Industri Ekspor Tertekan Tarif AS, Ekonomi Domestik Harus Diperkuat

Rabu, 21 Mei 2025 10:37
Industri Ekspor Tertekan Tarif AS, Ekonomi Domestik Harus Diperkuat
Suasana diskusi publik bertajuk Gempuran Tarif AS: Ekonomi Indonesia di Ujung Tanduk? Dialog Kritis Mencari Solusi yang digelar di El Hotel Bandung, Selasa (20/5) kemarin. Foto/Istimewa
Comment
Share
BANDUNG - Industri ekspor Indonesia kembali menghadapi tekanan besar akibat tarif tinggi dari Amerika Serikat (AS). Jawa Barat, sebagai pusat manufaktur dan ekspor nasional, menjadi salah satu daerah yang paling terdampak.

Dalam diskusi publik bertajuk Gempuran Tarif AS: Ekonomi Indonesia di Ujung Tanduk? Dialog Kritis Mencari Solusi yang digelar Suara.com dan CORE Indonesia di El Hotel Bandung, Selasa (20/5), ekonom, pelaku industri, dan pemangku kebijakan mengungkapkan ancaman serta peluang yang ada, sambil mendesak solusi konkret dari tingkat daerah hingga nasional.

Pemimpin Redaksi Suara.com, Suwarjono, menyebutkan bahwa tekanan ekonomi sudah terasa sejak awal tahun. “Kita menghadapi perlambatan ekonomi yang nyata. Bandung dipilih karena menjadi salah satu sentra ekspor nasional—dari tekstil, alas kaki, hingga furnitur—yang kini sedang tertekan. Ini momentum penting untuk mencari solusi dari daerah sebagai rujukan kebijakan nasional,” ujarnya.

Berdasarkan data BPS, pada Januari 2025, ekspor nonmigas Jawa Barat ke Amerika Serikat tercatat USD 499,53 juta atau 16,62% dari total ekspor nonmigas provinsi. Sementara itu, ekspor dari Bandung pada Maret 2025 mencapai USD 7,7 juta.

Namun, Bandung juga menghadapi gelombang PHK massal, terutama di industri tekstil dan produk tekstil (TPT), akibat penurunan pesanan dan meningkatnya persaingan dengan produk impor. Kebijakan tarif baru dari AS dikhawatirkan akan memperburuk kondisi ini, sementara arus produk impor terus meningkat, memberikan tekanan ganda pada industri domestik.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, mengungkapkan bahwa Indonesia menghadapi risiko serius akibat perang dagang AS-Tiongkok, dengan penurunan ekspor China ke AS sebesar 10,5% pada 2025, sementara ekspor ke ASEAN meningkat hingga 19,1%.

Faisal juga menyebutkan potensi impor ilegal dari Tiongkok mencapai 4,1 miliar USD, dengan kerugian negara sekitar Rp 65,4 triliun, yang diperburuk oleh perlambatan ekonomi global dan tekanan pada nilai tukar Rupiah.

Prof Rina Indiastuti dari Universitas Padjadjaran mengungkapkan dampak signifikan kebijakan tarif AS terhadap industri di Jawa Barat, khususnya sektor tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki, yang telah mengalami kerugian dan PHK.

Merespons hal tersebut, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Jawa Barat, Ning Wahyu Astutik, menyatakan bahwa pelaku usaha menghadapi tekanan berlapis.

“Kami para pengusaha merasa resah, bukan hanya karena perang dagang AS–China, tapi juga berbagai hambatan lain, mulai dari ketidakpastian usaha dan hukum, maraknya impor barang legal maupun ilegal, hingga regulasi yang tidak sinkron,” ujarnya.

Ning juga menjelaskan permasalahan perizinan yang sering tidak transparan dan berlarut-larut, serta masalah tenaga kerja yang dipolitisasi. “Kami juga menghadapi pungutan liar dan premanisme yang meresahkan. Biaya-biaya tak resmi membuat usaha kami tidak kompetitif,” tambahnya.

Namun, Prof. Rina mengidentifikasi peluang dari pergeseran rantai pasok global, seperti relokasi pabrik otomotif ke Jawa Barat. “Jawa Barat memiliki basis manufaktur yang kuat, seperti sektor otomotif, elektronik, tekstil, dan lainnya. Ini modal baik untuk pengembangan kapasitas inovasi daerah,” ungkapnya.

Tantangan ini mendorong pentingnya strategi pengendalian impor dan peningkatan komponen lokal. Faisal menekankan bahwa pengendalian impor bukan hanya langkah proteksionisme, tetapi juga upaya menjaga kedaulatan pasar domestik. Sektor seperti kosmetik, baja, dan semen telah menunjukkan hasil positif setelah verifikasi impor diterapkan.

Strategi peningkatan komponen lokal pun telah terbukti sukses, seperti dalam industri elektronik yang berhasil meningkatkan produksi Handphone, Komputer, dan Tablet secara signifikan. Skema TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) menjadi kunci untuk mendorong investasi dan memperkuat fondasi ekonomi.

Mohammad Faisal menegaskan bahwa penguatan ekonomi domestik kini bukan lagi pilihan, tetapi sebuah kewajiban. “Di tengah ketidakpastian ekonomi global, penguatan ekonomi domestik bukan lagi pilihan tetapi keharusan,” tutupnya.
(TRI)
Berita Terkait
Berita Terbaru