Opini
Tafsir Hitam: Karbala, Cannibal Corpse, Ammatoa Kajang
Minggu, 17 Agu 2025 18:44

Dari Karbala, Cannibal Corpse, hingga Kajang — benang hitam menjadi simpul yang menyatukan cara manusia merespons dunia yang tak adil. Illustrasi: ChatGPT
Hitam bukan hanya warna. Ia adalah pernyataan yang ditolak terang, suara yang tak meminta didengar, dan luka yang tak ingin dijelaskan.
Dalam tiga dunia yang jauh — Karbala yang berdarah, Metal yang bising, dan Kajang yang sunyi — hitam muncul sebagai lambang yang serupa: penolakan terhadap kepalsuan, pemberontakan terhadap kuasa, dan kejujuran terhadap asal mula.
Di Karbala, hitam adalah duka yang dituliskan langit dan bumi.
Di Metal, hitam adalah amarah yang tak bisa disalurkan dengan doa.
Di Kajang, hitam adalah hidup yang tak butuh motif.
Tiga dunia, satu warna.
Satu tafsir:
Hitam sebagai jalan sunyi menuju makna — Perlawanan.
Di Karbala, waktu tak bergerak.
Ia membeku bersama darah yang tumpah, bersama tubuh yang jatuh, bersama nama yang disayat sejarah.
Merah itu menjadi hitam — ingatan Asyura sebagai bekas luka yang terus dikenang oleh jiwa yang masih peduli pada makna kebenaran.
Hitam dalam tradisi Karbala bukan sekadar warna duka.
Ia adalah sejarah, yang dirawat oleh mereka yang menolak melupakan.
Hitam adalah cara untuk berkata:
“Kami masih mengingat. Kami masih berkabung. Kami belum selesai.”
Dalam memori Karbala, hitam adalah bentuk ziarah batin —
bukan sekadar berkabung, tapi berdiri di sisi Husain.
Husain bukan hanya cucu Nabi — ia adalah batas:
antara iman dan kekuasaan, antara kejujuran dan kompromi.
Di tengah Karbala, ia datang dan berdiri.
Yang ia lawan bukan hanya pedang,
tapi diamnya umat, dan sunyinya nurani.
Maka Karbala membekukan satu pelajaran:
Bahwa dalam dunia yang dipenuhi kompromi,
kadang kebenaran harus memilih mati dengan bermartabat,
daripada hidup dalam kebohongan.
Dan di situlah hitam membeku —
bukan karena dingin,
tapi karena tak ada lagi pelukan dunia yang sanggup mencairkannya.
Dari kegelapan Black Sabbath, dari kemarahan Slayer, hingga ke kekacauan murni dalam lirik "Satan H*****n", dunia metal telah lama belajar bahwa tidak semua luka bisa diobati dengan doa.
Sebagian luka hanya bisa diteriakkan — dengan suara serak, parau, dan tak perlu dimengerti.
Dengan hentakan snare dan tendangan kick yang rapat, suara musik ini meledak tanpa rahmat.
Tidak ada belas kasih disini — hanya darah imajiner, tubuh yang dimutilasi metafora, dan teriakan yang tidak berharap didengar Tuhan.
Dalam budaya metal, Cannibal Corpse bukan satu-satunya suara keras — tapi mungkin yang paling brutal.
Mereka bukan sekadar memainkan musik cepat dan berat; mereka mengoyak batas, menjerit dari kedalaman yang tak lagi percaya pada pahala.
Mereka tidak menyanyikan syair untuk surga, tapi mengabarkan pesan dari neraka.
Cannibal Corpse bukan sekadar mimpi buruk, tapi anti-liturgi dari dunia yang tanpa pengampunan.
Mereka tidak menawarkan pelukan, tidak pula membawa pengharapan.
Cannibal Corpse hanya mengingatkan satu hal: bahwa di balik kulit dan iman, bersembunyi api purba yang terus menyala.
Jika Hitam Karbala adalah duka yang dijaga, maka Hitam Metal adalah luka yang menolak dibungkus dengan doa.
Raungan dawai berderit seperti rantai yang diseret di batu cadas — berat, kasar, tanpa sedikit pun rasa iba.
Setiap nada adalah amarah, setiap jeda adalah tarikan napas sebelum gemuruh berikutnya.
Kebisingan ini tak bisa dikurung dalam ruang suara.
