Jerat Pidana Penculik Anak, Bilqis

Senin, 17 Nov 2025 11:51
Jerat Pidana Penculik Anak, Bilqis
Prof Amir Ilyas. Foto: Dokumentasi pribadi
Comment
Share
Oleh: Prof Amir Ilyas
Guru Besar Ilmu Hukum Unhas

Bilqis, anak dari pasangan orang tua Fifi Syahrir dan Dwi Nur Mas alias Dimas yang tiba-tiba menghilang di taman Pakui Sayang, Makassar, saat ayahnya sedang bermain tenis. Lalu lima hari kemudian terkuak, sudah berada dalam penguasaan suku anak dalam, ribuan kilometer, antara Makassar – Jambi.

Usut punya usut setelah pendalaman CCTV di tempat kejadian perkara. Bilqis diculik oleh seorang perempuan berinisial SY (30). SY memanfaatkan dua anak kandungnya terlebih dahulu, bermain-main bersama dengan Bilqis, lalu kemudian Bilqis digandeng tangan oleh SY bersama dengan kedua anak kandungnya. CCTV menampakan SY kala itu berambut alami, tidak pirang sebagaimana setelah diidentifikasi di kediamannya oleh personal polrestabes Makassar.

Bilqis diculik oleh SY bukan untuk diadopsi. Tetapi SY menjualnya ke warga Sukoharjo berinisial NH (29) dengan harga Rp.3 Juta. Lalu NH menjual korban ke MA (42), warga Desa Pematang Kandis Kecamatan Bangko, Merangin, Jambi dengan harga Rp.30 Juta. Bilqis kemudian dijual lagi kepada AS (30) seharga Rp.80 Juta. Penyerahan korban dari MA kepada AS melibatkan perantara bernama LI, hingga akhirnya si korban diserahkan kepada Begendang, salah satu anggota dari komunitas masyarakat adat Orang Rimba, di Pedalaman Jambi.

Empat pelaku dalam penculikan anak (Bilqis), SY, NH, MA, AS. Tidak ada peredebatan serius untuk ditingkatkan kasusnya ke tingkat penyidikan dengan menggunakan ancaman pidana Pasal 76F Juncto Pasal 83 UU Perlindungan Anak (UUPA) dan Pasal 2 Juncto Pasal 17 UU Tindak Pidana Perdangan Orang (UU TPPO). Berbeda dengan Begendang (Orang Rimba, Jambi) yang dalam beberapa pemberitaan telah menyebutkan, ia disesatkan oleh MA, kalau anak (Bilqis) tidak mampu lagi dirawat oleh orang tuanya, sehingga ia membujuk Begendang agar mau mengadopsi si korban, tetapi dengan catatan harus membayar Rp80 Juta.

Antara Pasal 76F Juncto Pasal 83 UU Perlindungan Anak dan Pasal 2 Juncto Pasal 17 UU Tindak Pidana Perdangan Orang dalam perkara Bilqis. Di situlah berlaku asas dalam hukum pidana “lex specialist sistematis,” jika ada dua ketentuan yang sama-sama khusus dapat digunakan, maka digunakan yang paling khusus dan mencolok untuk sebuah peristiwa pidana.

Dalam kasus ini, UUPA merupakan undang-undang yang paling khusus, jika dibandingkan dengan UU TPPO yang tidak mengatur mengenai perdagangan orang terhadap anak saja, tetapi juga termasuk perdagangan untuk orang dewasa (in qasu korban kerap dipekerjakan sebagai TKI ilegal, pelacuran, dsb).

Bahkan kalau diperhatikan bunyi dari Pasal 76F (UU No. 35/2014), kriminalisasinya bukan hanya pada perbuatan penculikan, tetapi termasuk pada tindakan dari membeli, menjual, hingga memerdagangkan: “Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan Anak.”

UUPA pun sudah menerapkan ancaman pidana penjara yang sama dengan tindak pidana perdagangan orang dalam UU TPPO (3 – 15 tahun). Hal yang membedakannya, dalam UU TPPO terdapat pemberatan ancaman pidana penjara 1/3 dari pidana pokok, jika korbannya adalah anak (Pasal 17 UU TPPO).

Mungkin saja, kurang disadari oleh penegak hukum, bahwa Pasal 76F UU Perlindungan Anak, bahkan sudah dikonstruksi sebagai delik penyertaan mutlak (noodzakelijk delneming). Dalam ketentuan tersebut sudah diletakkan pula unsur “menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan” sehingga tanpa menggunakan Pasal 55 KUHP, Pasal 76F sudah paripurna memperluas pertanggungjawaban pelaku dalam konteks penyertaan.

Terakhir, khusus masyarakat adat rimba, Merangin. Perlu sikap “kehati-hatian” untuk membawa pada dapat tidaknya dibebani pertangungjawaban pidana. Hemat saya, pihak kepolisian, penyidik jangan terpaku pada stigma “mengadopsi untuk memperbaiki keturunan.” Akan tetapi pendalaman “niat jahat” dan “perbuatan jahat” harus di cross check soal kesepakatan antara MA dengan Begendang, saat dan sebelum Bilqis diserahkan kepada Begendang. Apakah dalam kesepakatan itu terjadi penyesatan oleh MA kepada Begendang…? Seperti Bilqis sebagai anak yang tidak mampu dirawat orang tuanya, berikut adanya surat bermaterai palsu berisi kerelaan orang tua Bilqis menyerahkan anaknya. Fakta-fakta ini harus diungkap sebagai cara si pelaku memanfaatkan kekurangan pengetahuan warga dari komunitas adat rimba, adopsi ilegal tanpa putusan pengadilan. Bukan asas tentang “semua orang dianggap tahu hukum - Ignorantia Juris non Excusat,” yang harus didahulukan, tetapi dalam kesesatan tidak berlaku hukum – fetelijke dwaling.

Pengakuan SY bukan kali ini saja melakukan praktik perdagangan anak serupa, bahkan ada tiga anak kandungnya sudah juga ia jual dengan dalil adopsi. Juga pengakuan MA sudah sembilan kali melakukan jual-beli anak.

Demikian telah menjadi bukti nyata, kasus Bilqis hanyalah sebuah keberuntungan, ia masih bisa kembali bersua dengan ayah-ibunya. Kasus lain, seperti Kenzie dan Alvaro, orang tuanya kini terus dalam penantian, tiada semangat hidup lagi, mereka memikirkan terus anaknya, serasa hendak mati, tapi nyawa mereka, pun enggan terputus.

Disclaimer: Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak mencerminkan sikap redaksi
(MAN)
Berita Terkait
Berita Terbaru