Opini
Akal Sehat: Jalan Menuju Tuhan ala Rocky Gerung
Kamis, 12 Jun 2025 23:23

Dalam dunia yang penuh kebisingan dan simbol-simbol kosong, ajakan Rocky bukanlah meninggalkan Tuhan. tapi menemukan-Nya kembali. IIlustrasi: ChatGPT
Di tengah hiruk pikuk politik, sorotan media, dan pertarungan opini, nama Rocky Gerung kerap muncul sebagai pengacau narasi dominan. Ia menyebut dirinya tidak beragama, tapi tidak anti-Tuhan. Ia mengkritik agama, namun tidak menghina iman. Dan satu frasa yang paling sering ia gunakan — bahkan menjadi identitasnya — adalah "akal sehat."
Namun, apakah "akal sehat" yang ia maksud hanya sekadar common sense? Atau ada sesuatu yang lebih dalam?
Rocky tampaknya tidak sedang bicara tentang akal praktis, melainkan akal jernih. Akal yang belum tercemar oleh hasrat kekuasaan, ketakutan kolektif, atau dogma buta. Dalam banyak forum, ia justru menyerukan agar rakyat “mengembalikan republik kepada akal sehat.” Ini bukan seruan politik biasa, tapi panggilan reflektif untuk kembali ke kesadaran dasar manusia: berpikir jernih, merdeka — dan bertanggung jawab.
Dalam posisi ini, Rocky sejajar dengan tradisi para filsuf, baik Timur maupun Barat. Filsuf Islam seperti Al-Farabi dan Ibn Sina memandang ’aql sebagai pintu menuju haqq — kebenaran sejati, bahkan kepada Tuhan. Di Barat, Descartes memulai pencarian eksistensialnya melalui keraguan dan berpikir. Sementara Kant meletakkan akal sebagai sumber utama hukum moral yang universal.
Mereka semua, meskipun dalam ekspresi berbeda, menyiratkan bahwa Tuhan ditemukan bukan lewat ketundukan pasif, tapi melalui kejernihan nalar dan kebebasan berpikir. Dalam cara Rocky, “akal sehat” adalah jembatan menuju kesadaran itu.
Namun, kejernihan nalar sering terhalang oleh satu hal yang justru dianggap sakral oleh banyak orang: identitas. Dalam masyarakat yang membanggakan label agama, suku, dan kelompok, identitas kerap dijadikan penanda kebenaran. Padahal, saat seseorang terlalu nyaman dengan identitasnya — ia bisa berhenti berpikir.
Rocky menyadari bahaya ini. Dalam banyak kesempatan, ia menyebut bahwa agama di KTP-nya adalah Kristen — tapi segera menambahkan bahwa itu hanyalah untuk keperluan administratif. Pernyataan itu bukan sekadar lelucon. Melainkan sindiran tajam terhadap cara negara dan masyarakat memperlakukan agama sekadar sebagai identitas formil — bukan sebagai jalan pencarian spiritual.
Di sinilah letak jebakan identitas: seseorang merasa telah selesai berpikir hanya karena sudah memiliki label.
Label itu bisa agama, ormas, partai, bahkan profesi. Tapi ketika identitas berubah menjadi jawaban instan, manusia berhenti bertanya, berhenti meragukan, dan akhirnya — berhenti berpikir.
Rocky dengan jelas menolak itu. Ia tidak membanggakan label, tapi mendorong kesadaran. Dalam hal ini, ia sejalan dengan para sufi besar yang percaya bahwa tauhid tertinggi adalah diam, dan bahwa makrifat tidak membutuhkan pengakuan lahir, tapi kedalaman batin.
Pada acara Rakyat Bersuara (iNews, 11 Juni 2025), Rocky melontarkan pernyataan yang langsung menyentak ruang berpikir publik:
“Bukan Tuhan punya suara yang akan diikuti rakyat. Bukan. Yang diputuskan rakyat pasti di-iya-in Tuhan.”
Ia segera menambahkan:
“Itulah namanya vox populi, vox dei. Jangan dibalik-balik.”
