Sengketa Yayasan Atma Jaya, AHU Siap Support Data ke APH
Selasa, 22 Apr 2025 15:28

Kanwil Kemenkum Sulsel siap memberi support kepada Aparat Penegak Hukum (APH), sekaitan dengan kisruh Yayasan Atma Jaya. Foto: Istimewa
MAKASSAR - Kanwil Kemenkum Sulsel siap memberi support kepada Aparat Penegak Hukum (APH), sekaitan dengan kisruh Yayasan Atma Jaya.
Kasus yang sedang bergulir di Pengadilan Negeri Makassar dan Polda Sulsel ini diduga melibatkan notaris, dalam proses penerbitan akta nomor 34 tentang Yayasan Atma Jaya yang baru.
Kepala Divisi Pelayanan Hukum (Kadiv Yankum) Kanwil Kemenkum Sulsel, Demson Marihot menegaskan, kasus ini memang perlu didalami. Bahkan APH sendiri sudah menyurat kepada mereka untuk memeriksa notaris terkait, Betsy Sirua.
"Ini perlu didalami ya. Tetapi kemarin dari APH sudah melayangkan surat ke kami untuk izin pemeriksaan notarisnya. Dan notarisnya juga diperiksa," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, pada prinsipnya, masalah apa pun yang dihadapi Yayasan Atma Jaya saat ini dan apa pun yang dibutuhkan oleh APH, mereka siap membantu. Sehingga, Demson memastikan tidak akan ada upaya menghalang-halangi.
"Pada prinsipnya, kami siap mensupport semua yang dibutuhkan APH. Karena tugas kami berkaitan dengan administrasi pendaftaran yayasan itu, permasalahan perubahan kepengurusan yayasan. Sebenarnya ini kan sangat internal. Artinya mereka rapat, keluar berita acara, kemudian itu yang diajukan ke notaris, dan notaris mengajukan ke kami," lanjutnya.
Selain itu, Demson juga menegaskan bahwa sistem yang ada di mereka otomatis. Sehingga, dia menyampaikan seharusnya permasalahan seperti itu sudah selesai di tingkat notaris, sebab notaris merupakan pejabat negara yang sudah disumpah. Namun karena ada permasalahan, pihaknya kini melakukan tracking kembali terhadap notaris yang bersangkutan.
"Notaris ini kan pejabat negara, kami menganggap seharusnya sudah clear, dimasukkan ke AHU (Administrasi Hukum Umum) online. Namun ternyata ada masalah, ya kami track lagi dong di mana ini selipnya. Jadi APH akan melakukan itu. Tugas kami, data apa pun yang dibutuhkan APH kami siap support," tegasnya.
Berkaitan dengan dampaknya sendiri, jika memang pengadilan menyatakan akta notaris tersebut harus dibatalkan, maka itu bisa saja batal. Karena pihaknya hanya mengikuti penetapan pengadilan saja, sehingga jika harus dibatalkan maka mereka akan membatalkan akta tersebut.
"Kalau untuk verifikasi di kami, karena AHU masih berbenah, maka kami usulkan ke depan itu ketika ada perubahan pengurus dan sebagainya, harus ada permintaan OTP ke pemegang saham atau kepengurusan. Sehingga prosesnya lebih form. Selama ini tidak seperti itu. Kami hanya menempatkan notaris sebagai pejabat negara yang berhak untuk itu," tuturnya.
Dia juga mengaku, dalam sistem pelayanan memang ada dua sisi, khususnya dalam hal kecepatan layanan itu. Kata dia, semakin cepat layanan yang diberikan, maka proses administrasinya juga harus dipotong-potong. Namun jika tidak, maka pasti layanan akan berlangsung lama.
"Layanan online ini hadir untuk menghindari adanya komunikasi-komunikasi di luar kantor. Makanya kalau dianalisa, seharusnya di notaris itu sudah clear. Jadi dalam hal ini kami serahkan sepenuhnya kepada APH. Kalau memang notarisnya terbukti ada keterlibatan, kami pasti izinkan untuk diperiksa," ungkapnya.