Ia harus dibebaskan — dalam ritual kolektif, tempat tubuh bertubrukan, napas saling menindih, dan teriakan menjadi senjata.
Dari gigs kecil hingga panggung raksasa, para Metalhead menyatu dalam satu identitas, satu warna: Hitam.
Di tempat itu, mereka hadir dan berdiri — bukan sekadar untuk bergaya, tapi karena ada beban batin yang tak menemukan ruang dalam liturgi biasa.
Saat gempa blast beat mengguncang, tubuh-tubuh dibenturkan — tak mengenal ampun, tak mengharap pertolongan.
Dalam pusaran badai mosh pit, jiwa-jiwa mengamuk mencari makna, seolah menari di tengah kekosongan kosmik.
Di sana, kepala-kepala menunduk mengikuti irama kegaduhan — sebagai bentuk zikir yang tumbuh dari kegelapan.
Di dunia metal, hitam bukan sekadar brutalitas suara.
Baris-baris tentang kematian, kehampaan, dan tubuh yang hancur bukanlah glorifikasi kekerasan —
melainkan teriakan dari dunia yang kehilangan kesuciannya,
dari iblis yang menyamar dalam jubah para malaikat.
Ia bukan ratapan, tapi protes — yang mengeras di kepala.
Antara gain yang bising dan distorsi yang panas, jeritan memekik dari kejauhan — seolah dari tengah gurun yang gersang.
System of a Down tak menyanyikan pujian untuk Tuhan, tak mengancam dengan neraka.
Mereka menggugat cairan hitam yang disedot paksa dari urat nadi bumi.
Sebuah letusan — ledakan siksa di tengah ladang minyak.
Demi bahan bakar perang.
Dan di balik kekacauan ini, di akar dari semua kegelapan — Black Sabbath justru bertanya dari kedalaman:
Apakah Tuhan telah mati?
Pertanyaan itu menggema, bukan dari seminar atau khutbah, tapi dari distorsi yang merintih, dari amplifikasi luka paling sunyi.
Tapi apakah mereka benar-benar sedang menghujat?
Atau… justru sedang menjerit karena Tuhan tak lagi terasa?
Mungkin mereka tak tahu apa dan siapa Tuhan.
Tapi mereka percaya:
bahwa akhir akan datang dan pintu neraka terbuka lebar.
Jauh di timur Sulawesi, di antara hutan dan hening: suara-suara alam mendominasi.
Dari desiran angin yang menerpa dedaunan, kicauan burung, hingga riuh bingar serangga.
Tak ada suara bising — hanya langkah perlahan menapak di atas daun-daun kering.
Pohon-pohon menjulang tinggi, membentuk batas antara dunia yang profan dan yang sakral.
Tidak semua hitam butuh suara.
Di Sulawesi Selatan, ada hitam yang diam — dan karena diam, ia bertahan.
Di Ammatoa Kajang, hitam hadir bukan sekedar warna pakaian.
Ia adalah pernyataan, sumpah yang tidak diucapkan dengan kata.
Hitam di sini bukan tanda duka, melainkan wujud kesetiaan pada Pasang — hukum leluhur yang menjaga harmoni antara manusia dan alam, termasuk roh-roh yang mendiami keduanya.
Bagi masyarakat Kajang, hitam adalah pengingat untuk hidup tak berlebih, tak bermegah, tak serakah: kamase-mase — kesederhanaan.
Setiap helai kainnya memuat janji untuk hidup tidak sembarangan — tidak merusak tanah tempat berpijak, tidak menebang pohon tanpa alasan.
Ia adalah benteng yang melindungi hening dari bising dunia luar.
Hitam adalah awal.
Ia mendahului segala warna — malam sebelum siang, rahim sebelum mata terbuka.
Hitam adalah tempat manusia bermula:
bahwa kehidupan lahir dari kegelapan yang hening, bukan dari gemerlap terang.
Ia adalah pelindung dari bias cahaya yang menipu.
Dalam balutan warna yang sama, hitam menjadi simbol kesetaraan yang menghapus jarak antara tinggi dan rendah, kaya dan miskin.
Tak ada aksara, tak ada definisi tertulis — hanya hidup yang selaras dengan Pasang ri Kajang.
Dengan hitam, mereka berdiri dalam satu sikap, bergerak dengan satu kehendak.
Satu tubuh, satu perbuatan — A’bulo Sibatang.