Pernyataan ini, meski terdengar mengguncang, sejatinya menyimpan kedalaman spiritual yang sejalan dengan ayat Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Rocky menyampaikan bahwa perubahan sosial tidak turun dari langit, melainkan muncul dari keputusan sadar rakyat. Tuhan tidak anti-demokrasi. Justru, dalam logika etis, Tuhan mengamini upaya manusia yang lahir dari kesadaran dan tanggung jawab.
Ia menyadari bahwa kalimat seperti itu bisa disalahpahami, maka menutupnya dengan idiom Latin. vox populi vox dei — untuk menempatkannya di ranah filsafat politik. Tapi maknanya jelas: kehendak rakyat yang jernih dan adil adalah bentuk dari mandat etis yang Tuhan restui.
Beberapa pernyataan Rocky memang terdengar provokatif. Namun, jika ditelisik secara mendalam, ia sebenarnya sedang menyentuh inti spiritualitas yang rasional. Misalnya, pernyataannya:
“Kitab suci adalah fiksi.”
Bukan berarti kitab suci tidak benar, melainkan ia mengajak orang untuk tidak memperlakukan kitab suci sebagai teks beku tanpa makna yang hidup. Dalam tradisi hermeneutika, fiksi adalah narasi pembentuk kesadaran — bukan kebohongan, melainkan cara manusia membingkai kebenaran. Rocky sedang mendorong agar kitab suci dibaca secara aktif, terus ditafsirkan dalam konteks zaman, bukan hanya dihafal dan dipajang.
Begitu pula pernyataannya:
“Ngapain berdoa, kita sudah diberi akal.”
Pernyataan ini memang tidak populer, tapi mencerminkan sikap spiritual yang kritis. Ia bukan menolak doa, melainkan mengingatkan bahwa doa bukanlah pengganti usaha atau “akal sehat”. Justru, dalam Islam, akal (‘aql) adalah salah satu karunia tertinggi, yang disebut lebih dari 40 kali dalam Al-Qur’an.
Al-Qur’an tidak menyuruh manusia untuk menunggu keajaiban, tapi untuk berpikir, bertindak, dan bertanggung jawab. Doa adalah pengakuan atas keterbatasan setelah usaha maksimal — bukan pelarian dari tanggung jawab.
Maka dalam cara Rocky: “Kalau sudah diberi akal, pakailah dulu. Setelah itu baru sadar bahwa kita butuh doa, bukan karena lemah, tapi karena rendah hati.”
Dari seluruh gagasannya, bisa disimpulkan bahwa Rocky tidak sedang meninggalkan spiritualitas. Ia justru memurnikannya. Ia tidak menolak Tuhan. Ia menolak manipulasi atas nama Tuhan. Ia tidak menghina iman — ia menghina kemalasan berpikir yang mengaku beriman.
Maka, ketika Rocky menyebut “akal sehat”, ia sebenarnya sedang menunjukkan jalan spiritual yang tidak selalu bersuara sakral. Ia sedang berkata:
“Kalau kamu ingin menemukan Tuhan, jernihkan dulu pikiranmu. Lepas dari takut, lepas dari ikut-ikutan, lepas dari nalar yang disandera kuasa dan identitas palsu.”
Dalam dunia yang penuh kebisingan dan simbol-simbol kosong, ajakan Rocky bukanlah meninggalkan Tuhan — tetapi menemukan-Nya kembali, dalam kejernihan, kebebasan, dan keberanian.
“Akal sehat” ala Rocky Gerung adalah resonansi kontemporer dari perjalanan panjang manusia mencari makna. Ia bukan slogan politik, melainkan panggilan sunyi: untuk berpikir, mencari, dan mengalami Tuhan — bukan karena diwariskan, tetapi karena ditemukan.
Dan dalam kesadaran itulah, mungkin kita justru mulai mengenal Tuhan, bukan dalam label, bukan dalam kebiasaan kosong — tapi dalam kejernihan berpikir yang jujur. Bahkan dalam politik, bahkan dalam provokasi.
Tulisan ini merupakan hasil kontemplasi penulis dan tidak dimaksudkan sebagai pembelaan personal terhadap Rocky Gerung, melainkan sebagai upaya membaca ulang gagasan-gagasannya dalam kerangka filsafat, spiritualitas, dan kebebasan berpikir. Redaksi menerima tulisan ini dari seorang pembaca yang meminta untuk tidak disebutkan namanya. Tulisan telah disunting untuk kepentingan keterbacaan
