Opini
Sejjil: Dari Karbala Ke Lauh Mahfuzh
Minggu, 22 Jun 2025 06:22

Rudal Sejjil bukan sekadar senjata Iran—ia mewarisi simbol wahyu, sejarah Karbala, dan catatan langit Lauh Mahfuzh. Tafsir militer dalam bahasa ilahi. Illustrasi: ChatGPT
Dalam lanskap militer global, banyak negara menyembunyikan makna di balik kode. Tapi Iran justru memperlihatkannya. Ia tidak hanya merakit senjata, tapi juga menyematkan makna — dari wahyu, dari kata-kata langit, dan dari sejarah.
Rudal bukan lagi sekadar peluru, tapi simbol. Dan seperti semua simbol, ia bicara lebih banyak daripada yang bisa diteriakkan propaganda. Di balik tubuh logam itu, tersembunyi sesuatu yang lebih tua dari teknologi: perlawanan, kenangan, dan takdir yang ditulis — dan mungkin, sedang dijalankan.
Iran memperkenalkan rudal balistik jarak jauhnya dengan nama Sejjil, — dan dunia membacanya lewat spesifikasi teknis, jangkauan, dan daya ledak. Namun bagi telinga yang dibentuk oleh bunyi dan makna Al-Qur’an, nama itu menyimpan gema lain—gema ayat keempat dalam Surah Al-Fil:
“Tarmihim bi ḥijaratin min sijjil”
“Yang melempari mereka dengan batu dari sijjil.”
Sijjil bukan sekadar istilah batu. Ia adalah batu langit, batu yang membawa azab, batu yang berasal dari sesuatu yang lebih purba: lauḥ, tempat segala takdir ditulis. Dalam khazanah tafsir spiritual, apa yang tertulis di Lauh Mahfuzh akan turun ke bumi dalam bentuk azab atau rahmat—dan sijjil adalah ekspresi paling keras dari kehendak itu.
Dalam kajian etimologis, kata “sijjil” diyakini berasal dari akar Persia kuno sang-e gil — “batu dari tanah liat” — atau dari bahasa Aram/Suryani yang berarti catatan atau lembaran hukum. Maka, sebelum menjadi istilah Qur’ani, Sijjil telah hidup dalam imajinasi linguistik bangsa-bangsa Semitik dan Iranik sebagai sesuatu yang keras, tertulis, dan tak tergoyahkan.
Inilah yang menjadikan nama rudal Sejjil sarat ironi: Iran, warisan Persia kuno, menghidupkan kembali akar katanya bukan sebagai aksara, tapi sebagai amunisi. Apa yang dahulu adalah catatan langit, kini menjadi ancaman bumi. Rudal itu meluncur dari padang gurun, tetapi namanya jatuh dari langit. Sejjil bukan hanya proyektil, ia adalah simbol tafsir yang berubah menjadi senjata—pertemuan antara wahyu dan logam, antara kitab dan konflik.
Di tengah teks suci, dua kata ini berdiri sebagai poros vertikal antara langit dan bumi: lauḥ dan sijjil. Yang satu menyimpan, yang satu melempar. Yang satu mencatat takdir, yang satu mewujudkannya. Bersama-sama, mereka membentuk matriks simbolik yang menjelaskan bagaimana wahyu bekerja — bukan hanya sebagai kata, tetapi sebagai kejadian.
Kata “lauḥ” dalam bahasa Arab berasal dari akar kata yang berarti permukaan datar tempat menulis — bisa berupa papan kayu, batu, atau logam. Akar Semitik ini muncul pula dalam bahasa Ibrani: “Luach”, yang berarti tablet, dan dalam tradisi Yahudi-Kristen merujuk pada “Tablets of Stone” — loh-loh batu tempat sepuluh perintah Tuhan ditulis dan diberikan kepada Nabi Musa di Gunung Sinai.
Al-Qur’an menyebut Lauḥ Mahfuẓh (papan yang terpelihara) sebagai tempat tersimpannya segala kehendak Tuhan:
“Bal huwa Qur’anun majid, fī lauḥin maḥfuẓh.”
(QS Al-Burūj 85:21–22)
Dalam tafsir klasik, “lauḥ” dipahami sebagai catatan azali — tempat seluruh garis nasib, wahyu, dan keputusan ilahiah ditulis dan dijaga. Dalam tafsir isyari, “lauḥ” adalah cakrawala simbolik, di mana realitas duniawi hanyalah bayangannya. Apa yang terjadi di bumi adalah perwujudan dari tulisan di langit.
Jika lauḥ adalah catatan, maka sijjil adalah pelaksanaannya. Dalam Surah Al-Fil, kaum Abrahah dihancurkan dengan batu dari sijjil. Dalam Surah Hud (11:82) dan Al-Ḥijr (15:74), kaum Nabi Luṭ dihujani dengan ḥijārah min sijjil — batu dari tanah liat yang terbakar.
Secara etimologis, sijjil menggabungkan dua dunia:
Fisik: berasal dari bahasa Persia kuno sang-e gil (batu dari tanah liat yang mengeras);