Namun jika kasus ini diajukan ke pengadilan, pihaknya siap untuk ikut sidang dulu. Jika di dalam sidang ternyata notarisnya terbukti terlibat, maka dia meminta APH untuk memeriksa notaris bersangkutan.
"Tetapi kalau notarisnya mengaku hanya dibawain berkas, sudah ada semua di situ, ya harus dikerjakan. Tetapi kalau misalnya salah satunya gak hadir, ada unsur kesalahan dan keterlibatan, kami tidak akan menghalangi untuk diperiksa," jelasnya.
Diketahui, kasus ini sedang bergulir di PN Makassar, setelah pihak ahli waris John Candra Syarif melalui kuasa hukumnya, Muara Harianja, melaporkan Alex Walalangi selaku pihak yang membentuk yayasan baru, Betsy Sirua sebagai pihak yang menerbitkan akta, dan Dirjen AHU selaku pihak yang menerima.
Muara membeberkan, persoalan ini bermula dari pemberhentian dua pembina yayasan, Alexander Walalangi (Alex Walalangi) dan Lucas Paliling pada 5 September 2024. Saat itu, pembina, pengurus, dan pengawas mengadakan rapat untuk pergantian pembina. Pada awalnya, Yayasan Atma Jaya memiliki tiga pembina, masing-masing John Chandra Syarif, Alex Walalangi, dan Lucas Paliling.
Hasil rapat memutuskan, Alex dan Lucas sudah tidak efektif lagi, yang akhirnya diberhentikan sebagai pembina. Lucas merupakan pastor yang memiliki kegiatan keagamaan dan Alex terlalu banyak di luar negeri, sehingga gagal menjalankan kewajibannya, bahkan rapat sekali setahun pun tidak bisa dilakukan.
”Pak Lucas ini menjadi Pastor dan Alex ini lebih sering di luar negeri, tepatnya di Australia. Mereka tidak pernah menjalankan kewajiban, bahkan rapat satu tahun satu kali via daring saja tidak bisa,” ujarnya.
Kemudian pada tanggal 18 Desember, pembina yang diberhentikan melakukan rapat di Keuskupan Agung, untuk membentuk yayasan baru dengan nama yang sama, Yayasan Atma Jaya. Hal ini janggal, sebab AD/ART menegaskan, rapat hanya bisa dilakukan di kantor Yayasan.
Selanjutnya, pada 22 Desember 2024, hasil rapat mereka dibawa ke notaris atas nama Betsy Sirua. Mereka meminta pengesahan AD/ART baru, karena susunan pengurusnya sudah berbeda. Kemudian pada 2 Januari 2025, Ditjen AHU menerima pendaftaran mereka.
”Ditjen AHU menerima karena kan pendaftarannya secara online. Memang AHU boleh menerima karena tidak perlu ada verifikasi, itu sistemnya. Selama persyaratan terpenuhi, AHU tidak perlu tahu bagaimana cara memperoleh, itu memang bisa keluar,” jelasnya.
Muara Harianja menilai, ada banyak kejanggalan dalam kasus ini. Pertama, melakukan rapat yang tempatnya di luar ketentuan AD/ART, kemudian yang mengajukan ini, nama di akte Yayasan itu Alex Walalangi namun di notaris berubah menjadi Alexander Walalangi.
”Jadi nama Alex Walalangi itu yang ada di akte yayasan, beserta KTP dan NIK-nya. Artinya ada perubahan nama dan kami anggap itu masuk ranah pidana,” lanjutnya.
Kemudian, waktu keluarnya pendaftaran dari Ditjen AHU, juga dianggap janggal. Itu sebabnya, mereka mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Makassar pada 8 Januari 2025, untuk membatalkan akta baru yayasan. Itu teregistrasi dengan nomor perkara Perdata 14/PDBG/2025/PN-Mks.
”Saat ini sudah proses persidangan, dan tanggal 8 April nanti sidang keempat terkait ahli waris. Jadi kami gugat itu Alexander Walalangi, dengan turut tergugat notaris Betsy Sirua dan Depkum Ditjen AHU,” tukas dia.