Namun, apakah "akal sehat" yang ia maksud hanya sekadar common sense? Atau ada sesuatu yang lebih dalam?
Akal Sehat sebagai Akal Jernih
Rocky tampaknya tidak sedang bicara tentang akal praktis, melainkan akal jernih. Akal yang belum tercemar oleh hasrat kekuasaan, ketakutan kolektif, atau dogma buta. Dalam banyak forum, ia justru menyerukan agar rakyat “mengembalikan republik kepada akal sehat.” Ini bukan seruan politik biasa, tapi panggilan reflektif untuk kembali ke kesadaran dasar manusia: berpikir jernih, merdeka — dan bertanggung jawab.
Dalam posisi ini, Rocky sejajar dengan tradisi para filsuf, baik Timur maupun Barat. Filsuf Islam seperti Al-Farabi dan Ibn Sina memandang ’aql sebagai pintu menuju haqq — kebenaran sejati, bahkan kepada Tuhan. Di Barat, Descartes memulai pencarian eksistensialnya melalui keraguan dan berpikir. Sementara Kant meletakkan akal sebagai sumber utama hukum moral yang universal.
Mereka semua, meskipun dalam ekspresi berbeda, menyiratkan bahwa Tuhan ditemukan bukan lewat ketundukan pasif, tapi melalui kejernihan nalar dan kebebasan berpikir. Dalam cara Rocky, “akal sehat” adalah jembatan menuju kesadaran itu.
Identitas yang Menghalangi Pikiran
Namun, kejernihan nalar sering terhalang oleh satu hal yang justru dianggap sakral oleh banyak orang: identitas. Dalam masyarakat yang membanggakan label agama, suku, dan kelompok, identitas kerap dijadikan penanda kebenaran. Padahal, saat seseorang terlalu nyaman dengan identitasnya — ia bisa berhenti berpikir.
Rocky menyadari bahaya ini. Dalam banyak kesempatan, ia menyebut bahwa agama di KTP-nya adalah Kristen — tapi segera menambahkan bahwa itu hanyalah untuk keperluan administratif. Pernyataan itu bukan sekadar lelucon. Melainkan sindiran tajam terhadap cara negara dan masyarakat memperlakukan agama sekadar sebagai identitas formil — bukan sebagai jalan pencarian spiritual.
Di sinilah letak jebakan identitas: seseorang merasa telah selesai berpikir hanya karena sudah memiliki label.
Label itu bisa agama, ormas, partai, bahkan profesi. Tapi ketika identitas berubah menjadi jawaban instan, manusia berhenti bertanya, berhenti meragukan, dan akhirnya — berhenti berpikir.
Rocky dengan jelas menolak itu. Ia tidak membanggakan label, tapi mendorong kesadaran. Dalam hal ini, ia sejalan dengan para sufi besar yang percaya bahwa tauhid tertinggi adalah diam, dan bahwa makrifat tidak membutuhkan pengakuan lahir, tapi kedalaman batin.
Demokrasi dan Spiritualitas: Suara Rakyat, Suara Tuhan?
Pada acara Rakyat Bersuara (iNews, 11 Juni 2025), Rocky melontarkan pernyataan yang langsung menyentak ruang berpikir publik:
“Bukan Tuhan punya suara yang akan diikuti rakyat. Bukan. Yang diputuskan rakyat pasti di-iya-in Tuhan.”
Ia segera menambahkan:
“Itulah namanya vox populi, vox dei. Jangan dibalik-balik.”
Pernyataan ini, meski terdengar mengguncang, sejatinya menyimpan kedalaman spiritual yang sejalan dengan ayat Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Rocky menyampaikan bahwa perubahan sosial tidak turun dari langit, melainkan muncul dari keputusan sadar rakyat. Tuhan tidak anti-demokrasi. Justru, dalam logika etis, Tuhan mengamini upaya manusia yang lahir dari kesadaran dan tanggung jawab.