Metafisik: berasal dari rumpun Aram/Suryani, berarti catatan atau tulisan hukum.
Karena itu, dalam logika Al-Qur’an — di mana apa yang tertulis pasti terjadi — sijjil kerap dipahami, bukan hanya sebagai batu, tetapi sebagai catatan dosa yang dieksekusi menjadi azab. Sebagian mufassir, seperti Al-Alusi, menafsirkan bahwa:
“Setiap azab yang turun dari langit adalah pelaksanaan dari lauh-lauh yang telah ditulis, dan batu-batu Sijjil adalah tinta murka Tuhan.”
Salah satu tafsir simbolik yang dapat diajukan secara spekulatif adalah bahwa “sijjīl” merupakan metafora dari serangan batu api berskala besar dari — senjata pelontar seperti catapult atau jebakan batu — yang digunakan untuk melawan pasukan Abrahah. Sebagai panglima yang terlalu percaya diri dan arogan, Abrahah mungkin tidak mempersiapkan pasukannya menghadapi perlawanan di wilayah yang asing. Maka kehancurannya menjadi bukan sekadar kekalahan militer, tetapi juga simbol runtuhnya kesombongan oleh kekuatan yang tak terduga.
Ini bukan sekadar gambaran puitik. Ini adalah teologi peristiwa: bahwa setiap bencana, penghukuman, atau kehancuran bisa dibaca sebagai teks langit yang jatuh ke tanah dalam bentuk keras dan membara.
Antara lauḥ dan sijjil terbentang hubungan spiritual yang mengguncang:
Lauḥ menyimpan, Sijjil menghantam;
Lauḥ mencatat, Sijjil membuktikan;
Apa yang ditulis di langit, dijatuhkan ke bumi sebagai azab.
Dalam tafsir ini, rudal Sejjil buatan Iran berdiri bukan hanya sebagai senjata, tetapi sebagai metafora profetik: batu dari tanah liat yang mengeras, dinamai dari ayat, diluncurkan sebagai eksekusi. Ia bukan hanya senjata, tapi perwujudan dari sebuah kalimat ilahi yang telah lama ditulis — dan kini, ditembakkan.
Tidak banyak negara di dunia modern yang menamai rudal dengan kutipan kitab suci. Ketika Iran menyebut salah satu rudal balistik jarak jauhnya dengan nama Sejjil, itu bukan sekadar keputusan branding militer — melainkan bagian dari sebuah strategi simbolik yang panjang dan sadar. Iran tidak sekadar membangun senjata, tetapi juga membangun narasi tentang senjata itu.
Sejak Revolusi Islam 1979, Iran tidak hanya memproyeksikan kekuatan lewat misil dan milisi, tetapi juga melalui bahasa yang mereka pilih untuk menyebut kekuatan itu. Bahasa menjadi bagian dari medan tempur, dan setiap kata mengandung beban sejarah, teologi, bahkan eskatologi.
Rudal Sejjil, misalnya, bukan dinamai berdasarkan karakteristik teknis seperti jangkauan atau bahan bakar, tetapi berdasarkan sebuah ayat yang merujuk pada batu dari langit yang menghancurkan pasukan arogan. Dengan nama itu, Iran tidak hanya menyatakan kekuatan militer, tetapi juga mengklaim posisi spiritual: bahwa proyektil mereka bukan sekadar buatan manusia, tetapi bayang-bayang dari azab Tuhan di masa lalu. Rudal itu bukan hanya senjata bumi — ia adalah reinkarnasi simbolik dari kehendak langit.
Simbolisme semacam ini bukan kasus tunggal. Rudal lain dinamai Zulfikar, pedang legendaris milik Ali bin Abi Thalib — tokoh sentral dalam spiritualitas Syiah. Nama-nama seperti Khaibar, Imam Mahdi, hingga Shahed (saksi/syahid) muncul dalam berbagai sistem persenjataan dan drone. Dalam banyak kasus, senjata-senjata ini dibingkai sebagai warisan spiritual dari tokoh-tokoh suci — bukan hanya hasil rekayasa teknik, tetapi manifestasi dari narasi ilahiah.
Strategi ini menempatkan Iran dalam posisi unik. Ia bukan hanya negara, tapi juga “cerita” — cerita tentang perlawanan, keadilan, pengorbanan, dan penantian. Dalam cerita ini, musuh-musuh Iran (baik dari dunia Barat maupun dunia Arab Sunni) sering kali dikonstruksi sebagai Yazid baru, sementara diri mereka sendiri sebagai Husain kontemporer, atau pasukan ghaib Imam Mahdi yang tengah menanti waktu kemunculannya.