Diberitakan sebelumnya, sejumlah oknum diduga ingin mengambil alih Yayasan Atma Jaya Makassar secara paksa. Itu sebabnya, ahli waris menggugat ke Pengadilan Negeri Makassar.
Kasus yang sedang bergulir di Pengadilan Negeri Makassar dan Polda Sulsel ini diduga melibatkan notaris, dalam proses penerbitan akta nomor 34 tentang Yayasan Atma Jaya yang baru.
Kepala Divisi Pelayanan Hukum (Kadiv Yankum) Kanwil Kemenkum Sulsel, Demson Marihot menegaskan, kasus ini memang perlu didalami. Bahkan APH sendiri sudah menyurat kepada mereka untuk memeriksa notaris terkait, Betsy Sirua.
"Ini perlu didalami ya. Tetapi kemarin dari APH sudah melayangkan surat ke kami untuk izin pemeriksaan notarisnya. Dan notarisnya juga diperiksa," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, pada prinsipnya, masalah apa pun yang dihadapi Yayasan Atma Jaya saat ini dan apa pun yang dibutuhkan oleh APH, mereka siap membantu. Sehingga, Demson memastikan tidak akan ada upaya menghalang-halangi.
"Pada prinsipnya, kami siap mensupport semua yang dibutuhkan APH. Karena tugas kami berkaitan dengan administrasi pendaftaran yayasan itu, permasalahan perubahan kepengurusan yayasan. Sebenarnya ini kan sangat internal. Artinya mereka rapat, keluar berita acara, kemudian itu yang diajukan ke notaris, dan notaris mengajukan ke kami," lanjutnya.
Selain itu, Demson juga menegaskan bahwa sistem yang ada di mereka otomatis. Sehingga, dia menyampaikan seharusnya permasalahan seperti itu sudah selesai di tingkat notaris, sebab notaris merupakan pejabat negara yang sudah disumpah. Namun karena ada permasalahan, pihaknya kini melakukan tracking kembali terhadap notaris yang bersangkutan.
"Notaris ini kan pejabat negara, kami menganggap seharusnya sudah clear, dimasukkan ke AHU (Administrasi Hukum Umum) online. Namun ternyata ada masalah, ya kami track lagi dong di mana ini selipnya. Jadi APH akan melakukan itu. Tugas kami, data apa pun yang dibutuhkan APH kami siap support," tegasnya.
Berkaitan dengan dampaknya sendiri, jika memang pengadilan menyatakan akta notaris tersebut harus dibatalkan, maka itu bisa saja batal. Karena pihaknya hanya mengikuti penetapan pengadilan saja, sehingga jika harus dibatalkan maka mereka akan membatalkan akta tersebut.
"Kalau untuk verifikasi di kami, karena AHU masih berbenah, maka kami usulkan ke depan itu ketika ada perubahan pengurus dan sebagainya, harus ada permintaan OTP ke pemegang saham atau kepengurusan. Sehingga prosesnya lebih form. Selama ini tidak seperti itu. Kami hanya menempatkan notaris sebagai pejabat negara yang berhak untuk itu," tuturnya.
Dia juga mengaku, dalam sistem pelayanan memang ada dua sisi, khususnya dalam hal kecepatan layanan itu. Kata dia, semakin cepat layanan yang diberikan, maka proses administrasinya juga harus dipotong-potong. Namun jika tidak, maka pasti layanan akan berlangsung lama.
"Layanan online ini hadir untuk menghindari adanya komunikasi-komunikasi di luar kantor. Makanya kalau dianalisa, seharusnya di notaris itu sudah clear. Jadi dalam hal ini kami serahkan sepenuhnya kepada APH. Kalau memang notarisnya terbukti ada keterlibatan, kami pasti izinkan untuk diperiksa," ungkapnya.
Namun jika kasus ini diajukan ke pengadilan, pihaknya siap untuk ikut sidang dulu. Jika di dalam sidang ternyata notarisnya terbukti terlibat, maka dia meminta APH untuk memeriksa notaris bersangkutan.