Ia menyadari bahwa kalimat seperti itu bisa disalahpahami, maka menutupnya dengan idiom Latin. vox populi vox dei — untuk menempatkannya di ranah filsafat politik. Tapi maknanya jelas: kehendak rakyat yang jernih dan adil adalah bentuk dari mandat etis yang Tuhan restui.
Provokasi dan Kedalaman: Menyentuh Inti Iman
Beberapa pernyataan Rocky memang terdengar provokatif. Namun, jika ditelisik secara mendalam, ia sebenarnya sedang menyentuh inti spiritualitas yang rasional. Misalnya, pernyataannya:
“Kitab suci adalah fiksi.”
Bukan berarti kitab suci tidak benar, melainkan ia mengajak orang untuk tidak memperlakukan kitab suci sebagai teks beku tanpa makna yang hidup. Dalam tradisi hermeneutika, fiksi adalah narasi pembentuk kesadaran — bukan kebohongan, melainkan cara manusia membingkai kebenaran. Rocky sedang mendorong agar kitab suci dibaca secara aktif, terus ditafsirkan dalam konteks zaman, bukan hanya dihafal dan dipajang.
Begitu pula pernyataannya:
“Ngapain berdoa, kita sudah diberi akal.”
Pernyataan ini memang tidak populer, tapi mencerminkan sikap spiritual yang kritis. Ia bukan menolak doa, melainkan mengingatkan bahwa doa bukanlah pengganti usaha atau “akal sehat”. Justru, dalam Islam, akal (‘aql) adalah salah satu karunia tertinggi, yang disebut lebih dari 40 kali dalam Al-Qur’an.
Al-Qur’an tidak menyuruh manusia untuk menunggu keajaiban, tapi untuk berpikir, bertindak, dan bertanggung jawab. Doa adalah pengakuan atas keterbatasan setelah usaha maksimal — bukan pelarian dari tanggung jawab.
Maka dalam cara Rocky: “Kalau sudah diberi akal, pakailah dulu. Setelah itu baru sadar bahwa kita butuh doa, bukan karena lemah, tapi karena rendah hati.”
Akal Sehat sebagai Jalan Spiritualitas
Dari seluruh gagasannya, bisa disimpulkan bahwa Rocky tidak sedang meninggalkan spiritualitas. Ia justru memurnikannya. Ia tidak menolak Tuhan. Ia menolak manipulasi atas nama Tuhan. Ia tidak menghina iman — ia menghina kemalasan berpikir yang mengaku beriman.
Maka, ketika Rocky menyebut “akal sehat”, ia sebenarnya sedang menunjukkan jalan spiritual yang tidak selalu bersuara sakral. Ia sedang berkata:
“Kalau kamu ingin menemukan Tuhan, jernihkan dulu pikiranmu. Lepas dari takut, lepas dari ikut-ikutan, lepas dari nalar yang disandera kuasa dan identitas palsu.”
Dalam dunia yang penuh kebisingan dan simbol-simbol kosong, ajakan Rocky bukanlah meninggalkan Tuhan — tetapi menemukan-Nya kembali, dalam kejernihan, kebebasan, dan keberanian.
Penutup
“Akal sehat” ala Rocky Gerung adalah resonansi kontemporer dari perjalanan panjang manusia mencari makna. Ia bukan slogan politik, melainkan panggilan sunyi: untuk berpikir, mencari, dan mengalami Tuhan — bukan karena diwariskan, tetapi karena ditemukan.
Dan dalam kesadaran itulah, mungkin kita justru mulai mengenal Tuhan, bukan dalam label, bukan dalam kebiasaan kosong — tapi dalam kejernihan berpikir yang jujur. Bahkan dalam politik, bahkan dalam provokasi.
Tulisan ini merupakan hasil kontemplasi penulis dan tidak dimaksudkan sebagai pembelaan personal terhadap Rocky Gerung, melainkan sebagai upaya membaca ulang gagasan-gagasannya dalam kerangka filsafat, spiritualitas, dan kebebasan berpikir. Redaksi menerima tulisan ini dari seorang pembaca yang meminta untuk tidak disebutkan namanya. Tulisan telah disunting untuk kepentingan keterbacaan
(GUS)
Berita Terkait

