Opini
Affan yang Dilindas, Negara yang Diam
Jum'at, 29 Agu 2025 20:53
Ilustrasi insiden seorang ojol Affan yang dilindas mobil barracuda Brimob saat aksi demonstrasi di Jakarta. Sumber Chat GPT
Oleh: Endang Sari
Dosen Ilmu Politik FISIP Unhas
Affan Kurniawan tidak sedang berteriak. Dia tidak membawa spanduk, tidak mengangkat tangan, tidak menantang siapapun. Dia hanya melintas.
Seorang pengemudi ojek online yang seperti jutaan lainnya, hidup dari algoritma dan harapan kecil. Dia melintasi jalan yang dipenuhi demonstran dan aparat. Di sebuah kota yang terlalu sering lupa bahwa tubuh manusia bukan sekadar statistik.
Lalu dia jatuh. Tubuhnya dilindas kendaraan taktis milik Brimob. Dan negara, seperti biasa, lambat bicara. Lambat Merasa.
Michel Faucault pernah menulis bahwa kekuasaan modern tidak lagi bekerja melalui hukuman yang dipertontonkan. Tidak ada lagi tubuh yang digantung di tengah kota. Tidak ada lagi pemancungan di alun-alun.
Kini Kekuasaan bekerja secara halus, menyusup ke dalam tubuh, mengatur gerak, mengawasi napas, menentukan siapa yang boleh hidup dan siapa yang bisa dikorbankan demi stabilitas.
Affan adalah tubuh yang dikorbankan. Dia bukan ancaman. Dia bukan musuh negara. Dia bukan bagian dari kerumunan yang sedang marah. Tapi tubuhnya berada di tempat yang salah, di waktu yang salah, di tengah sitem yang tidak pernah benar-benar peduli pada siapa yang berada di bawah roda.
Foucault menyebut ini biopolitik, cara negara mengatur populasi, bukan melalui hukum, tapi melalui pengelolaan kehidupan. Negara modern tidak membunuh dengan pedang, tapi dengan prosedur. Dengan protokol. Dengan kendaraan taktis yang melaju tanpa jeda. Dengan laporan yang menyebut “terpeleset” sebagai sebab kematian.
Tubuh Affan bukan hanya tubuh yang mati. Dia Adalah tubuh yang tidak dihitung. Tubuh yang tidak masuk dalam kalkulasi politik. Tubuh yang dalam logika kekuasaan, bisa dihapus tanpa konsekuensi. Negara tidak perlu membela diri. Negara cukup diam. Dan diam, dalam sistem kekuasaan modern, adalah bentuk tertinggi dari pengendalian.
Kita hidup dalam zaman dimana tubuh kita diawasi, dikendalikan, dan disusun dalam barisan. Kamera pengawas, aplikasi pelacak, dan data biometric. Tapi pengawasan tidak menjamin perlindungan.
Justru sebaliknya: pengawasan adalah cara negara memastikan bahwa tubuh-tubuh seperti Affan tetap berada di pinggiran. Tetap tidak terlihat. Tetap bisa dikorbankan.
Foucault juga berbicara tentang disiplin tubuh, ini tentang bagaimana institusi seperti militer, sekolah, rumah sakit, dan penjara membentuk perilaku manusia.
Dalam demonstrasi itu, aparat telah dilatih untuk melihat kerumunan sebagai potensi kekacauan. Mereka tidak melihat individu. Mereka melihat massa. Dan massa, dalam logika disiplin, harus dikendalikan. Harus dibubarkan. Harus diam.
Tapi Affan bukan massa. Dia adalah satu tubuh. Satu nyawa. Satu cerita. Affan punya ibu yang menangis di samping jenazahnya. Dia punya adik yang masih sekolah. Dia punya mimpi yang tidak sempat ditulis. Tapi dalam sistem yang terlalu sibuk menjaga ketertiban, tubuh seperti Affan tidak punya tempat. Dia tidak punya suara.
