Asyura di Dapur: Mengaduk Peca', Mengganti Pecah Belah

Tradisi ini tampak sederhana, tetapi menyimpan lapisan makna budaya dan spiritual yang kaya — perpaduan antara keyakinan Islam, warisan kalender lokal, dan tafsir simbolik atas kehidupan sehari-hari.
Hari yang Kecil Tapi Tak Sederhana
Banyak umat Islam menandai 10 Muharram dengan puasa sunah, sebagai bentuk pengharapan akan ampunan ilahi. Ada pula yang menundukkan kepala lebih dalam karena mengenang tragedi Karbala — di mana cucu Nabi, Imam Husain, gugur demi kebenaran. Namun di tanah-tanah Sulawesi Selatan, hari ini hadir dengan nada yang lebih halus: suara sendok dan piring baru yang dibungkus plastik, senyum para ibu yang kembali dari pasar sambil menenteng belanjaan.Tak ada khutbah, tak ada seremoni. Tapi semua tahu ini bukan belanja biasa. Ada kesadaran bahwa waktu sedang suci, dan bahwa rumah perlu menyambutnya dengan layak. Dapur perlu bersih. Perabot lama diganti, seolah masa lalu ikut dilepas bersama piring yang telah retak.
Hari Para Nabi dan Permulaan Baru
Tradisi Islam mencatat 10 Muharram sebagai waktu yang penuh rahmat. Di hari ini, Nabi Nuh keluar dari bahtera setelah bumi dilanda banjir besar. Nabi Musa menyeberangi laut dan selamat dari Firaun. Nabi Yunus keluar dari perut ikan. Nabi Adam, dalam keterasingannya, diterima taubatnya.Namun, tidak semua kenangan di hari ini bersifat bahagia. Dalam tradisi Syiah dan juga bagi sebagian umat Islam lainnya, 10 Muharram adalah hari duka. Pada tanggal inilah Imam Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad, gugur di Padang Karbala bersama para pengikutnya. Ia terbunuh karena memilih jalan kebenaran dan menolak tunduk pada kekuasaan yang zalim. Darah Husain menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, dan kepergiannya menggoreskan luka abadi dalam sejarah spiritual umat Islam.
Ada benang merah dari semua kisah itu: semua tokoh besar itu memulai kembali. Mereka selamat dari bencana, dari kesalahan, dari keterasingan. Maka Asyura adalah hari ketika hidup diberi kesempatan kedua. Sebuah waktu untuk kembali menyusun, membersihkan, memperbaiki. Tidak heran jika masyarakat, entah sadar atau tidak, ikut memaknai hari ini dengan tindakan yang serupa: merapikan rumah, mengganti alat makan, menyambut hidup baru.
Dan mungkin secara naluriah, manusia memang selalu mencari momentum untuk memulai ulang. Asyura menyediakan momen itu — bukan hanya secara teologis, tetapi juga emosional. Ia seperti tanda alam semesta bahwa tak ada yang terlalu rusak untuk diperbaiki, tak ada yang terlalu lama untuk dibersihkan. Maka mengganti perabot dapur bisa menjadi gerakan kecil yang menyatakan: aku siap menerima yang baru.
Dapur sebagai Ruang Spiritual
Bagi masyarakat Sulawesi Selatan, dapur bukan sekadar tempat memasak. Ia adalah pusat kehidupan. Di sanalah keluarga berkumpul, makanan dibagi, dan doa diam-diam dilafalkan. Maka mengganti benda-benda dapur bukan hanya urusan estetik atau ekonomi, tapi ritus harapan. Bahwa rumah ini akan tetap penuh. Bahwa rezeki akan terus mengalir. Bahwa tak ada piring yang pecah di tengah makan malam yang penting.Dalam diam, tindakan ini menjadi zikir. Tidak keras, tapi bergetar. Tidak lantang, tapi mengakar. Tradisi seperti ini memperlihatkan bahwa spiritualitas bisa hadir bukan hanya di masjid atau majelis, tapi juga di antara piring dan sendok.
Kadang kita lupa, bahwa hal-hal yang paling penting dalam hidup — makan, minum, menyambut tamu, berbagi makanan — semua berakar di dapur. Maka dapur bukan sekadar ruang teknis, melainkan ruang spiritual tempat cinta dan syukur diolah setiap hari. Dan Asyura menjadi pengingat, bahwa ruang itu pun perlu diperbarui.
Kalender Langit dan Penanggalan Bumi
Jauh sebelum Islam datang, masyarakat Sulawesi Selatan telah punya sistem waktu sendiri. Kalender Kutika, yang tertulis dalam lontara, memuat nama-nama bulan seperti Sarowan, Padrowanae, Sajewi, dan seterusnya — berdasarkan musim, angin, dan fase alam. Di dalamnya terdapat bulan-bulan yang dianggap sakral, seperti Kasampuloa Lima, yang jatuh pada masa akhir dan transisi.Di waktu-waktu inilah masyarakat biasanya melakukan pembersihan, penataan ulang rumah, bahkan ziarah. Maka ketika Muharram datang dan membawa makna kesucian, kalender lokal pun menyambutnya. Bukan dengan perlawanan, tapi dengan pelapisan. Dengan kebiasaan yang berjalan berdampingan.