Dengan demikian, setiap teknologi militer yang mereka bangun tidak pernah sepenuhnya netral. Ia selalu dibebani makna. Ia adalah tubuh logam yang disulap menjadi teks — sebuah ayat dalam bahasa api. Dan seperti ayat sejati, ia tidak berhenti pada makna literal, melainkan terus memantul dalam medan ideologis, spiritual, dan politis.
Di banyak tempat, sejarah adalah sesuatu yang ditinggal. Namun dalam narasi Syiah — khususnya dalam visi ideologis Iran pascarevolusi — sejarah tidak lewat; ia berulang. Dan yang paling sering diulang, dihidupkan, dan dikobarkan, adalah Karbala.
Karbala bukan sekadar tragedi masa lalu; ia telah menjadi arsitektur ideologis, kerangka naratif, bahkan kerangka emosional bagi ribuan peristiwa kontemporer: dari perang melawan Saddam Hussein hingga konflik di Gaza, dari perang Yaman hingga perlawanan terhadap sanksi internasional. Di setiap medan, Husain hadir sebagai simbol pengorbanan, dan Yazid sebagai wajah kekuasaan zalim yang berubah-ubah bentuk.
Narasi ini sangat efektif karena menyentuh lapisan terdalam psikologi kolektif: rasa duka, pengkhianatan, keterasingan, tetapi juga keberanian untuk tetap tegak meski kalah jumlah. Dalam konteks Iran, Karbala bukan hanya dikenang dalam majelis Asyura, tetapi juga di poster militer, nama brigade, hingga pidato pejabat tinggi. Imam Husain tidak diposisikan sebagai simbol pasif, tetapi sebagai archetype perlawanan mutlak, bahkan ketika tahu bahwa kemenangan tidak datang dalam bentuk duniawi.
Inilah sebabnya mengapa rudal bisa dinamai Sejjil, senjata dijuluki Zulfikar, dan drone dinamai Shahed. Semua ini bukan sekadar pilihan nama, tetapi ritual penubuhan kembali Karbala dalam realitas geopolitik modern. Peperangan tidak sekadar dimenangkan dengan peluru, tapi dengan hak untuk menyusun kisah: siapa yang dizalimi, siapa yang menegakkan keadilan, dan siapa yang mewakili langit.
Lebih dari itu, narasi Karbala memberi justifikasi religius sekaligus etis untuk tindakan militer: ketika setiap konflik bisa dibingkai sebagai “perlawanan terhadap Yazid,” maka tidak ada medan perang yang benar-benar abu-abu. Ini bukan perang negara versus negara, tapi pertempuran makna. Dengan demikian, Karbala bukan latar belakang sejarah, melainkan fondasi epistemologis dan moral dari strategi militer dan diplomasi Iran.
Simbol selalu membawa daya — tapi daya itu tidak selalu hadir dalam satu wajah. Ia bisa menjadi cahaya yang menerangi, atau bayangan yang menutupi. Ketika sebuah rudal dinamai Sejjil, atau drone disebut Shahed, kita berhadapan bukan hanya dengan kecanggihan teknologi, tetapi dengan bahasa yang dipinjam dari langit. Dan setiap pinjaman dari langit menuntut tanggung jawab moral yang tidak ringan.
Dalam satu sisi, penggunaan nama-nama suci untuk alat pertahanan atau perlawanan bisa dipahami sebagai bentuk peneguhan identitas spiritual. Ia menandakan bahwa perjuangan ini bukan semata soal tanah dan taktik, tetapi juga keyakinan, kehormatan, bahkan nubuat. Dalam cara pandang ini, senjata bukan sekadar logam — tetapi bagian dari narasi iman yang hidup dan bergerak.
Namun di sisi lain, pertanyaan tetap mengemuka: apakah semua ini memang tumbuh dari kedalaman spiritualitas, ataukah sebagian lahir dari kebutuhan politik? Apakah simbol-simbol ini membimbing nurani, atau sekadar membingkai strategi? Ketika setiap rudal diberi nama dari ayat, setiap musuh disebut Yazid, dan setiap konflik dipanggil Karbala — kita perlu sejenak bertanya: adakah ruang untuk jeda, untuk ragu, untuk mendengar suara di luar gema sendiri?
Bukan untuk membatalkan makna, tetapi untuk menjaganya tetap hidup. Karena simbol, jika terlalu sering digunakan tanpa napas refleksi, bisa kehilangan keajaibannya. Ia berubah dari jendela ke langit menjadi dinding yang membatasi. Dan wahyu, jika dibawa terlalu jauh ke dalam kerangka kuasa, bisa kehilangan aroma kasih dan kelembutannya. Perlawanan adalah bagian dari kehormatan — tapi kehormatan sejati tidak pernah tumbuh dari pengabaian terhadap keraguan. Justru dari keraguan yang jujur, kita menjaga makna tetap bergerak, tidak membatu. Maka ketika ayat menjadi proyektil, biarlah ia tetap diiringi bisikan hati: apakah ini benar-benar cermin langit, atau hanya bayangannya yang jatuh ke bumi?
