Puncak HJW-624, Ketua DPRD Bacakan Sejarah Singkat Hari Jadi Wajo

Reza Pahlevi
Jum'at, 05 Mei 2023 18:34
Puncak HJW-624, Ketua DPRD Bacakan Sejarah Singkat Hari Jadi Wajo
Ketua DPRD Wajo, Andi Muhammad Alauddin Palaguna membacakan sejarah Hari Jadi Wajo pada puncak peringatan HJW ke 624, Kamis (4/5/2023). Foto: SINDO Makassar/Reza Pahlevi
Comment
Share
WAJO - Ketua DPRD Wajo, Andi Muhammad Alauddin Palaguna mendapat kepercayaan membacakan sejarah singkat Hari Jadi Wajo pada puncak peringatan Hari Jadi Wajo (HJW) ke-624 di Lapangan Merdeka Sengkang, Kamis (4/5/2023).

Dalam naskah yang dibacakan Andi Alauddin, penetapan Hari Jadi Wajo dimaksud untuk membangun kecintaan dan kebanggaan terhadap Wajo. Sebagai orang yang hidup dan berpijak di atas tanah Wajo atau terikat secara emosional dengan tanah Wajo, tiap orang harus memahami proses penetapan Hari Jadi Wajo.

Dalam proses penetapannya, Bupati Wajo ke Vlll, Drs Dachlan Maulana merupakan orang pertama yang menggagas Penetapan Hari Jadi Wajo.

Untuk mewujudkan gagasan itu, maka ditempuhlah beberapa tahapan yakni sosialisasi dan dukungan ide mengenai penetapan Hari Jadi Wajo dikomunikasikan secara informal dengan berbagai lapisan masyarakat Wajo.



Tahapan pengkajian akademik yakni telaah kepustakaan yang dilanjutkan dengan pelaksanaan seminar untuk menemukan Hari Jadi Wajo. Tahapan legalitas formal, yaitu penetapan hasil seminar yang selanjutnya diajukan kepada DPRD Wajo, untuk ditetapkan menjadi peraturan daerah.

Gagasan tentang penetapan Hari Jadi Wajo tersebut dikomunikasikan dengan berbagai pihak untuk menjelaskan maksud dan tujuan penetapan, sekaligus meminta tanggapan masyarakat.

"Ternyata gagasan tersebut mendapatkan respons yang positif dan hampir seluruh elemen masyarakat memberikan dukungan," jelasnya.

Pada tanggal 23 Januari 1995, diadakanlah seminar di Ruang Batara Kantor Bupati Wajo, yang dihadiri kurang lebih 300 orang peserta, terdiri atas budayawan, cendekiawan, pengusaha, tokoh agama dan generasi muda.



Dalam seminar tersebut, ada dua hal yang menjadi pembahasan, pertama adalah tahun kelahiran Wajo dan tanggal Hari Jadi Wajo. Dalam seminar itu diajukan beberapa peristiwa yang dapat dijadikan sebagai dasar penentuan tahun kelahiran Wajo, yakni masa Puang'e Rilampulungeng, masa Puang'e Ritimpengen, masa Kerajaan Cinnongtabi, masa Negeri Boli, masa Batara Wajo, masa ke Arung Matoa-an dan Masa Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Dari ke tujuh peristiwa tersebut, pelantikan La Tenribali sebagai Batara Wajo pertama disepakati sebagai tahun lahirnya Wajo. Meskipun tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan tahun terjadinya pelantikan itu, namun dengan penghitungan mundur dari Masa pemerintahan La Sangkuru Patau Mulajaji Sultan Abdul Rahman, Arung Matowa Wajo ke XII pada tahun 1607-1610, ditemukan angka 1399," paparnya.

Pembahasan kedua adalah menentukan tanggal Hari Jadi Wajo, untuk itu dikemukakan beberapa pilihan petistiwa, yakni, pertama ketika armada Lamaddukkelleng dapat mengalahkan armada Belanda di perairan Pulau Barrang Lompo dan Kodingareng, yaitu pada tanggal 18 Maret.

Kedua peristiwa La Maddukkelleng dapat memukul mundur pasukan gabungan Belanda dan sekutu- sekutunya dari Lagosi, yaitu pada tanggal 29 Maret. Ketiga peristiwa Lasangkuru Patau Mulajaji bergelar Sultan Abdul Rahman Arung Matoa Wajo XII, Menerima Agama Islam sebagai Agama Kerajaan, yaitu pada tanggal 16 Mei.



Keempat peristiwa Andi Ninnong Ranreng Tuwa Wajo, menyatakan bahwa rakyat Wajo berdiri di belakang Negara Kesatuan Indonesia, di hadapan Dr. Sam Ratulangi dan Lanto Dg. Pasewang di Sengkang pada tahun 1945, yaitu pada awal bulan September 1945.

"Dari beberapa pilihan tersebut, disepakati tanggal 29 Maret sebagai tanggal Hari Jadi Wajo, karena kegigihan dan semangat juang La Maddukkelleng beserta rakyat Wajo yang berhasil mengusir Penjajah Belanda dari Tanah Wajo. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1741," katanya.

Dengan demikian, disepakatilah Hari Jadi Wajo jatuh pada 29 Maret 1399. Keputusan seminar itulah yang menjadi materi pokok dalam Rancangan Peraturan Daerah yang diajukan kepada DPRD, untuk dibahas dan ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat Il Wajo Nomor 12 Tahun 1995, Tanggal 17 Juli 1995 tentang Peringatan Hari Jadi Wajo.

Nama Wajo sendiri muncul untuk pertama kalinya ketika rakyat Boli mengucapkan kata-kata yang berbunyi ”Ma'bajo-Wajo Macekke'mi Riawana Wajo” yang artinya: Kami (rakyat) bernaung dan berteduh di bawah kesejukan bayangbayang pohon Bajo.



Dari situ, La Tenribali bersama tiga orang Pa'danreng sepakat untuk mengganti nama Boli menjadi Wajo dan pusat kerajaan kemudian dinamakan Wajo-wajo atau Watampajo. Sejak itulah, Wajo tumbuh menjadi salah satu kerajaan yang besar di Semenanjung Sulawesi Selatan.

Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Wajo pada masanya bisa dicapai karena adanya kepatuhan dan ketaatan Raja dan rakyatnya terhadap Pangadereng, yaitu Ade yang disepakati oleh pemimpin dan rakyat. Hal itu dengan tegas tercantum dalam Lambang Kabupaten Wajo yang berbunyi:

"Maradeka To Wajoe na Jajian Alena Maradeka, Tanae ml Ata, na Iyya to Makketanae Maradeka Maneng, Ade' Assama Turusenna ml Napopuang".

Artinya, orang-orang Wajo adalah orang merdeka, merdeka sejak dilahirkan, hanya negeri mereka yang abdi, sedangkan seluruh pemilik negeri (yaitu rakyat) merdeka. Hanya hukum adat yang disetujui bersamalah yang dipertuankan.



Olehnya itu, di HJW-624 ini, mewakili DPRD Kabupaten Wajo ia berharap agar Kabupaten Wajo dapat tumbuh berkembang.

"Selamat Hari Jadi Wajo ke 624 kepada seluruh masyarakat Kabupaten Wajo di manapun berada. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kemudahan, bimbingan dan petunjuk-Nya kepada kita semua guna mewujudkan pemerintah amanah, menuju Wajo maju dan sejahtera," pungkasnya.
(MAN)
Berita Terkait
Berita Terbaru