Karbala, Cannibal Corpse, Ammatoa Kajang.
Tiga simpul kain dari benang yang sama — benang hitam yang ditenun oleh manusia.
Ia bukan pola yang memisahkan, melainkan serat yang mengikat berbagai cara manusia merespons dunia yang tak adil.
Benang itu adalah luka — kadang harus diteriakkan agar ia nyata;
kadang harus dibekukan agar ia tak terlupakan;
kadang harus dijauhkan agar ia kembali pada asalnya.
Meniti benang hitam bukan soal memilih satu jalan,
melainkan memahami bahwa di setiap kegelapan bergetar makna yang menuntut kesaksian —
entah lewat duka, amarah, atau janji kesederhanaan.
Maka hitam bukanlah tentang kematian,
melainkan keberanian untuk hidup tanpa kompromi.
Tulisan ini adalah sebuah esai reflektif yang menelusuri makna simbolik warna hitam dalam tiga ruang yang tampak jauh berbeda: tragedi Karbala, dunia musik metal, dan tradisi masyarakat adat Ammatoa Kajang. Dengan pendekatan puitis dan filosofis, penulis berusaha memperlihatkan bagaimana hitam tidak sekadar warna duka, tetapi juga suara perlawanan, amarah, dan kesetiaan pada kearifan.
Redaksi menerima tulisan ini dari seorang pembaca yang meminta untuk tidak disebutkan namanya. Tulisan telah disunting untuk kepentingan keterbacaan.
Dalam tiga dunia yang jauh — Karbala yang berdarah, Metal yang bising, dan Kajang yang sunyi — hitam muncul sebagai lambang yang serupa: penolakan terhadap kepalsuan, pemberontakan terhadap kuasa, dan kejujuran terhadap asal mula.
Di Karbala, hitam adalah duka yang dituliskan langit dan bumi.
Di Metal, hitam adalah amarah yang tak bisa disalurkan dengan doa.
Di Kajang, hitam adalah hidup yang tak butuh motif.
Tiga dunia, satu warna.
Satu tafsir:
Hitam sebagai jalan sunyi menuju makna — Perlawanan.
Karbala: Luka yang Tidak Selesai
Di Karbala, waktu tak bergerak.
Ia membeku bersama darah yang tumpah, bersama tubuh yang jatuh, bersama nama yang disayat sejarah.
Merah itu menjadi hitam — ingatan Asyura sebagai bekas luka yang terus dikenang oleh jiwa yang masih peduli pada makna kebenaran.
Hitam dalam tradisi Karbala bukan sekadar warna duka.
Ia adalah sejarah, yang dirawat oleh mereka yang menolak melupakan.
Hitam adalah cara untuk berkata:
“Kami masih mengingat. Kami masih berkabung. Kami belum selesai.”
Dalam memori Karbala, hitam adalah bentuk ziarah batin —
bukan sekadar berkabung, tapi berdiri di sisi Husain.
Husain bukan hanya cucu Nabi — ia adalah batas:
antara iman dan kekuasaan, antara kejujuran dan kompromi.
Di tengah Karbala, ia datang dan berdiri.
Yang ia lawan bukan hanya pedang,
tapi diamnya umat, dan sunyinya nurani.
Maka Karbala membekukan satu pelajaran:
Bahwa dalam dunia yang dipenuhi kompromi,
kadang kebenaran harus memilih mati dengan bermartabat,
daripada hidup dalam kebohongan.
Dan di situlah hitam membeku —
bukan karena dingin,
tapi karena tak ada lagi pelukan dunia yang sanggup mencairkannya.
Cannibal Corpse: Jeritan Tanpa Tuhan?
Dari kegelapan Black Sabbath, dari kemarahan Slayer, hingga ke kekacauan murni dalam lirik "Satan H*****n", dunia metal telah lama belajar bahwa tidak semua luka bisa diobati dengan doa.
Sebagian luka hanya bisa diteriakkan — dengan suara serak, parau, dan tak perlu dimengerti.
Dengan hentakan snare dan tendangan kick yang rapat, suara musik ini meledak tanpa rahmat.
Tidak ada belas kasih disini — hanya darah imajiner, tubuh yang dimutilasi metafora, dan teriakan yang tidak berharap didengar Tuhan.
Dalam budaya metal, Cannibal Corpse bukan satu-satunya suara keras — tapi mungkin yang paling brutal.