Negara, dalam logika Foucault tidak lagi hadir sebagai pelindung. Dia hadir sebagai pengatur. Sebagai manajer. Negara menentukan siapa yang layak mendapatkan perhatian dan siapa yang bisa dilupakan.
Affan dilupakan. Dia tidak masuk pidato resmi, dia tidak menjadi headline. Dia hanya menjadi angka. Satu korban, satu nama, satu tubuh yang dilindas.
Dalam The History of Sexuality, Foucault menulis: “Power has taken control of both the body and life, and it is no longer a matter of killing, but of managing life.” Negara tidak lagi membunuh secara langsung, tapi mengatur siapa yang boleh hidup dan siapa yang bisa mati secara administratif.
Dalam sistem seperti ini, kematian bukan hasil dari kebencian, tapi dari pengabaian. Dari prosedur. Dari protokol yang tidak pernah mempertimbangkan kemanusiaan
Respon publik terhadap kematian Affan menunjukkan kesadaran publik yang mulai tumbuh. Solidaritas dari komunitas ojek online, mahasiswa, aktivis hak asasi manusia, dan masyarakat sipil menjadi bentuk resistensi terhadap hegemoni negara.
Ini adalah counter-hegemony di mana kelompok-kelompok yang terpinggirkan mulai membangun narasi tandingan dan menuntut keadilan. Tapi perspektif kritis juga mengingatkan bahwa perubahan tidak akan terjadi hanya melalui kemarahan sesaat.
Diperlukan transformasi struktural yang menyeluruh, termasuk reformasi institusi keamanan, perlindungan hukum bagi pekerja informal, dan pembukaan ruang publik yang benar-benar demokratis.
Dan kita sebagai masyarakat terlalu cepat melupakan. Kita sibuk dengan algoritma, dengan notifikasi, dengan urusan yang tidak pernah selesai. Kita tidak sempat berhenti dan bertanya:
Mengapa tubuh seperti Affan bisa mati tanpa pertanggungjawaban? Mengapa negara tidak merasa bersalah? Mengapa kita tidak marah?
Tubuh Affan Adalah tubuh kita. Tubuh yang bekerja, yang berharap, yang melintas di jalan mencari nafkah. Jika tubuh itu bisa dikorbankan tanpa suara, maka kita semua sedang hidup dalam sistem yang gagal. Gagal melindungi. Gagal merasa. Gagal menjadi manusia.
Dan negara, jika masih punya nurani, harus berhenti diam. Karena dalam diam, ada kekuasaan yang terus bekerja. Ada tubuh yang terus dikorbankan. Ada Affan-Affan lain yang mungkin menunggu giliran.
Dosen Ilmu Politik FISIP Unhas
Affan Kurniawan tidak sedang berteriak. Dia tidak membawa spanduk, tidak mengangkat tangan, tidak menantang siapapun. Dia hanya melintas.
Seorang pengemudi ojek online yang seperti jutaan lainnya, hidup dari algoritma dan harapan kecil. Dia melintasi jalan yang dipenuhi demonstran dan aparat. Di sebuah kota yang terlalu sering lupa bahwa tubuh manusia bukan sekadar statistik.
Lalu dia jatuh. Tubuhnya dilindas kendaraan taktis milik Brimob. Dan negara, seperti biasa, lambat bicara. Lambat Merasa.
Michel Faucault pernah menulis bahwa kekuasaan modern tidak lagi bekerja melalui hukuman yang dipertontonkan. Tidak ada lagi tubuh yang digantung di tengah kota. Tidak ada lagi pemancungan di alun-alun.
Kini Kekuasaan bekerja secara halus, menyusup ke dalam tubuh, mengatur gerak, mengawasi napas, menentukan siapa yang boleh hidup dan siapa yang bisa dikorbankan demi stabilitas.
Affan adalah tubuh yang dikorbankan. Dia bukan ancaman. Dia bukan musuh negara. Dia bukan bagian dari kerumunan yang sedang marah. Tapi tubuhnya berada di tempat yang salah, di waktu yang salah, di tengah sitem yang tidak pernah benar-benar peduli pada siapa yang berada di bawah roda.