Dalam dunia yang terus berubah oleh arus globalisasi, banyak negara kehilangan suara aslinya — larut dalam bahasa teknokratik dan strategi pragmatis. Namun Iran, dengan segala kompleksitas dan kontroversinya, memilih jalur yang jarang ditempuh: membangun kekuatan dengan bahasa warisan, dengan simbol, dengan kisah.
Ia memberi nama pada misil bukan dari pabrik, tapi dari kitab. Ia menyusun strategi bukan hanya dari meja diplomasi, tapi dari majelis Asyura. Dan dari situ, lahirlah sebuah negara yang — suka atau tidak — disegani, baik oleh lawan maupun kawan. Bukan semata karena kekuatan senjatanya, tetapi karena kekuatan narasinya.
Negara yang bertahan bukan hanya dengan cadangan minyak dan aliansi militer, tapi dengan poros makna: dari Sejjil hingga Shahed, dari Zulfikar hingga Mahdi. Simbol yang hidup, bukan sebagai hiasan, tapi sebagai fondasi.
Tentu, jalan itu tidak tanpa resiko. Simbol yang diberi terlalu banyak beban bisa retak. Tapi setidaknya, Iran menunjukkan bahwa negara tidak harus dibangun dari nihilisme. Ia bisa dibangun dari memori, dari kitab, dari sejarah yang dirawat dan dimaknai ulang — bahkan jika makna itu menyulut api.
Dari Karbala ke Lauh Mahfuzh, lalu jatuh ke bumi sebagai Sejjil — inilah bahasa yang tidak sekadar diucapkan, tetapi ditembakkan.
Dan mungkin justru karena itu, dunia menoleh. Karena di tengah keheningan global yang dipenuhi jargon, masih ada negara yang berbicara dengan bahasa langit.
Artikel ini menggunakan pendekatan tafsir simbolik lintas tradisi dan tidak dimaksudkan untuk mendukung narasi politik tertentu. Penulis mengajak pembaca untuk memahami bagaimana simbol-simbol religius bekerja dalam ruang kekuasaan, perlawanan, dan makna kolektif. Redaksi menerima tulisan ini dari seorang pembaca yang meminta untuk tidak disebutkan namanya. Tulisan telah disunting untuk kepentingan keterbacaan
Rudal bukan lagi sekadar peluru, tapi simbol. Dan seperti semua simbol, ia bicara lebih banyak daripada yang bisa diteriakkan propaganda. Di balik tubuh logam itu, tersembunyi sesuatu yang lebih tua dari teknologi: perlawanan, kenangan, dan takdir yang ditulis — dan mungkin, sedang dijalankan.
Ketika Rudal Mengutip Wahyu
Iran memperkenalkan rudal balistik jarak jauhnya dengan nama Sejjil, — dan dunia membacanya lewat spesifikasi teknis, jangkauan, dan daya ledak. Namun bagi telinga yang dibentuk oleh bunyi dan makna Al-Qur’an, nama itu menyimpan gema lain—gema ayat keempat dalam Surah Al-Fil:“Tarmihim bi ḥijaratin min sijjil”
“Yang melempari mereka dengan batu dari sijjil.”
Sijjil bukan sekadar istilah batu. Ia adalah batu langit, batu yang membawa azab, batu yang berasal dari sesuatu yang lebih purba: lauḥ, tempat segala takdir ditulis. Dalam khazanah tafsir spiritual, apa yang tertulis di Lauh Mahfuzh akan turun ke bumi dalam bentuk azab atau rahmat—dan sijjil adalah ekspresi paling keras dari kehendak itu.
Dalam kajian etimologis, kata “sijjil” diyakini berasal dari akar Persia kuno sang-e gil — “batu dari tanah liat” — atau dari bahasa Aram/Suryani yang berarti catatan atau lembaran hukum. Maka, sebelum menjadi istilah Qur’ani, Sijjil telah hidup dalam imajinasi linguistik bangsa-bangsa Semitik dan Iranik sebagai sesuatu yang keras, tertulis, dan tak tergoyahkan.
Inilah yang menjadikan nama rudal Sejjil sarat ironi: Iran, warisan Persia kuno, menghidupkan kembali akar katanya bukan sebagai aksara, tapi sebagai amunisi. Apa yang dahulu adalah catatan langit, kini menjadi ancaman bumi. Rudal itu meluncur dari padang gurun, tetapi namanya jatuh dari langit. Sejjil bukan hanya proyektil, ia adalah simbol tafsir yang berubah menjadi senjata—pertemuan antara wahyu dan logam, antara kitab dan konflik.