Mereka bukan sekadar memainkan musik cepat dan berat; mereka mengoyak batas, menjerit dari kedalaman yang tak lagi percaya pada pahala.
Mereka tidak menyanyikan syair untuk surga, tapi mengabarkan pesan dari neraka.
Cannibal Corpse bukan sekadar mimpi buruk, tapi anti-liturgi dari dunia yang tanpa pengampunan.
Mereka tidak menawarkan pelukan, tidak pula membawa pengharapan.
Cannibal Corpse hanya mengingatkan satu hal: bahwa di balik kulit dan iman, bersembunyi api purba yang terus menyala.
Jika Hitam Karbala adalah duka yang dijaga, maka Hitam Metal adalah luka yang menolak dibungkus dengan doa.
Raungan dawai berderit seperti rantai yang diseret di batu cadas — berat, kasar, tanpa sedikit pun rasa iba.
Setiap nada adalah amarah, setiap jeda adalah tarikan napas sebelum gemuruh berikutnya.
Kebisingan ini tak bisa dikurung dalam ruang suara.
Ia harus dibebaskan — dalam ritual kolektif, tempat tubuh bertubrukan, napas saling menindih, dan teriakan menjadi senjata.
Dari gigs kecil hingga panggung raksasa, para Metalhead menyatu dalam satu identitas, satu warna: Hitam.
Di tempat itu, mereka hadir dan berdiri — bukan sekadar untuk bergaya, tapi karena ada beban batin yang tak menemukan ruang dalam liturgi biasa.
Saat gempa blast beat mengguncang, tubuh-tubuh dibenturkan — tak mengenal ampun, tak mengharap pertolongan.
Dalam pusaran badai mosh pit, jiwa-jiwa mengamuk mencari makna, seolah menari di tengah kekosongan kosmik.
Di sana, kepala-kepala menunduk mengikuti irama kegaduhan — sebagai bentuk zikir yang tumbuh dari kegelapan.
Di dunia metal, hitam bukan sekadar brutalitas suara.
Baris-baris tentang kematian, kehampaan, dan tubuh yang hancur bukanlah glorifikasi kekerasan —
melainkan teriakan dari dunia yang kehilangan kesuciannya,
dari iblis yang menyamar dalam jubah para malaikat.
Ia bukan ratapan, tapi protes — yang mengeras di kepala.
Antara gain yang bising dan distorsi yang panas, jeritan memekik dari kejauhan — seolah dari tengah gurun yang gersang.
System of a Down tak menyanyikan pujian untuk Tuhan, tak mengancam dengan neraka.
Mereka menggugat cairan hitam yang disedot paksa dari urat nadi bumi.
Sebuah letusan — ledakan siksa di tengah ladang minyak.
Demi bahan bakar perang.
Dan di balik kekacauan ini, di akar dari semua kegelapan — Black Sabbath justru bertanya dari kedalaman:
Apakah Tuhan telah mati?
Pertanyaan itu menggema, bukan dari seminar atau khutbah, tapi dari distorsi yang merintih, dari amplifikasi luka paling sunyi.
Tapi apakah mereka benar-benar sedang menghujat?
Atau… justru sedang menjerit karena Tuhan tak lagi terasa?
Mungkin mereka tak tahu apa dan siapa Tuhan.
Tapi mereka percaya:
bahwa akhir akan datang dan pintu neraka terbuka lebar.
Ammatoa Kajang: Sunyi yang Hidup
Jauh di timur Sulawesi, di antara hutan dan hening: suara-suara alam mendominasi.
Dari desiran angin yang menerpa dedaunan, kicauan burung, hingga riuh bingar serangga.
Tak ada suara bising — hanya langkah perlahan menapak di atas daun-daun kering.
Pohon-pohon menjulang tinggi, membentuk batas antara dunia yang profan dan yang sakral.
Tidak semua hitam butuh suara.
Di Sulawesi Selatan, ada hitam yang diam — dan karena diam, ia bertahan.
Di Ammatoa Kajang, hitam hadir bukan sekedar warna pakaian.
Ia adalah pernyataan, sumpah yang tidak diucapkan dengan kata.
Hitam di sini bukan tanda duka, melainkan wujud kesetiaan pada Pasang — hukum leluhur yang menjaga harmoni antara manusia dan alam, termasuk roh-roh yang mendiami keduanya.