Foucault menyebut ini biopolitik, cara negara mengatur populasi, bukan melalui hukum, tapi melalui pengelolaan kehidupan. Negara modern tidak membunuh dengan pedang, tapi dengan prosedur. Dengan protokol. Dengan kendaraan taktis yang melaju tanpa jeda. Dengan laporan yang menyebut “terpeleset” sebagai sebab kematian.
Tubuh Affan bukan hanya tubuh yang mati. Dia Adalah tubuh yang tidak dihitung. Tubuh yang tidak masuk dalam kalkulasi politik. Tubuh yang dalam logika kekuasaan, bisa dihapus tanpa konsekuensi. Negara tidak perlu membela diri. Negara cukup diam. Dan diam, dalam sistem kekuasaan modern, adalah bentuk tertinggi dari pengendalian.
Kita hidup dalam zaman dimana tubuh kita diawasi, dikendalikan, dan disusun dalam barisan. Kamera pengawas, aplikasi pelacak, dan data biometric. Tapi pengawasan tidak menjamin perlindungan.
Justru sebaliknya: pengawasan adalah cara negara memastikan bahwa tubuh-tubuh seperti Affan tetap berada di pinggiran. Tetap tidak terlihat. Tetap bisa dikorbankan.
Foucault juga berbicara tentang disiplin tubuh, ini tentang bagaimana institusi seperti militer, sekolah, rumah sakit, dan penjara membentuk perilaku manusia.
Dalam demonstrasi itu, aparat telah dilatih untuk melihat kerumunan sebagai potensi kekacauan. Mereka tidak melihat individu. Mereka melihat massa. Dan massa, dalam logika disiplin, harus dikendalikan. Harus dibubarkan. Harus diam.
Tapi Affan bukan massa. Dia adalah satu tubuh. Satu nyawa. Satu cerita. Affan punya ibu yang menangis di samping jenazahnya. Dia punya adik yang masih sekolah. Dia punya mimpi yang tidak sempat ditulis. Tapi dalam sistem yang terlalu sibuk menjaga ketertiban, tubuh seperti Affan tidak punya tempat. Dia tidak punya suara.
Negara, dalam logika Foucault tidak lagi hadir sebagai pelindung. Dia hadir sebagai pengatur. Sebagai manajer. Negara menentukan siapa yang layak mendapatkan perhatian dan siapa yang bisa dilupakan.
Affan dilupakan. Dia tidak masuk pidato resmi, dia tidak menjadi headline. Dia hanya menjadi angka. Satu korban, satu nama, satu tubuh yang dilindas.
Dalam The History of Sexuality, Foucault menulis: “Power has taken control of both the body and life, and it is no longer a matter of killing, but of managing life.” Negara tidak lagi membunuh secara langsung, tapi mengatur siapa yang boleh hidup dan siapa yang bisa mati secara administratif.
Dalam sistem seperti ini, kematian bukan hasil dari kebencian, tapi dari pengabaian. Dari prosedur. Dari protokol yang tidak pernah mempertimbangkan kemanusiaan
Respon publik terhadap kematian Affan menunjukkan kesadaran publik yang mulai tumbuh. Solidaritas dari komunitas ojek online, mahasiswa, aktivis hak asasi manusia, dan masyarakat sipil menjadi bentuk resistensi terhadap hegemoni negara.
Ini adalah counter-hegemony di mana kelompok-kelompok yang terpinggirkan mulai membangun narasi tandingan dan menuntut keadilan. Tapi perspektif kritis juga mengingatkan bahwa perubahan tidak akan terjadi hanya melalui kemarahan sesaat.
Diperlukan transformasi struktural yang menyeluruh, termasuk reformasi institusi keamanan, perlindungan hukum bagi pekerja informal, dan pembukaan ruang publik yang benar-benar demokratis.
