Opini

Angka dan Tanah di Seputaran Bulan Kemerdekaan

Rabu, 20 Agu 2025 14:50
Angka dan Tanah di Seputaran Bulan Kemerdekaan
Ilustrasi kenaikan PBB di hari kemerdekaan Indonesia. Foto: Chat GPT
Comment
Share
Oleh: Endang Sari
Dosen Ilmu Politik FISIP Unhas

Kemerdekaan 80 tahun kali ini datang bersama angka. Bukan turunnya angka kemiskinan, bukan angka pertumbuhan ekonomi, tapi angka pajak.

Pajak Bumi dan Bangunan yang melonjak antara 250, 300, hingga 1000 persen. Angka yang berdampak besar. Ia mengetuk pintu rumah-rumah warga, masuk ke sawah-sawah yang diwariskan turun-temurun, dan berkata: “Bayarlah lebih banyak, karena tanahmu kini lebih berharga.

Kita pun terkejut. Bukan karena mereka tak mau bayar pajak, tapi karena sebagai rakyat kita tak pernah diajak bicara. Kenaikan itu datang seperti surat cinta yang tidak dikirimkan dengan kasih.

Tiba-tiba saja, tanah yang dulu dianggap biasa, kini dinilai luar biasa. Nilai jual objek pajak naik drastis, dan bersama itu, beban pun bertambah.

Di desa-desa, orang-orang mulai menghitung ulang hidup mereka. Berapa yang harus dipotong dari belanja dapur, dari biaya sekolah, dari tabungan yang tak seberapa.

Di hari-hari sekitaran 17 Agustus, ketika negara sibuk mempersiapkan upacara, banyak warga sibuk mempersiapkan protes. Mereka turun ke jalan, membawa poster, membawa suara, membawa rasa kecewa.

“Kami bukan menolak pajak,” kata mereka, “kami menolak ketidakadilan.” Tapi suara itu, tenggelam di antara lomba-lomba tahunan khas bulan agustus yang penuh semangat.

Kenaikan pajak bukan hal baru. Tapi kenaikan sebesar 250, 300, hingga 1000 persen bukan hal biasa. Ia bukan koreksi, tapi lonjakan. Dan lonjakan itu tak hanya soal angka, tapi soal rasa. Rasa bahwa negara tak lagi melihat rakyat sebagai pemilik tanah, tapi sebagai penyewa yang harus membayar lebih mahal. Rasa bahwa tanah bukan lagi ruang hidup, tapi objek fiskal.

Saya yakin di hampir semua daerah, tanah adalah segalanya. Ia bukan hanya tempat tinggal, tapi juga sumber penghidupan. Ia bukan hanya aset, tapi juga warisan. Ketika pajak naik, bukan hanya uang yang diminta, tapi juga rasa aman.

Banyak warga khawatir tak mampu membayar. Dan jika tak mampu, apa yang terjadi? Apakah tanah akan disita? Apakah rumah akan dilelang? Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di udara, tanpa jawaban yang menenangkan.

Pemerintah daerah bisa berkata: ini hasil penyesuaian. Nilai tanah memang naik, maka pajak pun ikut naik. Tapi penyesuaian tanpa musyawarah adalah pemaksaan. Dan pemaksaan, dalam negara demokrasi, adalah bentuk lain dari pengabaian. Warga bukan objek kebijakan, mereka adalah subjek. Mereka berhak tahu, berhak bertanya, berhak menolak.

Yang ironis, Hal ini terjadi di sekitaran bulan Kemerdekaan. Saat ketika negara mengenang perjuangan, mengenang rakyat, mengenang tanah air. Tapi bagi banyak warga, tanah air justru menjadi beban. Rakyat yang dulu disebut pahlawan, kini disebut wajib pajak. Dan kewajiban itu datang tanpa empati.

Di desa-desa, orang-orang mulai bicara tentang kemungkinan menjual tanah. Bukan karena ingin, tapi karena terpaksa. Pajak yang terlalu tinggi membuat mereka tak sanggup bertahan. Maka tanah yang dulu diwariskan, kini dipertimbangkan untuk dilepas. Dan pelepasan itu bukan hanya kehilangan fisik, tapi juga kehilangan identitas.

Kemerdekaan, dalam versi negara, adalah soal kedaulatan. Tapi dalam versi rakyat, ia adalah soal keberdayaan. Ketika pajak naik tanpa dialog, keberdayaan itu dirampas. Rakyat menjadi penonton dalam kebijakan yang menyentuh hidup mereka. Mereka tak diajak bicara, tak diberi ruang, tak diberi waktu.

Mungkin kita perlu bertanya ulang: apa arti merdeka bagi mereka yang tak bisa membayar pajak tanahnya sendiri? Apa arti merdeka bagi mereka yang harus menjual rumah demi membayar kewajiban negara? Apa arti merdeka jika tanah yang menjadi bagian dari hidup justru menjadi sumber ketakutan?

Kemerdekaan bukan soal seremoni. Ia bukan hanya tentang bendera dan lagu kebangsaan. Ia juga tentang bagaimana negara memperlakukan warganya. Jika rakyat merasa terancam oleh kebijakan, maka kemerdekaan itu belum utuh.

Di banyak jalanan, protes itu adalah pengingat. Bahwa republik ini dibangun bukan hanya oleh elite, tapi juga oleh petani, oleh warga desa, oleh orang-orang biasa yang kini merasa tak didengar. Dan jika suara mereka tak dianggap penting, maka kita sedang kehilangan arah.

Mungkin angka bisa dijelaskan. Tapi rasa tidak. Dan rasa itu, di banyak tempat, kini sedang terluka. Oleh pajak yang naik terlalu tinggi, oleh kebijakan yang datang terlalu tiba-tiba, oleh negara yang lupa bahwa tanah bukan hanya soal nilai, tapi juga soal makna.
(UMI)
Berita Terkait
Berita Terbaru