitu saja tanpa kerja kritis akalnya.



Itu terjadi pada individu. Namun, bagaimana jika itu terjadi pada sebuah Negara? Thomas Hobbes menjelaskan lewat karyanya yang sangat tenar, Leviathan. Motivasi paling dasar dari terbentuknya suatu Negara beserta konstitusinya adalah rasa takut. Bahwa setiap orang, awalnya, sama-sama takut dari gangguan, baik dari seseorang ataupun kelompok penakluk. Karenanya, setiap orang memerlukan rasa aman, dan selanjutnya saling menyepakati suatu cara hidup bersama yang tidak saling mengganggu.

Maka terciptalah perjanjian sosial untuk menciptakan otoritas kekuasaan berdaulat yang dapat secara efektif melindungi persetujuan itu. Lahirlah Negara yang memiliki legitimasi politik untuk memaksa setiap orang mematuhi kesepakatan sosial dalam menjamin rasa aman. Jadi, negara adalah produk rasa takut.
(MAN)
Berita Terkait
Berita Terbaru