Dan kita sebagai masyarakat terlalu cepat melupakan. Kita sibuk dengan algoritma, dengan notifikasi, dengan urusan yang tidak pernah selesai. Kita tidak sempat berhenti dan bertanya:
Mengapa tubuh seperti Affan bisa mati tanpa pertanggungjawaban? Mengapa negara tidak merasa bersalah? Mengapa kita tidak marah?
Tubuh Affan Adalah tubuh kita. Tubuh yang bekerja, yang berharap, yang melintas di jalan mencari nafkah. Jika tubuh itu bisa dikorbankan tanpa suara, maka kita semua sedang hidup dalam sistem yang gagal. Gagal melindungi. Gagal merasa. Gagal menjadi manusia.
Dan negara, jika masih punya nurani, harus berhenti diam. Karena dalam diam, ada kekuasaan yang terus bekerja. Ada tubuh yang terus dikorbankan. Ada Affan-Affan lain yang mungkin menunggu giliran.
(UMI)
Berita Terkait
News
Skandal Korupsi Ketua KPU Pangkep: Momentum Evaluasi Moral dan Kelembagaan KAHMI Sulsel
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Pangkep kembali tercoreng dengan ditetapkannya Ketua KPU Pangkep, Anggota yang merupakan Divisi Hukum, beserta sekretarisnya sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Pangkep atas dugaan perilaku korupsi dana hibah Pilkada 2024 sebanyak Rp554 juta dari total anggaran dana hibah sebesar Rp26 miliar.
Sabtu, 06 Des 2025 12:25
News
Merestorasi Kelalaian Medik
Upaya merestorasi kelalaian medik, sudah seharusnya menjadi perhatian utama dalam pembaharuan hukum kesehatan di negeri ini. Sayangnya, langkah progresif para penegak hukum
Rabu, 03 Des 2025 10:29
News
Regulasi Ojol Dibahas Kemnaker, Penolakan Driver 'Meledak' di Banyak Kota
Kemnaker RI kembali melanjutkan pembahasan regulasi transportasi daring alias ojek online (ojol) melalui FGD bertema “Sistem Bagi Hasil pada Layanan Transportasi Online”
Jum'at, 28 Nov 2025 11:33
News
Penerapan Azas Hukum Fiktif Positif dalam Tata Kelola Pemerintahan
Pada prinsipnya pemerintah tidak boleh mengambil manfaat dari sikap diamnya, keadaan ini dapat menutup peluang mendapat jawaban bagi orang perseorangan atau perusahaan tanpa batas waktu.
Jum'at, 28 Nov 2025 09:17
News
Jerat Pidana Penculik Anak, Bilqis
Bilqis, anak dari pasangan orang tua Fifi Syahrir dan Dwi Nur Mas alias Dimas yang tiba-tiba menghilang di taman Pakui Sayang, Makassar, saat ayahnya sedang bermain tenis.
Senin, 17 Nov 2025 11:51
Berita Terbaru
Artikel Terpopuler
Topik Terpopuler
1
Siapkan Insentif Rp100 Juta, Appi Tantang RT/RW Kelola Sampah dengan Baik
2
Tembus Wilayah Terisolasi, Tim Relawan UMI Dirikan Posko Kesehatan di Tukka
3
Unhas Pastikan Pakta Integritas Prof Jamaluddin Jompa yang Beredar Palsu
4
Autoclave Pertama Tiba, Proyek HPAL Pomalaa Masuki Fase Kunci
5
Bea Cukai Musnahkan Rokok dan MMEA Ilegal Senilai Rp2,8 Miliar
Artikel Terpopuler
Topik Terpopuler
1
Siapkan Insentif Rp100 Juta, Appi Tantang RT/RW Kelola Sampah dengan Baik
2
Tembus Wilayah Terisolasi, Tim Relawan UMI Dirikan Posko Kesehatan di Tukka
3
Unhas Pastikan Pakta Integritas Prof Jamaluddin Jompa yang Beredar Palsu
4
Autoclave Pertama Tiba, Proyek HPAL Pomalaa Masuki Fase Kunci
5
Bea Cukai Musnahkan Rokok dan MMEA Ilegal Senilai Rp2,8 Miliar