"Tetapi kalau notarisnya mengaku hanya dibawain berkas, sudah ada semua di situ, ya harus dikerjakan. Tetapi kalau misalnya salah satunya gak hadir, ada unsur kesalahan dan keterlibatan, kami tidak akan menghalangi untuk diperiksa," jelasnya.
Diketahui, kasus ini sedang bergulir di PN Makassar, setelah pihak ahli waris John Candra Syarif melalui kuasa hukumnya, Muara Harianja, melaporkan Alex Walalangi selaku pihak yang membentuk yayasan baru, Betsy Sirua sebagai pihak yang menerbitkan akta, dan Dirjen AHU selaku pihak yang menerima.
Muara membeberkan, persoalan ini bermula dari pemberhentian dua pembina yayasan, Alexander Walalangi (Alex Walalangi) dan Lucas Paliling pada 5 September 2024. Saat itu, pembina, pengurus, dan pengawas mengadakan rapat untuk pergantian pembina. Pada awalnya, Yayasan Atma Jaya memiliki tiga pembina, masing-masing John Chandra Syarif, Alex Walalangi, dan Lucas Paliling.
Hasil rapat memutuskan, Alex dan Lucas sudah tidak efektif lagi, yang akhirnya diberhentikan sebagai pembina. Lucas merupakan pastor yang memiliki kegiatan keagamaan dan Alex terlalu banyak di luar negeri, sehingga gagal menjalankan kewajibannya, bahkan rapat sekali setahun pun tidak bisa dilakukan.
”Pak Lucas ini menjadi Pastor dan Alex ini lebih sering di luar negeri, tepatnya di Australia. Mereka tidak pernah menjalankan kewajiban, bahkan rapat satu tahun satu kali via daring saja tidak bisa,” ujarnya.
Kemudian pada tanggal 18 Desember, pembina yang diberhentikan melakukan rapat di Keuskupan Agung, untuk membentuk yayasan baru dengan nama yang sama, Yayasan Atma Jaya. Hal ini janggal, sebab AD/ART menegaskan, rapat hanya bisa dilakukan di kantor Yayasan.
Selanjutnya, pada 22 Desember 2024, hasil rapat mereka dibawa ke notaris atas nama Betsy Sirua. Mereka meminta pengesahan AD/ART baru, karena susunan pengurusnya sudah berbeda. Kemudian pada 2 Januari 2025, Ditjen AHU menerima pendaftaran mereka.
”Ditjen AHU menerima karena kan pendaftarannya secara online. Memang AHU boleh menerima karena tidak perlu ada verifikasi, itu sistemnya. Selama persyaratan terpenuhi, AHU tidak perlu tahu bagaimana cara memperoleh, itu memang bisa keluar,” jelasnya.
Muara Harianja menilai, ada banyak kejanggalan dalam kasus ini. Pertama, melakukan rapat yang tempatnya di luar ketentuan AD/ART, kemudian yang mengajukan ini, nama di akte Yayasan itu Alex Walalangi namun di notaris berubah menjadi Alexander Walalangi.
”Jadi nama Alex Walalangi itu yang ada di akte yayasan, beserta KTP dan NIK-nya. Artinya ada perubahan nama dan kami anggap itu masuk ranah pidana,” lanjutnya.
Kemudian, waktu keluarnya pendaftaran dari Ditjen AHU, juga dianggap janggal. Itu sebabnya, mereka mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Makassar pada 8 Januari 2025, untuk membatalkan akta baru yayasan. Itu teregistrasi dengan nomor perkara Perdata 14/PDBG/2025/PN-Mks.
”Saat ini sudah proses persidangan, dan tanggal 8 April nanti sidang keempat terkait ahli waris. Jadi kami gugat itu Alexander Walalangi, dengan turut tergugat notaris Betsy Sirua dan Depkum Ditjen AHU,” tukas dia.
Diberitakan sebelumnya, sejumlah oknum diduga ingin mengambil alih Yayasan Atma Jaya Makassar secara paksa. Itu sebabnya, ahli waris menggugat ke Pengadilan Negeri Makassar.
(GUS)
Berita Terkait

