Pemerintah Indonesia Dinilai Tawarkan Solusi Palsu Krisis Iklim di COP 29

Tim Sindomakassar
Jum'at, 22 Nov 2024 22:56
Pemerintah Indonesia Dinilai Tawarkan Solusi Palsu Krisis Iklim di COP 29
Pemerintah Indonesia dinilai hanya menawarkan solusi palsu dalam menangani krisis iklim pada ajang COP 29. Foto/Ilustrasi
Comment
Share
JAKARTA - Pemerintah Indonesia kini terlihat lebih berperan sebagai penjaja karbon, sebuah langkah yang hanya menguntungkan negara-negara penghasil emisi dan segelintir konglomerat industri ekstraktif di tanah air. Ini terlihat dalam Conference of the Parties (COP) ke-29 di Baku, Azerbaijan.

Rencana Presiden Prabowo untuk meluncurkan pendanaan ekonomi hijau melalui penjualan 557 juta karbon dianggap sebagai solusi palsu. Kebijakan itu dinilai dapat merusak keanekaragaman hayati, masyarakat adat, bahkan menambah tumpukan utang baru bagi negara.

Proyek perdagangan karbon ini ditargetkan akan menghasilkan hingga US$65 miliar (sekitar seribu triliun rupiah) pada 2028. Pemerintah mengklaim bahwa ini akan menciptakan lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 8%, serta mempercepat program penghutanan kembali.

Namun, inisiatif ini seolah menutup mata terhadap penghancuran hutan alam sebagai penyerap karbon alami yang terus berlangsung. Contohnya, pada 2023, lebih dari 33 ribu hektar hutan di Kalimantan Barat, yang merupakan habitat orangutan dan tempat hidup masyarakat adat, dihancurkan oleh sebuah perusahaan.

“Penjualan karbon ini dikampanyekan di saat pemerintah tidak bertindak apa-apa untuk mencegah kerusakan hutan, baik untuk pencapaian target transisi energi palsu lewat co-firing biomassa, maupun untuk proyek strategis seperti food estate di Papua dan kawasan industri hilirisasi di timur Indonesia,” kata Amalya Reza, Manager Kampanye Bioenergi Trend Asia.

Alih-alih bergantung pada perdagangan karbon, pemerintah dapat mengambil langkah konkret dalam aksi iklim, seperti menghentikan rencana pembangunan PLTU baru dan memensiunkan pembangkit berbasis energi fosil.

Salah satu langkah yang bisa diterapkan adalah pajak karbon bagi para pencemar emisi. Regulasi Indonesia sebenarnya telah mengenal pajak karbon, yang berfungsi sebagai tindakan preventif untuk menghitung dampak kesehatan dan kerusakan lingkungan.

Menurut berbagai kajian, pemerintah Indonesia dapat memperoleh potensi pendapatan pajak karbon dari sektor energi yang diperkirakan mencapai Rp23,651 triliun pada 2025. Beberapa kajian lain menyebutkan potensi pendapatan yang bahkan lebih besar, yaitu Rp51 triliun dari pajak karbon dan Rp145 triliun dari izin karbon per tahunnya.

“Presiden Prabowo seharusnya membalikkan kebijakan-kebijakan yang merusak lingkungan ini dan mulai melindungi warga yang semakin rentan melalui pemungutan pajak karbon dari industri-industri penghasil emisi penyebab cuaca ekstrem dan pemanasan global,” ujar Beyrra Triasdian, Pengampanye Energi Terbarukan Trend Asia.

“Perdagangan karbon yang didorong melalui mekanisme pasar hanya akan menjadikan masyarakat lokal sebagai penanggung pajak karbon. Padahal, regulasi kita telah memfasilitasi penerapan pajak karbon dengan potensi jauh lebih besar. Alih-alih mendorong energi terbarukan, solusi palsu yang ditawarkan hanya akan menjebak Indonesia dalam praktik greenwashing,” tambah Beyrra.

Pemerintah Indonesia sering kali mengedepankan solusi palsu dalam transisi energi. Misalnya, meskipun berkomitmen untuk mengurangi deforestasi, pemerintah mendorong pembakaran kayu (co-firing biomassa) melalui Hutan Tanaman Industri (HTI) atau Hutan Tanaman Energi (HTE). Padahal, kedua jenis hutan ini justru merusak ekosistem dan menghabiskan lahan. Penelitian Trend Asia (2022) menemukan bahwa HTE tidak dapat menekan emisi deforestasi hingga nol.

“Solusi untuk mereduksi krisis iklim harus berfokus pada pendekatan non-pasar yang memperhatikan keberlanjutan ekosistem di sekitar kita, seperti pemulihan hutan yang telah dibabat dan ekonomi yang adil serta berkelanjutan untuk masyarakat yang terdampak,” tutup Amalya.
(TRI)
Berita Terkait
Berita Terbaru