Lauh dan Sijjil: Dua Simbol dari Langit
Di tengah teks suci, dua kata ini berdiri sebagai poros vertikal antara langit dan bumi: lauḥ dan sijjil. Yang satu menyimpan, yang satu melempar. Yang satu mencatat takdir, yang satu mewujudkannya. Bersama-sama, mereka membentuk matriks simbolik yang menjelaskan bagaimana wahyu bekerja — bukan hanya sebagai kata, tetapi sebagai kejadian. Kata “lauḥ” dalam bahasa Arab berasal dari akar kata yang berarti permukaan datar tempat menulis — bisa berupa papan kayu, batu, atau logam. Akar Semitik ini muncul pula dalam bahasa Ibrani: “Luach”, yang berarti tablet, dan dalam tradisi Yahudi-Kristen merujuk pada “Tablets of Stone” — loh-loh batu tempat sepuluh perintah Tuhan ditulis dan diberikan kepada Nabi Musa di Gunung Sinai.
Al-Qur’an menyebut Lauḥ Mahfuẓh (papan yang terpelihara) sebagai tempat tersimpannya segala kehendak Tuhan:
“Bal huwa Qur’anun majid, fī lauḥin maḥfuẓh.”
(QS Al-Burūj 85:21–22)
Dalam tafsir klasik, “lauḥ” dipahami sebagai catatan azali — tempat seluruh garis nasib, wahyu, dan keputusan ilahiah ditulis dan dijaga. Dalam tafsir isyari, “lauḥ” adalah cakrawala simbolik, di mana realitas duniawi hanyalah bayangannya. Apa yang terjadi di bumi adalah perwujudan dari tulisan di langit.
Jika lauḥ adalah catatan, maka sijjil adalah pelaksanaannya. Dalam Surah Al-Fil, kaum Abrahah dihancurkan dengan batu dari sijjil. Dalam Surah Hud (11:82) dan Al-Ḥijr (15:74), kaum Nabi Luṭ dihujani dengan ḥijārah min sijjil — batu dari tanah liat yang terbakar.
Secara etimologis, sijjil menggabungkan dua dunia:
Fisik: berasal dari bahasa Persia kuno sang-e gil (batu dari tanah liat yang mengeras);
Metafisik: berasal dari rumpun Aram/Suryani, berarti catatan atau tulisan hukum.
Karena itu, dalam logika Al-Qur’an — di mana apa yang tertulis pasti terjadi — sijjil kerap dipahami, bukan hanya sebagai batu, tetapi sebagai catatan dosa yang dieksekusi menjadi azab. Sebagian mufassir, seperti Al-Alusi, menafsirkan bahwa:
“Setiap azab yang turun dari langit adalah pelaksanaan dari lauh-lauh yang telah ditulis, dan batu-batu Sijjil adalah tinta murka Tuhan.”
Salah satu tafsir simbolik yang dapat diajukan secara spekulatif adalah bahwa “sijjīl” merupakan metafora dari serangan batu api berskala besar dari — senjata pelontar seperti catapult atau jebakan batu — yang digunakan untuk melawan pasukan Abrahah. Sebagai panglima yang terlalu percaya diri dan arogan, Abrahah mungkin tidak mempersiapkan pasukannya menghadapi perlawanan di wilayah yang asing. Maka kehancurannya menjadi bukan sekadar kekalahan militer, tetapi juga simbol runtuhnya kesombongan oleh kekuatan yang tak terduga.
Ini bukan sekadar gambaran puitik. Ini adalah teologi peristiwa: bahwa setiap bencana, penghukuman, atau kehancuran bisa dibaca sebagai teks langit yang jatuh ke tanah dalam bentuk keras dan membara.
Antara lauḥ dan sijjil terbentang hubungan spiritual yang mengguncang:
Lauḥ menyimpan, Sijjil menghantam;
Lauḥ mencatat, Sijjil membuktikan;
Apa yang ditulis di langit, dijatuhkan ke bumi sebagai azab.
Dalam tafsir ini, rudal Sejjil buatan Iran berdiri bukan hanya sebagai senjata, tetapi sebagai metafora profetik: batu dari tanah liat yang mengeras, dinamai dari ayat, diluncurkan sebagai eksekusi. Ia bukan hanya senjata, tapi perwujudan dari sebuah kalimat ilahi yang telah lama ditulis — dan kini, ditembakkan.
Iran dan Strategi Bahasa Langit
Tidak banyak negara di dunia modern yang menamai rudal dengan kutipan kitab suci. Ketika Iran menyebut salah satu rudal balistik jarak jauhnya dengan nama Sejjil, itu bukan sekadar keputusan branding militer — melainkan bagian dari sebuah strategi simbolik yang panjang dan sadar. Iran tidak sekadar membangun senjata, tetapi juga membangun narasi tentang senjata itu. Sejak Revolusi Islam 1979, Iran tidak hanya memproyeksikan kekuatan lewat misil dan milisi, tetapi juga melalui bahasa yang mereka pilih untuk menyebut kekuatan itu. Bahasa menjadi bagian dari medan tempur, dan setiap kata mengandung beban sejarah, teologi, bahkan eskatologi.
