Prevalensi Stunting Maros Turun 12 Persen, Tertinggi di Sulsel

Senin, 11 Agu 2025 16:53
Prevalensi Stunting Maros Turun 12 Persen, Tertinggi di Sulsel
Bupati Maros, AS Chaidir Syam bersama jajarannya memaparkan capaian penurunan stunting yang berhasil menyentuh angka 12 persen. Foto: SINDO Makassar/Najmi S Limonu
Comment
Share
MAROS - Angka stunting di Kabupaten Maros menurun signifikan. Bahkan penurunannya mencapai 12 persen hanya dalam satu tahun.

Pada 2023, prevalensi stunting sempat menyentuh 34,7 persen, dengan 3.876 kasus dari jumlah 30 ribu anak. Per 2024, prevalensinya turun menjadi 22,4 persen atau tersisa 3.700 dari jumlah 29.201 anak.

Penurunan sekitar 12 persen ini disampaikan Bupati Maros, AS Chaidir Syam dalam korferensi pers di Korpri Lounge, Senin (11/8/2025).

"Ini capaian yang luar biasa karena penurunan tertinggi di Sulawesi Selatan," tuturnya.

Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), angka stunting di Maros lebih rendah dari rata-rata provinsi, yakni 23,3 persen. Namun masih lebih tinggi dari rata-rata nasional yakni 19,8 persen.

Dia menjelaskan, jumlah kasus tertinggi berada di Kecamatan Tanralili, 530 kasus, Turikale 529 dan Bontoa 493 kasus. Terendah di Kecamatan Simbang dan Mallawa 55 kasus dan Camba 77 kasus.

Sementara itu, Wakil Bupati Maros, Muetazim Mansyur menyebutkan tidak ada target angka pasti untuk penurunan stunting tahun ini.

"Namun, upaya penekanan terus dilakukan agar kasus stunting tidak tinggi," katanya.

Dia menilai tantangan utama masih terletak pada kesadaran masyarakat.Masih banyak keluarga abai terhadap pola hidup sehat. Lingkungan tidak terjaga, sanitasi buruk, serta jarang memeriksa tumbuh kembang anak ke posyandu.

"ASI juga kadang tidak diberikan secara penuh selama enam bulan. Ini sangat berpengaruh," jelasnya.

Kurangnya asupan gizi selama kehamilan dan menyusui ikut memperparah situasi. Hal-hal seperti inilah yang menurut Muetazim menjadi perhatian pemerintah, agar bisa berubah.

Tahun ini, Pemkab Maros menggelontorkan Rp60 miliar, atau sekitar 3 persen dari APBD untuk percepatan penurunan stunting tahun ini. Anggaran tersebar ke sepuluh OPD.

Paling besar dialokasikan ke Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum (PU), dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A). Untuk Dinas PU digunakan untuk penanggunalangan sarana air minum dan sanitasi.

Dinas Kesehatan digunakan untuk pemberian makanan tambahan dan standarisasi alat antropometri dan jaminan kesehatan (UHC).

DP3A digunakan untuk pelayanan KB dan pendistribusian Alokon, pengutan kader pendampingan keluarga, pelaksanaan dapur sehat atasi stunting dan masih banyak lagi.

Dia mengatakan, penanganan dilakukan dari hulu hingga hilir. Edukasi gizi dan kesehatan dimulai sejak masa pranikah.

"Jangan tunggu anak lahir baru belajar soal gizi. Kita tekankan pentingnya perencanaan dari awal," tambahnya.

Plt Kepala DP3A Maros, A Zulkifli Riswan Akbar, menambahkan tanda-tanda stunting perlu dikenali sejak dini. Antara lain tinggi badan tidak sesuai usia, berat badan stagnan, perkembangan lambat, hingga wajah terlihat lebih muda dari umur sebenarnya.

"Sering sakit juga jadi ciri umum karena imunitas lemah," katanya.

Penyebabnya beragam, mulai dari gizi buruk, ibu hamil tidak kontrol rutin, sampai lingkungan tidak sehat.

Saat ini, tantangan terbesar adalah penanganan stunting disertai penyakit penyerta.

"Perubahan pola makan juga jadi kendala. Banyak yang lebih memilih makanan instan daripada pangan lokal,” ujarnya.

Sanitasi buruk dan kebiasaan merokok di rumah turut memperburuk situasi.

Sekda Maros, Andi Davied Syamsuddin mengatakan dari 3.700 kasus stunting, 2.726 atau 74 persen diantaranya akibat kebiasaan merokok di rumah.

"Jadi ibu hamil bapaknya merokok, anaknya lahir, bapaknya pun masih merokok," sebutnya.

Kepala Dinas Kesehatan Maros, Muhammad Yunus menyebut, stunting perlu dicegah sejak dini. Makanya pihaknya menyasar remaja, mereka diberi tablet penambah darah.

Kamudian mencegah pernikahan dini, sebab rentan menghasilkan anak stunting.

"Pernikahan dini juga rentan, karena kandungan belum siap sehingga bisa melahirkan anak stunting," terangnya.

Selanjutnya, penanganan stunting dilakukan pada balita dengan penimbangan rutin di Posyandu tiap sebulan sekali.
(MAN)
Berita Terkait
Berita Terbaru