Kisah Tragis Dua Guru di Luwu Utara: Difitnah, Ditangkap Subuh Hari Hingga Dipecat

Rabu, 12 Nov 2025 23:52
Kisah Tragis Dua Guru di Luwu Utara: Difitnah, Ditangkap Subuh Hari Hingga Dipecat
Dua guru SMA asal Luwu Utara mengikuti RDP yang digelar Komisi E DPRD Sulsel di Kantor Dinas Bina Marga dan Konstruksi Sulsel, Makassar, Rabu (12/11/2025). Istimewa
Comment
Share
LUWU UTARA - Tahun 2018 menjadi awal perjalanan tak terlupakan bagi Rasnal, saat dirinya ditugaskan sebagai Kepala SMA Negeri 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Ia tak menyangka, niat baik membantu guru honorer justru berujung pada vonis pidana dan pemecatan sebagai aparatur sipil negara.

“5 Januari 2018, saya ditempatkan di SMA Negeri 1 Luwu Utara sebagai kepala sekolah baru,” kenang Rasnal memulai kisahnya saat Rapat Dengar Pendapat di DPRD Sulsel, Rabu (12/11/2025).

Beberapa hari setelah menjabat, ia mulai melakukan tugas dan tanggung jawabnya, termasuk melakukan supervisi awal. Belakangan ia menemukan bahwa proses belajar-mengajar di sekolah yang dipimpinnya tidak berjalan maksimal.

Penyebabnya ternyata lantaran sejumlah guru honorer yang belum menerima gaji. Tak lama kemudian, 10 guru honorer mendatangi ruangannya. Mereka mengeluhkan gaji yang belum dibayarkan selama 10 bulan di tahun 2017.

“Saya kaget, karena itu bukan masalah saya, saya kepala sekolah baru. Tapi tanggung jawab itu sudah melekat sejak saya dilantik. Saya sampaikan, Insyaallah saya akan cari solusinya,” ujarnya.

Keesokan harinya, Rasnal menggelar rapat bersama seluruh guru untuk membahas masalah tersebut. Dalam rapat, guru-guru honorer kembali memohon agar hak mereka diperhatikan.

Selain itu, sejumlah guru meminta insentif tambahan untuk tugas-tugas seperti wali kelas atau kepala laboratorium. Dalam tugas tambahan itu para guru honorer yang menjadi penanggung jawab sama sekali tidak menerima insentif.

“Kasihan mereka, tugas tambahan itu bukan kewajiban pokok. Mereka hanya berharap Rp20 ribu–Rp30 ribu sekadar penyemangat,” ujar Rasnal.

Namun ia tahu, dana BOS tidak bisa digunakan untuk kebutuhan itu karena aturan petunjuk teknis (Juknis) yang ketat. Maka Rasnal memutuskan membawa masalah tersebut ke Ketua Komite Sekolah.

Rapat Komite: Sumbangan Sukarela Disetujui Orang Tua

Rasnal ditemani empat wakil kepala sekolah pun menemui Ketua Komite di rumahnya. Ia menceritakan kondisi sekolah dan stagnasi pembelajaran akibat guru honorer yang sering absen lantaran tak lagi menerima gaji.

Ketua Komite menyadari masalah tersebut dan meminta dibuatkan surat undangan rapat serta menghadirkan orang tua murid.

“Saya arahkan ke guru Bahasa Indonesia untuk buat suratnya, dan saya juga tanda tangan sebagai penanggung jawab sekolah,” kata Rasnal.

Rapat bersama pihak sekolah, Komite Sekolah dan orang tua murid pun digelar. Ketua Komite saat itu membuka rapat dengan menjelaskan kondisi sekolah di depan orang tua. Ia menegaskan bahwa dana BOS tidak dapat digunakan untuk menggaji honorer, sehingga meminta pendapat orang tua.

"Seorang wali murid bertanya, Berapa yang harus kami (bantu) bayarkan?," Rasnal menceritakan.

Sekretaris Komite lalu menampilkan proposal dengan kebutuhan dana sekitar Rp 16 juta per bulan. Jumlah anggaran kebutuhan itu dipakai untuk membayar gaji dan intensif honorer setiap bulannya.

Salah seorang orang tua siswa kemudian mengusulkan bagaimana jika Rp 16 juta itu dibagi sesuai jumlah orang tua siswa yang anaknya bersekolah di SMA Negeri 1 Luwu Utara. Hasilnya, jika setiap orang tua siswa patungan Rp 17.300 maka jumlahnya bisa menutupi anggaran kebutuhan Rp 16 juta tadi.

Salah satu orang tua lainnya lalu mengusulkan agar dibulatkan menjadi Rp20 ribu agar mudah dibayarkan. Hal itu juga dilakukan untuk mensubsidi orang tua siswa yang kurang mampu, menolak patungan atau orang tua siswa yang anaknya lebih dari satu bersekolah di SMA Negeri 1 Luwu Utara.

“Alhamdulillah, semua orang tua setuju. Tidak ada yang keberatan. Palu diketuk dan disepakati Rp20 ribu,” tutur Rasnal.

Keputusan itu terbukti efektif. Guru honorer kembali aktif mengajar, tidak ada lagi kelas kosong. Bahkan wali kelas yang awalnya cuek-cuek saja kini kembali bersemangat untuk mengajar.

“Anak-anak belajar normal, guru kembali semangat. Bahkan yang dulu malas mengunjungi murid di desa, kini aktif karena ada uang bensin,” katanya.