Rudal Sejjil, misalnya, bukan dinamai berdasarkan karakteristik teknis seperti jangkauan atau bahan bakar, tetapi berdasarkan sebuah ayat yang merujuk pada batu dari langit yang menghancurkan pasukan arogan. Dengan nama itu, Iran tidak hanya menyatakan kekuatan militer, tetapi juga mengklaim posisi spiritual: bahwa proyektil mereka bukan sekadar buatan manusia, tetapi bayang-bayang dari azab Tuhan di masa lalu. Rudal itu bukan hanya senjata bumi — ia adalah reinkarnasi simbolik dari kehendak langit.
Simbolisme semacam ini bukan kasus tunggal. Rudal lain dinamai Zulfikar, pedang legendaris milik Ali bin Abi Thalib — tokoh sentral dalam spiritualitas Syiah. Nama-nama seperti Khaibar, Imam Mahdi, hingga Shahed (saksi/syahid) muncul dalam berbagai sistem persenjataan dan drone. Dalam banyak kasus, senjata-senjata ini dibingkai sebagai warisan spiritual dari tokoh-tokoh suci — bukan hanya hasil rekayasa teknik, tetapi manifestasi dari narasi ilahiah.
Strategi ini menempatkan Iran dalam posisi unik. Ia bukan hanya negara, tapi juga “cerita” — cerita tentang perlawanan, keadilan, pengorbanan, dan penantian. Dalam cerita ini, musuh-musuh Iran (baik dari dunia Barat maupun dunia Arab Sunni) sering kali dikonstruksi sebagai Yazid baru, sementara diri mereka sendiri sebagai Husain kontemporer, atau pasukan ghaib Imam Mahdi yang tengah menanti waktu kemunculannya.
Dengan demikian, setiap teknologi militer yang mereka bangun tidak pernah sepenuhnya netral. Ia selalu dibebani makna. Ia adalah tubuh logam yang disulap menjadi teks — sebuah ayat dalam bahasa api. Dan seperti ayat sejati, ia tidak berhenti pada makna literal, melainkan terus memantul dalam medan ideologis, spiritual, dan politis.
Karbala Bukan Sejarah, Tapi Arsitektur Ideologis
Di banyak tempat, sejarah adalah sesuatu yang ditinggal. Namun dalam narasi Syiah — khususnya dalam visi ideologis Iran pascarevolusi — sejarah tidak lewat; ia berulang. Dan yang paling sering diulang, dihidupkan, dan dikobarkan, adalah Karbala. Karbala bukan sekadar tragedi masa lalu; ia telah menjadi arsitektur ideologis, kerangka naratif, bahkan kerangka emosional bagi ribuan peristiwa kontemporer: dari perang melawan Saddam Hussein hingga konflik di Gaza, dari perang Yaman hingga perlawanan terhadap sanksi internasional. Di setiap medan, Husain hadir sebagai simbol pengorbanan, dan Yazid sebagai wajah kekuasaan zalim yang berubah-ubah bentuk.
Narasi ini sangat efektif karena menyentuh lapisan terdalam psikologi kolektif: rasa duka, pengkhianatan, keterasingan, tetapi juga keberanian untuk tetap tegak meski kalah jumlah. Dalam konteks Iran, Karbala bukan hanya dikenang dalam majelis Asyura, tetapi juga di poster militer, nama brigade, hingga pidato pejabat tinggi. Imam Husain tidak diposisikan sebagai simbol pasif, tetapi sebagai archetype perlawanan mutlak, bahkan ketika tahu bahwa kemenangan tidak datang dalam bentuk duniawi.
Inilah sebabnya mengapa rudal bisa dinamai Sejjil, senjata dijuluki Zulfikar, dan drone dinamai Shahed. Semua ini bukan sekadar pilihan nama, tetapi ritual penubuhan kembali Karbala dalam realitas geopolitik modern. Peperangan tidak sekadar dimenangkan dengan peluru, tapi dengan hak untuk menyusun kisah: siapa yang dizalimi, siapa yang menegakkan keadilan, dan siapa yang mewakili langit.
Lebih dari itu, narasi Karbala memberi justifikasi religius sekaligus etis untuk tindakan militer: ketika setiap konflik bisa dibingkai sebagai “perlawanan terhadap Yazid,” maka tidak ada medan perang yang benar-benar abu-abu. Ini bukan perang negara versus negara, tapi pertempuran makna. Dengan demikian, Karbala bukan latar belakang sejarah, melainkan fondasi epistemologis dan moral dari strategi militer dan diplomasi Iran.
