Cahaya Ramadan: Religiusitas atau Komodifikasi?

Kamis, 06 Mar 2025 06:05
Cahaya Ramadan: Religiusitas atau Komodifikasi?
Dr Hamdan eSA, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Al-Asyariah Mandar. Foto: Istimewa
Comment
Share
Dr Hamdan eSA
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Al-Asyariah Mandar

SUATU malam di bulan Ramadan, Ibu Aisyah melirik jam dinding di ruang tamu. Jarum pendek hampir menyentuh angka delapan, pertanda salat tarawih sudah dimulai di masjid dekat rumah. Namun, dari ruang tengah, suara televisi masih terdengar nyaring. Di layar, seorang ustaz kondang sedang berbicara penuh semangat tentang keutamaan salat malam.

Ibu Aisyah menoleh ke arah anaknya, Fadli, yang duduk bersila di lantai dengan tatapan fokus ke layar. “Nak, sudah tarawih”? Tanyanya dengan basa-basi lembut.

Fadli, tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi, menjawab, “Nanti, Bu. Habis acara ini, ya. Ustaz favoritku lagi bicara tentang pahala salat malam”.

Ibu Aisyah menghela napas. Ia ingin menegur, tapi ragu. Bukankah anaknya sedang menyimak ceramah agama? Bukankah ini lebih baik daripada sekadar bermain game atau menonton acara tak bermanfaat? Tapi hatinya tetap gelisah.

Beberapa menit berlalu. Acara belum selesai. Tayangan beralih ke sesi iklan yang menampilkan paket umrah spesial Ramadan, promo makanan berbuka, dan busana muslim terbaru. Fadli masih terpaku di tempatnya, tak beranjak.

Di masjid, jamaah sedang khusyuk menunaikan rakaat keempat. Sementara di rumah, Fadli masih duduk di depan layar, menyimak sesi tanya jawab dengan ustaz. “Nanti setelah ini aku salat,” gumamnya.

Tapi setelah sesi tanya jawab, program lain dimulai —drama religi spesial Ramadan yang dibintangi aktor kesukaannya. “Sebentar lagi, Bu. Ini juga tentang perjuangan seorang pemuda dalam mencari jalan hidayah,” katanya ketika ibunya kembali menegurnya.

Ibu Aisyah hanya bisa menggeleng. Ironis, pikirnya. Media mengajarkan agama, tapi justru membuat orang menunda ibadah. Program televisi dan media digital saat Ramadan dipenuhi acara berlabel “religi” yang sering kali lebih berorientasi pada rating dan keuntungan, bukan pada nilai-nilai spiritualitas sejati.

***

Ada paradox dalam hiburan Ramadan pada anekdot di atas. Industri hiburan Ramadan yang mengalir melalui kanal media, dalam satu sisi memberikan ajaran agama kepada khalayak, namun dalam waktu yang sama juga menghalang untuk beribadah. Mengajak namun menghalang.

Demikianlah, di hadapan industri hiburan, segalanya menjadi sama rata. Agama? Ya, agama adalah hiburan. Agama dikemas dan dihadirkan kembali (representasi) menjadi hal yang dapat menghibur di ruang khalayak melalui berbagai media.

Jika seseorang merasa terhibur dengan tayangan ibadah, maka ia akan menonton tayangan beribadah dengan duduk manis, berbaring, atau bersandar di sofa sambil ngemil serta menyeruput minuman favorit, dan mungkin sambil bercengkrama dengan pasangan. Tetapi dia sendiri belum atau tidak beribadah sama sekali.

Dalam konteks industri hiburan Ramadhan —meminjam istilah Baudrillard, banyak acara yang menayangkan atau menyuguhkan narasi keislaman tetapi lebih sebagai “simulasi spiritualitas” daripada pengalaman religius yang otentik.

Program televisi, sinetron religi, dan iklan-iklan bertema Ramadan, sesungguhnya tidak lagi tentang ibadah itu sendiri, tetapi lebih tentang menampilkan citra religius untuk kepentingan komersial. Praktik keagamaan tidak lebih dari sekedar estetika dan konsumsi media.

Fadli dalam anekdot di atas, tidak hanya sekedar menonton dan menunda ibadah. Di sana, kata Foucault, dalam alir kanal industri hiburan itu, ada mekanisme kontrol dari kapitalisme media. Hiburan bertema Ramadhan sering kali membentuk norma religius yang terstandarisasi oleh pihaknya sendiri, misalnya bagaimana seorang Muslim seharusnya berperilaku selama bulan suci.