Bagi masyarakat Kajang, hitam adalah pengingat untuk hidup tak berlebih, tak bermegah, tak serakah: kamase-mase — kesederhanaan.
Setiap helai kainnya memuat janji untuk hidup tidak sembarangan — tidak merusak tanah tempat berpijak, tidak menebang pohon tanpa alasan.
Ia adalah benteng yang melindungi hening dari bising dunia luar.
Hitam adalah awal.
Ia mendahului segala warna — malam sebelum siang, rahim sebelum mata terbuka.
Hitam adalah tempat manusia bermula:
bahwa kehidupan lahir dari kegelapan yang hening, bukan dari gemerlap terang.
Ia adalah pelindung dari bias cahaya yang menipu.
Dalam balutan warna yang sama, hitam menjadi simbol kesetaraan yang menghapus jarak antara tinggi dan rendah, kaya dan miskin.
Tak ada aksara, tak ada definisi tertulis — hanya hidup yang selaras dengan Pasang ri Kajang.
Dengan hitam, mereka berdiri dalam satu sikap, bergerak dengan satu kehendak.
Satu tubuh, satu perbuatan — A’bulo Sibatang.
Meniti Benang Hitam
Karbala, Cannibal Corpse, Ammatoa Kajang.
Tiga simpul kain dari benang yang sama — benang hitam yang ditenun oleh manusia.
Ia bukan pola yang memisahkan, melainkan serat yang mengikat berbagai cara manusia merespons dunia yang tak adil.
Benang itu adalah luka — kadang harus diteriakkan agar ia nyata;
kadang harus dibekukan agar ia tak terlupakan;
kadang harus dijauhkan agar ia kembali pada asalnya.
Meniti benang hitam bukan soal memilih satu jalan,
melainkan memahami bahwa di setiap kegelapan bergetar makna yang menuntut kesaksian —
entah lewat duka, amarah, atau janji kesederhanaan.
Maka hitam bukanlah tentang kematian,
melainkan keberanian untuk hidup tanpa kompromi.
Tulisan ini adalah sebuah esai reflektif yang menelusuri makna simbolik warna hitam dalam tiga ruang yang tampak jauh berbeda: tragedi Karbala, dunia musik metal, dan tradisi masyarakat adat Ammatoa Kajang. Dengan pendekatan puitis dan filosofis, penulis berusaha memperlihatkan bagaimana hitam tidak sekadar warna duka, tetapi juga suara perlawanan, amarah, dan kesetiaan pada kearifan.
Redaksi menerima tulisan ini dari seorang pembaca yang meminta untuk tidak disebutkan namanya. Tulisan telah disunting untuk kepentingan keterbacaan.
(mhj)
Berita Terkait

News
Kemerdekaan Adalah Misi Kenabian
Abdillah Mustari, selaku Dosen di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar menyajikan opini mengenai kemerdekaan adalah misi kenabian.
Minggu, 17 Agu 2025 17:34

News
In Memoriam Azwar Hasan, Akademisi Yang Tidak Biasa
Dosen Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar, Syarifuddin Jurdi menulis catatan singkat untuk mengenang almarhum Aswar Hasan.
Jum'at, 15 Agu 2025 17:23

News
Silfester Matutina dan (RUU) KUHAP Kita
Di awal tulisan ini, sengaja saya mengutip konten dari hasil orasi Silfester Matutina pada 15 Mei 2017 di depan Gedung Baharkam Mabes Polri di Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Selasa, 12 Agu 2025 14:57

News
Korupsi, Amnesti, dan Abolisi
Pertanyaan yang selanjutnya menyisakan ketidaktuntasan dari pelaksanaan “hak proregatif” Presiden tersebut, mengapa Tom Lembong diberikan abolisi, sementara Hasto diberikan amnesti?
Senin, 04 Agu 2025 19:16

News
In Memoriam Ismail Masse: Pelembagaan Demokrasi dan Integritas Penyelenggara Pemilu
Tulisan ini merupakan catatan singkat milik Syarifuddin Jurdi yang mengenang Ismail Masse, mantan Kabag SDM KPU Sulsel yang baru saja meninggal dunia.
Senin, 04 Agu 2025 14:07
Berita Terbaru
Artikel Terpopuler
Topik Terpopuler
Artikel Terpopuler
Topik Terpopuler