Prof Nurhayati Marah & Kecewa! Ungkap Dua Pelanggaran Besar GMTD

Sabtu, 22 Nov 2025 17:47
Prof Nurhayati Marah & Kecewa! Ungkap Dua Pelanggaran Besar GMTD
Guru Besar Bidang Filologi Universitas Hasanuddin, Prof. Nurhayati Rahman. Foto/Istimewa
Comment
Share
MAKASSAR - Guru Besar Bidang Filologi Universitas Hasanuddin, Prof. Nurhayati Rahman, angkat suara terkait polemik lahan seluas 16 hektare di Jl. Metro Tanjung Bunga yang turut menyeret nama Jusuf Kalla. Ia menilai persoalan ini harus dilihat terlebih dahulu dari sisi sejarah.

Menurutnya, kawasan tersebut pada masa lampau memang berada dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa. Berdasarkan catatan-catatan Portugis, daerah sekitar Benteng Somba Opu merupakan pusat pertahanan sekaligus pusat perdagangan internasional.

Karena itu, Prof. Nurhayati menegaskan tidak ada kekeliruan terkait kepemilikan lahan oleh Jusuf Kalla yang dibeli langsung dari ahli waris kerajaan.

"Sebetulnya tak ada kesalahan dari perolehan tanah Pak Jusuf Kalla di wilayah tersebut karena dibeli langsung dari ahli waris Kerajaan Gowa. Masyarakat dulunya kan hanya menjadi pengelola," kata dia.

"Di wilayah itu dulunya terdapat empang-empang sebagai pusat aktivitas masyarakat yang dikuasai Kerajaan Gowa dan dikelola masyarakat. Namanya dulu Kampung Tamalate, saya tidak tahu sejak kapan berubah nama menjadi Tanjung Bunga dan saya tidak menahu juga siapa yang kasih nama. Saya tidak ikuti sejarahnya, tetapi pasti itu di zaman orde baru," sambung Prof Nurhayati menjelaskan.

Ia melanjutkan, pada era Gubernur Sulawesi Selatan 1983–1993, Ahmad Amiruddin, muncul cita-cita mengembalikan kejayaan Kerajaan Gowa dengan menjadikan Somba Opu sebagai sentrum pengembangan kawasan. Sebab, dahulu di sekitar benteng itu terdapat berbagai logi—pusat perdagangan internasional milik Portugis, Belanda, Melayu, Cina, hingga India.

Dalam semangat itulah kemudian dibentuk Gowa Makassar Tourism Development Corporation (GMTD), dengan konsep menjadikan Tanjung Bunga sebagai pusat wisata bahari yang terintegrasi dengan kawasan sejarah Somba Opu. Namun, dalam perkembangannya GMTD menyalahi konsep awal, yang turut membuatnya kecewa dan marah.

Ia menegaskan tujuan awal pendirian GMTD sangat jelas: menghidupkan kembali kejayaan maritim Kerajaan Makassar. Bukan membangun rumah-rumah mewah seperti sekarang. Konsep pembangunan GMTD dinilainya telah jauh melenceng.

"Makanya, perjalanan GMTD sekarang sudah keluar dari perjanjian awal di era Gubernur Ahmad Amiruddin," ungkapnya.

Ia mempertanyakan, di mana pengembangan wisata yang dijanjikan. "Yang kita lihat saat ini hanya rumah-rumah. Saya pun mempertanyakan, kenapa pemerintah tidak berani mengambil tindakan mencabut hak izin GMTD yang sudah keluar dari komitmen awal pendiriannya. Sejak kapan wilayah pariwisata diubah menjadi wilayah perumahan mewah," katanya.

Selain itu, ia juga menyoroti hilangnya konsep community development. Menurutnya, masyarakat justru semakin termarginalkan. Banyak nelayan kehilangan mata pencaharian akibat kawasan tersebut disulap menjadi kota metropolitan yang tidak lagi ramah bagi penduduk setempat.

“Siapa yang memberi izin sehingga perubahan sebesar ini bisa terjadi? Ini harus ditelusuri,” tambahnya.

Prof. Nurhayati menegaskan bahwa dari nama perusahaannya saja—Gowa Makassar Tourism Development—jelas bahwa perusahaan itu seharusnya membangun kawasan wisata, bukan kawasan elite. Karena itu, menurutnya terdapat dua pelanggaran besar yang dilakukan GMTD: meminggirkan masyarakat kecil serta keluar dari konsep pengembangan wisata.

“Di mana kita mau berwisata di sana? Yang ada hanya rumah mewah untuk orang kaya,” ucapnya.

Ia mendesak pemerintah menelusuri kembali penyimpangan konsep tersebut. “Pelajari baik-baik tujuan awal pembentukan GMTD: membangun pusat pariwisata sejarah dan budaya. Boleh modern, tapi harus melibatkan masyarakat agar mereka ikut maju," tuturnya.

Faktanya, kata dia, masyarakat sekitar tetap miskin. “Lihat kesenjangan di Tanjung Bunga dengan warga sekitarnya sekarang. Sangat jelas," sambung dia.

Prof. Nurhayati juga menyayangkan minimnya peran pengawasan DPRD. Para wakil rakyat seharusnya mengontrol agar GMTD tetap pada tujuan awalnya, termasuk revitalisasi Benteng Somba Opu, yang kini justru ikut berubah menjadi permukiman.

"Ini semualah yang merusak sejarah. Sudah lama saya marah melihat kondisi di sana. Apa sebenarnya yang telah diperbuat Lippo di sana? Seolah-olah berlindung di bawah kekuasaan pemerintah. Sekali lagi, yang perlu ditelusuri ialah si pemberi izin? Mengapa aktivitas GMTD sudah sangat jauh dari konsep idealisme Ahmad Amiruddin," pungkasnya.
(TRI)
Berita Terkait
Berita Terbaru