Kritik dan Ambivalensi: Ketika Ayat Menjadi Proyektil
Simbol selalu membawa daya — tapi daya itu tidak selalu hadir dalam satu wajah. Ia bisa menjadi cahaya yang menerangi, atau bayangan yang menutupi. Ketika sebuah rudal dinamai Sejjil, atau drone disebut Shahed, kita berhadapan bukan hanya dengan kecanggihan teknologi, tetapi dengan bahasa yang dipinjam dari langit. Dan setiap pinjaman dari langit menuntut tanggung jawab moral yang tidak ringan. Dalam satu sisi, penggunaan nama-nama suci untuk alat pertahanan atau perlawanan bisa dipahami sebagai bentuk peneguhan identitas spiritual. Ia menandakan bahwa perjuangan ini bukan semata soal tanah dan taktik, tetapi juga keyakinan, kehormatan, bahkan nubuat. Dalam cara pandang ini, senjata bukan sekadar logam — tetapi bagian dari narasi iman yang hidup dan bergerak.
Namun di sisi lain, pertanyaan tetap mengemuka: apakah semua ini memang tumbuh dari kedalaman spiritualitas, ataukah sebagian lahir dari kebutuhan politik? Apakah simbol-simbol ini membimbing nurani, atau sekadar membingkai strategi? Ketika setiap rudal diberi nama dari ayat, setiap musuh disebut Yazid, dan setiap konflik dipanggil Karbala — kita perlu sejenak bertanya: adakah ruang untuk jeda, untuk ragu, untuk mendengar suara di luar gema sendiri?
Bukan untuk membatalkan makna, tetapi untuk menjaganya tetap hidup. Karena simbol, jika terlalu sering digunakan tanpa napas refleksi, bisa kehilangan keajaibannya. Ia berubah dari jendela ke langit menjadi dinding yang membatasi. Dan wahyu, jika dibawa terlalu jauh ke dalam kerangka kuasa, bisa kehilangan aroma kasih dan kelembutannya. Perlawanan adalah bagian dari kehormatan — tapi kehormatan sejati tidak pernah tumbuh dari pengabaian terhadap keraguan. Justru dari keraguan yang jujur, kita menjaga makna tetap bergerak, tidak membatu. Maka ketika ayat menjadi proyektil, biarlah ia tetap diiringi bisikan hati: apakah ini benar-benar cermin langit, atau hanya bayangannya yang jatuh ke bumi?
Penutup: Bahasa Langit dan Negara yang Berdiri
Dalam dunia yang terus berubah oleh arus globalisasi, banyak negara kehilangan suara aslinya — larut dalam bahasa teknokratik dan strategi pragmatis. Namun Iran, dengan segala kompleksitas dan kontroversinya, memilih jalur yang jarang ditempuh: membangun kekuatan dengan bahasa warisan, dengan simbol, dengan kisah. Ia memberi nama pada misil bukan dari pabrik, tapi dari kitab. Ia menyusun strategi bukan hanya dari meja diplomasi, tapi dari majelis Asyura. Dan dari situ, lahirlah sebuah negara yang — suka atau tidak — disegani, baik oleh lawan maupun kawan. Bukan semata karena kekuatan senjatanya, tetapi karena kekuatan narasinya.
Negara yang bertahan bukan hanya dengan cadangan minyak dan aliansi militer, tapi dengan poros makna: dari Sejjil hingga Shahed, dari Zulfikar hingga Mahdi. Simbol yang hidup, bukan sebagai hiasan, tapi sebagai fondasi.
Tentu, jalan itu tidak tanpa resiko. Simbol yang diberi terlalu banyak beban bisa retak. Tapi setidaknya, Iran menunjukkan bahwa negara tidak harus dibangun dari nihilisme. Ia bisa dibangun dari memori, dari kitab, dari sejarah yang dirawat dan dimaknai ulang — bahkan jika makna itu menyulut api.
Dari Karbala ke Lauh Mahfuzh, lalu jatuh ke bumi sebagai Sejjil — inilah bahasa yang tidak sekadar diucapkan, tetapi ditembakkan.
Dan mungkin justru karena itu, dunia menoleh. Karena di tengah keheningan global yang dipenuhi jargon, masih ada negara yang berbicara dengan bahasa langit.
Artikel ini menggunakan pendekatan tafsir simbolik lintas tradisi dan tidak dimaksudkan untuk mendukung narasi politik tertentu. Penulis mengajak pembaca untuk memahami bagaimana simbol-simbol religius bekerja dalam ruang kekuasaan, perlawanan, dan makna kolektif. Redaksi menerima tulisan ini dari seorang pembaca yang meminta untuk tidak disebutkan namanya. Tulisan telah disunting untuk kepentingan keterbacaan
(mhj)
Berita Terkait

