Cahaya Ramadan: Menembus Tembok Cina

Tim Sindomakassar
Minggu, 24 Mar 2024 11:30
Cahaya Ramadan: Menembus Tembok Cina
Rektor Kalla Institute & Direktur Athirah, Dr Syamril ST M Pd. Foto: Istimewa
Comment
Share
Dr Syamril ST M Pd(Rektor Kalla Institute & Direktur Athirah)

TAHUKAH Anda berapa lama pembangunan Tembok Cina yang panjangnya 8.851 km? Menurut Wikipedia, pembangunan dimulai pada tahun 722 SM dan berakhir pada masa Dinasti Ming tahun 1644. Pembangunannya memerlukan waktu ribuan tahun dengan biaya dan tenaga yang sangat besar.

Bahkan pada masa Dinasti Qin tahun 220 SM pembangunan melalui kerja paksa menyebabkan jatuhnya korban jutaan rakyat. Akibatnya rakyat memberontak sehingga Dinasti Qin jatuh. Pembangunan pun terhenti sampai kemudian dilanjutkan oleh Dinasti Han dan diselesaikan oleh Dinasti Ming.

Untuk apa Tembok Cina dibangun? Tentu saja untuk pertahanan yaitu melindungi Cina dari serangan bangsa lain di sekitarnya. Dan terbukti selama ribuan tahun Cina bisa aman dari gangguan musuh terutama pada saat militer Cina tidak terlalu kuat. Kalau militer Cina kuat tentu saja bangsa lain tidak berani menyerang.



Salah satu bangsa yang ditakuti oleh Cina yaitu Bangsa Mongol pada masa kejayaannya khususnya saat dipimpin oleh Jenghis Khan dan anak cucunya. Mereka pun mencoba menyerang Cina dan sulit juga menembusnya karena Tembok Cina yang kuat. Namun bangsa Mongol tidak menyerah. Apa yang mereka lakukan? Mereka mencari titik lemah Tembok Cina dan akhirnya ketemu.

Di mana titik lemahnya? Ternyata bukan pada bangunan fisiknya tapi pada bangunan non fisiknya yaitu manusia yang bertugas sebagai “penjaga pintu gerbang”. Apa yang dilakukan oleh bangsa Mongol untuk menembusnya? Diberinya sogokan uang kepada penjaganya dan akhirnya mereka bisa masuk dengan mudah.

Apa yang salah dari bangsa Cina pada masa itu? Mereka sibuk membangun fisik dan lupa membangun mental manusia yang menjadi penjaga temboknya. Ini seperti membangun organisasi dan Negara. Jika hanya fokus dan sibuk membangun infrastruktur dan system serta aturan tapi lupa membangun mental rakyat dan pejabat maka sehebat apapun system dan infrastruktur, tidak akan maksimal jika orang yang menjalankan system itu sudah rusak. Ibarat menyapu lantai yang kotor dengan sapu yang kotor. Tidak mungkin hasilnya lantai jadi bersih.

Fenomena itu tidak hanya terjadi di Cina pada masa lalu tapi juga di Indonesia pada masa sekarang. Pemerintah terus membangun fisik tapi tidak maksimal pada non fisik. Pemerintah terus memperbaiki system dengan berbagai peraturan perundang-undangan dan SOP yang ketat. Tapi tetap saja korupsi merajalela. Pelanggaran tidak berkurang. Mengapa? Karena tidak maksimal membangun manusianya.

Mengapa itu semua terjadi? Sekali lagi karena kita melupakan pesan lagu Indonesia Raya “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”. Hati-hati, hal seperti itu juga bisa terjadi pada diri kita.

Manusia memiliki unsur lahir dan batin, fisik dan non fisik. Jika kita hanya sibuk mengurusi fisik kita dan melupakan non fisik kita maka seperti tembok Cina yang kokoh fisiknya tapi lemah penjaganya. Jika kita hanya sibuk memberi makan ‘lahir’ kita dan tidak memberi ‘makan’ batin kita maka akibatnya kita menjalani hidup dengan penuh penderitaan batin. Kelihatannya sukses dan bahagia tapi sebenarnya batinnya menderita, galau, banyak permasalahan yang tidak jelas ujung pangkalnya, hidupnya tidak tenang, dan sulit tidur nyenyak.

Unsur batin dalam diri kita yaitu qalbu, hati yang makanannya ibadah-ibadah ritual dan sosial yang tujuannya untuk meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT. Keimanan yang meningkat akan membuat kita semakin dekat kepada Allah. Kedekatan kepada Allah akan membuat kita senantiasa ingat kepada Allah.



Jika kita sudah mampu selalu ingat kepada-Nya maka ketenangan hatilah yang akan kita raih. Allah berfirman :
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. (Q.S. Ar Ra’d : 28). Bulan Ramadan dengan ibadah puasa, salat tarawih, shadaqah, zakat, tadarus Al Qur’an, pengajian, dan aktivitas ibadah lainnya bertujuan untuk meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT.

Sajian ruhani yang tersaji demikian banyak akan menjadi santapan ruhani yang nikmat jika kita melakukannya dengan penuh penghayatan, keikhlasan dan khusyu serta niat semata-mata untuk meraih ridha-Nya. Mari kita tangkap nilai spiritualnya bukan semata aktivitas ritualnya. Nilai spiritual itulah yang membangun keimanan kita.

Hati-hati, jika hanya aktivitas ritual saja, dampaknya pun hanya pada aspek fisik juga. Puasa dampaknya hanya pada lapar dan dahaga saja. Atau manfaat puasa hanya pada aspek kesehatan fisik saja. Tidak mendapatkan manfaat batiniah. Rasulullah mengingatkan : Betapa banyak orang yang berpuasa, tapi tidak mendapatkan pahala puasanya, melainkan rasa lapar (H.R. Nasa’i dan Ibnu Majah).

Semoga amaliah ibadah yang kita lakukan di bulan Ramadhan ini betul-betul bermanfaat untuk membangun keimanan kita kepada Allah SWT sehingga dapat mencapai derajat takwa. Bukti ketakwaan bukan di bulan Ramadhan tapi bulan-bulan setelah Ramadan.

Ramadan itu bulan latihan. Ibarat seorang Muhammad Ali yang jago bertinju, ukuran kehebatannya bukan saat latihan tapi saat bertanding di ring tinju. Demikian pula dengan ibadah puasa kita. Ukuran kehebatannya akan terlihat bukan saat bulan Ramadan tapi saat menjalani kehidupan pasca Ramadan.
(GUS)
Berita Terkait
Berita Terbaru