Makassar City
Ada Oknum Diduga Ingin Ambil Alih Yayasan Atma Jaya Makassar Secara Paksa
Sejumlah oknum diduga ingin mengambil alih Yayasan Atma Jaya Makassar secara paksa. Itu sebabnya, ahli waris menggugat ke Pengadilan Negeri Makassar.
Kamis, 03 Apr 2025 19:27

Makassar City
Walkot Munafri Bersama PN Makassar Sinergitas Cegah Penyuapan dan Mafia Tanah
Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, menerima audiensi perwakilan Pengadilan Negeri (PN) Makassar di Ruang Rapat Wali Kota pada Jumat (14/3/2025).
Jum'at, 14 Mar 2025 16:05

News
PA Makassar Gelar Sidang PS Sengketa Hibah Tergugat Cawalkot Makassar Muhyina Muin
Majelis Hakim Pengadilan Agama (PA) Makassar melakukan Sidang Pemeriksaan Setempat (PS) atas objek sengketa hibah yang berlamat di Jalan Sunu Raya No 42 Makassar.
Jum'at, 07 Mar 2025 17:31

News
Duduk di Kursi Pesakitan, Agus Salim Jalani Sidang Perdana Kasus Skincare Bermerkuri
Terdakwa kasus skincare berbahaya atau mengandung merkuri, Agus Salim (40) menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Makassar, Selasa (25/2/2025).
Selasa, 25 Feb 2025 16:28

News
Terdakwa Calo Akpol Rp4,9 Miliar Dituntut 4 Tahun Penjara
Terdakwa penipuan pendafataran calon taruna Akademi Kepolisian (Akpol) yang rugikan korban Rp4,9 miliar dituntut 4 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Makassar.
Senin, 10 Feb 2025 20:12
Berita Terbaru
Artikel Terpopuler
Topik Terpopuler
1

Pertemuan Husniah dan Kahfi, Sepakati Posisi Ketua DPW PAN Sulsel
2

Picu Polemik, Logo Hari Jadi Jeneponto ke-162 Hasil Sayembara Diduga Tidak Orisinal
3

Pencuri Motor Beraksi di Samata Gowa, Polisi Buru Pelaku Jaket Hitam Putih
4

Polemik Pasar Subuh, Komisi II DPRD Maros Sidak di Pasar Tramo
5

Dewan Soroti Minimnya Bantuan Pengembangan Pariwisata di Sulsel, Khususnya Toraja
Artikel Terpopuler
Topik Terpopuler
1

Pertemuan Husniah dan Kahfi, Sepakati Posisi Ketua DPW PAN Sulsel
2

Picu Polemik, Logo Hari Jadi Jeneponto ke-162 Hasil Sayembara Diduga Tidak Orisinal
3

Pencuri Motor Beraksi di Samata Gowa, Polisi Buru Pelaku Jaket Hitam Putih
4

Polemik Pasar Subuh, Komisi II DPRD Maros Sidak di Pasar Tramo
5

Dewan Soroti Minimnya Bantuan Pengembangan Pariwisata di Sulsel, Khususnya Toraja