News
Dari Aksi Massa ke Reshuffle Kabinet Presiden Prabowo
Bangsa Indonesia menjadikan Agustus sebagai bulan yang istimewa. Bulan dinanti-natikan seluruh rakyat Indonesia. Bulan ini memiliki makna yang mendalam, setidaknya ada dua hal penting yang menjadi rutinitas bangsa pada bulan ini.
Rabu, 10 Sep 2025 14:53

News
Triwarna dan Reclaiming Ruang Politik
Saya tidak tahu siapa yang pertama kali menyebutnya Triwarna Solidaritas Indonesia. Mungkin tidak penting. Yang penting adalah bagaimana warna-warna itu muncul.
Rabu, 10 Sep 2025 12:30

News
Abay, Simbol Kemanusiaan di Tengah Bara Anarki
Tragedi kerusuhan di Kota Makassar, Jumat malam 29 Agustus 2025, menyisakan luka mendalam. Api yang membakar gedung DPRD Kota Makassar bukan hanya meruntuhkan bangunan fisik
Rabu, 03 Sep 2025 06:47

News
Pepe-pepeka ri Mangkasara: Api, Rakyat, dan Panggung Kekuasaan
Pepe-pepeka ri Mangkasara, adaptasi tari api tradisi Makassar, menjadi bingkai esai reflektif tentang pembakaran DPRD, relasi rakyat, api, dan panggung kekuasaan.
Minggu, 31 Agu 2025 14:24

News
Affan yang Dilindas, Negara yang Diam
Endang Sari, Dosen Ilmu Politik FISIP Unhas memberikan opini terkait tragedi seorang ojek online, Affan Kurniawan yang dilindas mobil barracuda milik Brimob saat aksi demonstrasi di Jakarta.
Jum'at, 29 Agu 2025 20:53
Berita Terbaru
Artikel Terpopuler
Topik Terpopuler
1

Tim Esport Mobile Legend Pangkep Lolos Babak Perebutan Tiket Porprov 2026
2

Kuota Siswa Sekolah Rakyat di Pangkep Hampir Terpenuhi
3

AXIS Nation Cup 2025: SMAN 16 Makassar Wakili Sulsel di Fase Regional Sulawesi
4

Unhas Luncurkan 6 Program Unggulan di Peringatan HUT ke-69
5

Telkom Pulihkan SKKL Sorong–Merauke, Papua Kembali Terkoneksi
Artikel Terpopuler
Topik Terpopuler
1

Tim Esport Mobile Legend Pangkep Lolos Babak Perebutan Tiket Porprov 2026
2

Kuota Siswa Sekolah Rakyat di Pangkep Hampir Terpenuhi
3

AXIS Nation Cup 2025: SMAN 16 Makassar Wakili Sulsel di Fase Regional Sulawesi
4

Unhas Luncurkan 6 Program Unggulan di Peringatan HUT ke-69
5

Telkom Pulihkan SKKL Sorong–Merauke, Papua Kembali Terkoneksi