Ini menunjukkan bagaimana masyarakat tidak mengganti satu tradisi dengan tradisi lain, tetapi menyatukan keduanya dalam kesadaran waktu yang lebih luas. Apa yang dianggap baik dan sakral tetap dirawat, lalu diselaraskan dengan nilai-nilai baru yang datang bersama agama. Maka wajar jika belanja perabot dapur, dan ritual kecil lainnya, tetap hidup dalam kalender Islam.
Peca’ Sura: Bubur Sebagai Doa Kolektif
Selain mengganti peralatan dapur, beberapa keluarga juga menyiapkan sesuatu yang lebih lembut — peca’ Sura, bubur khas Muharram. Terbuat dari nasi yang dimasak hingga lembut, bubur ini lalu dihiasi dengan berbagai lauk dan bahan tambahan — biasanya tujuh macam — yang bukan hanya lezat, tapi juga sarat makna simbolik.Di atasnya, ditata olahan bandeng yang dibentuk menyerupai segitiga, lingkaran, bintang, hingga bulatan seperti bola. Ada pula telur dadar warna-warni, umbi-umbian, dan buah-buahan beraneka warna, menciptakan komposisi yang bukan hanya indah dipandang, tetapi juga mengekspresikan syukur atas keberagaman rezeki dari bumi.
Angka tujuh bukan sembarang angka. Ia dipercaya melambangkan kesempurnaan dan perlindungan. Tapi nilai terdalam dari peca’ Sura bukan pada jumlah atau bahan, melainkan pada kebersamaan dan niat. Bubur ini biasanya dimasak bersama, dibagi ke tetangga, dan disantap sebagai simbol berbagi berkah. Ia adalah bentuk kuliner spiritual, doa yang bisa dimakan, dan zikir yang disajikan dalam mangkuk.
Beraneka ragam bahan dan bentuk dalam peca' Sura juga mencerminkan kekayaan alam yang harus disyukuri, bukan sekadar dinikmati. Setiap bahan mewakili hasil bumi: laut, ladang, kebun, dan dapur. Ia adalah pengingat bahwa kehidupan diberi dengan limpah, dan karenanya perlu dirawat, bukan dieksploitasi. Makan bersama menjadi lambang bahwa rezeki bukan untuk dikumpulkan dalam ego, melainkan untuk dibagi, agar setiap mulut merasakan cukup.
Dan seperti halnya pecah belah, peca’ Sura pun tak ditulis dalam fiqh atau tafsir. Ia hidup di ingatan, diturunkan melalui tangan yang mengaduk, dan hadir sebagai pelengkap bagi sebuah waktu yang diyakini membawa berkah. Dalam bubur ini, spiritualitas dan kearifan kuliner bersatu.
Merawat Waktu Lewat Laku
Kita hidup di zaman yang menuntut segalanya dibenarkan oleh dalil, disahkan oleh teks. Tapi tak semua yang suci butuh pembuktian. Sebagian cukup dengan laku. Seperti belanja pecah belah di 10 Muharram, atau semangkuk bubur peca’ Sura yang dibagikan dengan senyap. Ia mungkin tidak tertulis dalam kitab, tapi hadir dalam ingatan kolektif. Dalam tindakan yang diwariskan tanpa banyak kata.
Dan mungkin inilah pelajaran besar dari Asyura tahun ini: bahwa kesakralan tak selalu datang dari langit. Ia bisa hadir di dapur, di meja makan, di pasar, di kuali besar yang diaduk perlahan. Ia menyapa lewat piring yang baru dibeli, atau sendok yang diletakkan hati-hati di pinggir mangkuk.
Sebab mungkin, dari semua peristiwa besar dan kisah nabi yang diwariskan, yang paling menyentuh bukanlah air bah, laut terbelah, atau langit terbuka — melainkan meja yang dirapikan kembali, dan taplak baru yang dibentangkan. Sebuah isyarat bahwa hidup ini bisa dimulai ulang, dengan syukur yang sederhana dan harapan yang tak perlu diributkan.
Tulisan ini merupakan refleksi budaya dan spiritual atas tradisi masyarakat Sulawesi Selatan dalam memperingati 10 Muharram, yang dikenal juga sebagai Hari Asyura. Melalui lensa domestik seperti dapur, peca’ Sura, dan belanja pecah belah, penulis mengajak pembaca melihat bahwa spiritualitas tak selalu hadir dalam suara yang lantang, tetapi juga dalam tindakan kecil yang dijalani dengan kesadaran dan cinta.Redaksi menerima tulisan ini dari seorang pembaca yang meminta untuk tidak disebutkan namanya. Tulisan telah disunting untuk kepentingan keterbacaan.