Industri hiburan Ramadan menjadi alat disiplin budaya, yang mengatur bagaimana masyarakat memahami religiusitas, bukan berdasarkan pengalaman spiritual yang personal, tetapi melalui narasi yang dikendalikan oleh media dan pasar.

Dalam kacamata Fredric Jameson, industri hiburan Ramadan adalah contoh dari bagaimana agama dikomodifikasi: nilai religi diolah menjadi nilai tukar. Acara TV, iklan, dan musik religi tidak lagi sekadar sarana dakwah, tetapi juga produk yang dijual untuk kepentingan ekonomi.

Fadli bukan sekedar peristiwa menonton ustaz favoritnya di ruang tengah. Tetapi juga tentang ruang besar industri hiburan Ramadhan sebagai bagian dari simulasi, kontrol budaya, dan komodifikasi agama. Eksistensinya bukan hanya tentang refleksi nilai-nilai spiritual, tetapi juga tentang bagaimana kapitalisme dan media menggiring dan mengkonstruk pengalaman religius dalam masyarakat modern.

Ramadan dan industri hiburan memiliki hubungan yang kompleks, di mana nilai-nilai spiritual bertemu dengan kepentingan ekonomi dan budaya populer. Di satu sisi, Ramadan adalah bulan yang diidentikkan dengan peningkatan ibadah, introspeksi, kesederhanaan, keberkahan, dan hikmah. Namun, di sisi lain, industri hiburan melihatnya sebagai peluang emas untuk menarik audiens yang lebih besar dan meningkatkan konsumsi media serta produk komersial.

Ramadan adalah momentum terbaik untuk memproduksi dan mengkonsumsi hiburan. Selama bulan Ramadan, pola aktivitas masyarakat berubah. Orang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, terutama pada malam hari setelah berbuka. Televisi, media sosial, dan platform streaming memanfaatkan momen ini dengan menghadirkan konten spesial Ramadhan, mulai dari sinetron religi, talk show islami, hingga komedi sahur. Tayangan ini sering kali menggabungkan unsur spiritualitas dengan hiburan ringan agar tetap menarik bagi penonton dari berbagai latar belakang.

Banyak program hiburan tayang di jam-jam krusial seperti menjelang berbuka, setelah tarawih, atau bahkan saat sahur. Tayangan ini sering kali lebih menarik daripada kegiatan ibadah, sehingga banyak orang lebih memilih memplototi tayangan itu daripada mengikuti kajian, berzikir, atau tadarrus.

Solusi yang dapat ditawarkan adalah membangun kesadaran kritis dalam mengonsumsi tayangan media selama Ramadan. Literasi bermedia semakin urgen. Masyarakat muslim perlu memahami bahwa menonton ceramah atau program religi bukanlah pengganti ibadah yang sebenarnya.

Ada beberapa langkah yang bisa diterapkan: Pertama, menetapkan prioritas. Jika media digunakan sebagai sarana belajar agama, maka harus ada batasan waktu yang jelas. Misalnya, menonton ceramah bisa dilakukan sebelum atau setelah ibadah utama seperti tarawih dan tadarrus, bukan menggantikannya.

Kedua, menerapkan disiplin dalam memanfaatkan teknologi. Penggunaan alarm pengingat waktu shalat atau aplikasi jadwal ibadah bisa membantu agar seseorang tidak larut dalam tontonan hingga melewatkan ibadah utama.

Ketiga, orang tua dan tokoh masyarakat perlu berperan dalam mengedukasi anak-anak dan keluarga tentang pentingnya keseimbangan antara belajar agama dari media dan menjalankan ibadah secara langsung.

Keempat, mendorong media untuk lebih bertanggung jawab. Stasiun televisi dan platform digital bisa menyesuaikan jadwal tayangan mereka agar tidak bertabrakan dengan waktu-waktu ibadah utama atau menampilkan pengingat untuk salat di sela-sela program.

Intinya, media seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengalih perhatian dari praktik spiritual yang lebih esensial dalam Ramadan.

Suatu ketika, seseorang bertanya kepadaku, “mengapa di jaman Nabi belum ada media secanggih saat ini”? Aku tersentak, blank sejenak. Tapi aku berusaha menjawab dengan cepat; “agar Nabi tidak menjadi selebriti dan bintang iklan dalam industri hiburan”.

Wallahu A’lam.
(GUS)
Berita Terkait
Berita Terbaru