Laporan LSM: Awal Perkara Hukum

Program patungan Rp20 ribu per bulan itu berjalan lancar selama tiga tahun yakni 2018, 2019, dan 2020. Namun ketenangan itu berubah pada awal tahun 2020, di masa pandemi Covid-19. Rasnal menerima telepon dari seorang LSM yang ingin memeriksa dana komite.

“Saya bilang, zaman transparansi tidak ada masalah. Kalau mau tahu, silakan ketemu Bendahara Komite,” ujar Rasnal.

Pertemuan antara pihak LSM dan Bendahara pun berlangsung. Namun pertemuan itu berujung pada ketegangan karena bendahara menanyakan surat tugas pemeriksaan.

"Dalam pertemuan itu, Bendahara Komite meminta, Mana surat tugasmu untuk perintah memeriksa keuangan sekolah? Secara pribadi kan tidak mau kasih, karena ini lembaga resmi. Maka dia mungkin merasa tidak nyaman," beber Rasnal.

Belakangan, karena tak diberi data pengelolaan keuangan Komite Sekolah, pihak LSM itu kemudian melapor ke Polres Luwu Utara. Polisi ternyata langsung menindak lanjuti laporan tersebut.

“Saya yang dipanggil pertama (untuk diperiksa), kemudian Ketua, Sekretaris, Bendahara Komite, bahkan hampir semua guru diperiksa. Kami disuruh baca pasal-pasal korupsi dulu sebelum diinterogasi,” kenangnya.

Setelah penyelidikan berjalan 6 bulan lamanya, penyidik Satuan Reserse Kriminal Polres Luwu Utara kemudian menetapkan dua orang tersangka dari total empat orang yang dilaporkan oleh LSM tersebut.

"6 bulan berlangsung ditetapkanlah dua orang tersangka, saya dan bendahara komite. Yang Ketua Komite dan Sekretaris saya tidak tahu kenapa tidak ditetapkan tersangka padahal dia yang kelola uang. Itu ranahnya polisi, saya tidak bisa menjelaskan apa alasannya," ungkapnya.

Janggal: Berkas Ditolak, Polisi Gandeng Inspektorat Kabupaten

Ketika berkas diserahkan ke Kejaksaan Negeri Luwu Utara, jaksa menilai tidak ada unsur pidana di dalamnya dan mengembalikan berkas kepada pihak kepolisian (P19). Namun polisi kembali membuka penyidikan hingga melibatkan Inspektorat Kabupaten Luwu Utara.

“Ini yang aneh, karena SMA itu kewenangan provinsi. Harusnya Inspektorat Provinsi yang periksa, bukan Kabupaten,” tegas Rasnal.

Kejanggalan lain pun terungkap. Dalam pemeriksaan, ia merasa pertanyaan penyidik Inspektorat sama persis dengan pertanyaan penyidik polisi.

“Saya tanya, kenapa pertanyaannya sama? Mereka jawab, memang hanya meng-copy dari polisi,” ucapnya.

Setelah empat bulan, Inspektorat Luwu Utara menyimpulkan ada kerugian negara dan pungutan liar, lalu menyerahkan hasilnya ke polisi. Dari situ, kasus kembali dilimpahkan ke kejaksaan.

"Jaksa lalu serahkan berkasnya ke pengadilan hingga proses pengadilan berjalan," imbuhnya.

Vonis Bebas, Lalu Dihukum Kasasi

Pada Desember 2022, Pengadilan Tipikor Makassar memutus Rasnal dan bendahara komite yang saat itu dijabat oleh Abdul Muis bebas, karena perbuatan mereka tidak memenuhi unsur pidana korupsi.

“Kami hanya dianggap salah administrasi dalam struktur Komite, bukan pidana,” kata Rasnal.

Namun jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Rasnal mengaku tidak tahu detail prosesnya. “Kami tidak ikut lagi dalam proses itu, tidak seperti sidang pertama yang disaksikan banyak orang,” tuturnya.

Beberapa bulan kemudian, ia menerima putusan MA yang membatalkan vonis bebas. “Saya kaget, ternyata kasasi jaksa diterima. Saya dan Bendahara divonis 1 tahun 2 bulan,” katanya lirih.

Penangkapan Subuh dan Masa di Penjara

Belakangan jaksa pun menghubungi Rasnal untuk dijebloskan ke dalam penjara. Sayangnya, Rasnal mengaku sempat tak menjawab panggilan telepon dari jaksa. Ia baru tahu setelah dikonfirmasi oleh mantan siswanya yang kini juga jaksa.

Karena dianggap tidak kooperatif, ia ditangkap subuh hari di rumahnya dan langsung dibawa ke lembaga pemasyarakatan.

“Saya jalani delapan bulan lebih sedikit dari vonis satu tahun dua bulan,” ungkapnya.

Ia menolak membayar denda subsider Rp50 juta karena tidak punya uang.

“Saya bebas tanggal 29 Agustus 2024. Tapi sampai sekarang saya masih merasa, apa yang kami lakukan itu bukan korupsi. Kami hanya ingin guru-guru bisa hidup layak dan anak-anak bisa belajar normal,” pungkas Rasnal.

Kini, setelah vonis inkrah Mahkamah Agung, Rasnal dan Abdul Muis diberhentikan tidak dengan hormat sebagai ASN oleh Gubernur Sulawesi Selatan. PGRI Luwu Utara tengah mengajukan grasi kepada Presiden Prabowo Subianto dengan alasan kemanusiaan.

Namun bagi Rasnal, yang terpenting adalah mendapatkan kembali nama baiknya sebagai pendidik. “Saya tidak menyesal membantu guru-guru. Yang saya sesalkan hanya, kenapa keadilan tidak melihat niat baik itu,” katanya pelan.
(UMI)
Berita Terkait
Berita Terbaru