Opini

Silfester Matutina dan (RUU) KUHAP Kita

Selasa, 12 Agu 2025 14:57
Silfester Matutina dan (RUU) KUHAP Kita
Prof Amir Ilyas, guru besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas). Foto: Dokumentasi pribadi
Comment
Share
Oleh: Prof Amir Ilyas
Guru Besar Ilmu Hukum Unhas

“…Akar permasalahan bangsa ini adalah ambisi politik Yusuf Kalla, mari kita mundurkan Jusuf Kalla JK, karena Jusuf Kalla menggunakan rasisme, isu sara untuk memenangkan Anis Sandi 'betul?' Dan untuk kepercayaan Jusuf Kalla 2019 dan dan untuk kepentingan korupsi keluarga Jusuf Kalla, jadi kalau Jusuf Kalla bilang yang kaya orang Chines dan orang Kristen itu adalah fitnah, bapak ibu tau yang orang miskin di Jawa orang Islam, banyak Kristen juga di NTT yang miskin, di Papua orang Kristen yang miskin di Bali orang Hindu, jadi kenapa kita miskin?, kita miskin karena perbuatan orang - orang seperti Jusuf Kalla. Mereka korupsi, nepotisme, mereka hanya memperkaya keluarganya saja. Bapak liat, bapak ibu liat? Halim Kalla kaya raya, Aburizal kaya, Bakri kaya raya….”

Di awal tulisan ini, sengaja saya mengutip konten dari hasil orasi Silfester Matutina pada 15 Mei 2017 di depan Gedung Baharkam Mabes Polri di Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Oleh karena dengan berdasarkan isi dari orasi tersebutlah, sehingga Silfester Matutina dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “MEMFITNAH,” oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara Nomor 100/PID.B/2018/PN.Jkt.Sel.

Yuris, baik sebagai pengemban hukum praktis maupun sebagai pengemban hukum teoritis seyogianya dituntut untuk selalu bersikap “objektif.” Alih-alih malas membaca putusan pengadilan, sebagian besar analisis hukumnya kerap dan hanya disandarkan pada pemberitaan media. Pada konteks demikian, perbuatan pidana Silfester Matutina yang terbukti sesungguhnya hanya pada Pasal 311 ayat 1 KUHP. Tidak untuk Pasal 310 ayat 1 KUHP (Penistaan lisan), tidak juga untuk Pasal 156 KUHP (Penghinaan bermuatan SARA) yang memang sama sekali tidak pernah didakwakan oleh penuntut umum dalam kasus tersebut.

Perbedaan mendasar antara fitnah dengan penistaan, yaitu kalau fitnah, apa yang dituduhkan oleh pelaku tidak benar adanya. Sebaliknya dalam penistaan, apa yang dituduhkan oleh pelaku benar adanya, tetapi tetap dianggap merusak kehormatan dan nama baik dari orang yang dihina itu. Perbedaan yang hakiki tersebut, tentulah menjadi salah satu alasan sehingga ancaman pidana penjaranya juga dibedakan dalam Bab XVI KUHP.

Lalu, 6 (enam) tahun kemudian, kasus Silfester Matutina setelah melalui upaya hukum banding hingga kasasi di MA. Yaitu dengan berdasarkan Putusan MA Nomor 287 K/Pid/2019 bertanggal 20 Mei 2019 setelah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Silfester Matutina ternyata belum menjalani vonis penjara 1 tahun 6 bulan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Berbagai spekulasi pun muncul terhadap kasus Silfester Matutina itu, ada yang menduga kalau kasus tersebut berada di bawah bayang-bayang perlindungan kekuasaan, ada juga yang tetiba menyalahkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan karena “lalai” melaksanakan eksekusi dari Putusan MA Nomor 287 K/Pid/2019.

Tanpa perlu menyalahkan siapa-siapa, mari kita coba melihat dasar hukum pelaksanaan eksekusi putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal itu dapat diperhatikan sebagaimana dalam Pasal 270 KUHAP yang menegaskan: “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.”

Jadi dasar bagi jaksa melaksanakan eksekusi atas putusan pengadilan, harus menerima dahulu salinan surat putusan dari panitera pengadilan. Dalam kasus Silfester Matutina, yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sudah menerima “salinan Putusan MA Nomor 287 K/Pid/2019,” jika hingga sekarang ternyata Putusan itu masih mengendap di MA, tidak dikirim-kirim atau tidak disampaikan salinannya ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, maka kesalahan administratifnya ada di MA. Tentu lain cerita jika ada intervensi ke Kepaniteraan Pengadilan, sehingga salinan dari putusan itu sengaja tidak disampaikan pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Bisa disoal secara etik, bahkan bisa disoal secara pidana jika terdapat unsur pidana, terutama dalam soal unsur ada suap atau praktik kolusi dan nepoteisme yang menyertainya.

Kaidah yang mengatur mengenai pelaksanaan eksekusi putusan pidana dalam KUHAP kita, dapat dikatakan tidak efektif dan jauh dari penciptaan asas kepastian hukum. Hal tersebut disebabkan sebagaimana dalam Pasal 257 KUHAP, batas waktu pengiriman salinan putusan pengadilan yang berlaku 7 hari sejak putusan, dikecualikan untuk Putusan kasasi MA. Bagaimana dengan RUU KUHAP? Ternyata kurang lebih sama muatan hukumnya, berdasarkan Pasal 296 RUU KUHAP, ada pengecualian limit waktu pula yang berimplikasi akan biasnya, entah kapan salinan putusan kasasi MA harus disampaikan kepada Jaksa selaku eksekutor putusan pidana.
(MAN)
Berita Terkait
Berita Terbaru