News
Akal Sehat: Jalan Menuju Tuhan ala Rocky Gerung
Menggali makna “akal sehat” Rocky Gerung sebagai jalan spiritual yang menolak dogma dan menegaskan tanggung jawab nalar dalam iman dan demokrasi.
Kamis, 12 Jun 2025 23:23

Sulsel
Membangun Kemajuan Melalui Pendidikan, Kesehatan dan Cinta untuk Lansia
Di tanah yang subur bernama Bumi Batara Guru, jantung legenda dan kebanggaan Tana Luwu. Disinilah, narasi yang dikisahkan dan diwariskan turun-temurun melalui kitab terpanjang bernama La Galigo.
Senin, 21 Apr 2025 09:30

News
Peranan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam Organisasi
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) memiliki peran strategis dalam sebuah organisasi karena bertugas mengelola aset paling berharga, yaitu karyawan.
Jum'at, 20 Des 2024 08:53

News
Masa Tenang, Refleksi Paslon, Penyelenggara & Pemilih di Pilkada Pangkep
Masa kampanye telah berakhir. Saat ini tahapan Pilkada 2024 telah memasuki Masa Tenang, dimana tidak ada lagi aktifitas kampanye yang dilakukan seluruh pasangan calon. Sebagaimana diatur dalam PKPU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota.
Senin, 25 Nov 2024 19:37

News
Fenomena Kunjungan Kandidat Cagub, Cawalkot hingga Cabub ke Sinode Gereja Toraja
Sejauh ini, dua Calon Gubernur Sulsel, Cabup Tana Toraja, Toraja Utara, Luwu, Luwu Timur, Cawalkot Makassar, Palopo dan yang lainnya silih berganti melakukan kunjungan ke Sinode Gereja Toraja.
Sabtu, 12 Okt 2024 11:23
Berita Terbaru
Artikel Terpopuler
Topik Terpopuler
1

NH, TP dan IAS Konsolidasi Pengurus DPD II Jelang Musda Golkar Sulsel
2

SPIDI Maros Wisuda 133 Santriwati, Cetak 400 Prestasi Dalam Setahun
3

Kembali Mesra Jelang Musda Golkar Sulsel, NH Doakan yang Terbaik untuk TP
4

Hari Laut Sedunia, Novotel Makassar Pelopori Aksi Bersih Sampah di Pantai Losari
5

Legislator Luwu Timur Sebut PT Vale Pionir Tambang Ramah Lingkungan
Artikel Terpopuler
Topik Terpopuler
1

NH, TP dan IAS Konsolidasi Pengurus DPD II Jelang Musda Golkar Sulsel
2

SPIDI Maros Wisuda 133 Santriwati, Cetak 400 Prestasi Dalam Setahun
3

Kembali Mesra Jelang Musda Golkar Sulsel, NH Doakan yang Terbaik untuk TP
4

Hari Laut Sedunia, Novotel Makassar Pelopori Aksi Bersih Sampah di Pantai Losari
5

Legislator Luwu Timur Sebut PT Vale Pionir Tambang Ramah Lingkungan